Prolog

50 3 0
                                    

"Panggil aja Elma atau KaEl, jangan KaMa! Emang Kama Sutra? Dan gak usah panggil ning-ningan! Muak aku dibilang privilage!"

—El_Ma

***

Panggilan speaker dari aula pusat membuatku sakit telinga, dan sudah beberapa orang yang memanggilku untuk segera menghadap ke ndalem saat itu juga.

"Sepindah malih ... sinten mawon ingkang sesarengan Ning Elma, sakmeniko didawuhi Abah ting ndalem. Sak niki nggih ... matur nuwun ...."

"Mbak Na! Aku gak mau!" kesalku dengan menghentak-hentakkan kaki ke lantai, dan aku tahu, memang sangat kekanakan. Lurah pondok putri yang memang sudah dikenal sebagai Mbak anggepku itu mencoba untuk terus membujukku agar mau ke ndalem. Sudah tiga hari—kalau tidak salah hitung—aku enggan kembali ke ndalem meskipun sekadar mengambil pakaian gantiku sendiri. Ada Mbak Nala—Khofshoh Nailatul Muna—yang selalu menjadi tamengku, jadi aku tidak pernah pusing selagi dia masih ada di dekatku.

"NING!"

Aku diam seketika saat Mbak Nala membentakku dengan panggilan yang sangat kubenci itu. Dia harap aku akan mau menurutinya jika sudah seperti ini? Oh, tentu tidak! Aku akan semakin merajuk dan mogok makan lagi!

"MINGGIR SEMUANYAA! AULA FATIMAH DITUTUP!!!" Aku geram, aku tidak peduli dengan siapa aku berhadapan. Aula yang semula masih ramai, sekarang senyap dan langsung kututup pintunya dengan sangat kasar di depan Mbak Nala yang berdiri dengan wajah penuh emosi.

"Ning! Buka pintunya!!" Mbak Nala menggedor pintu dengan kekuatan penuh, tapi tidak akan mempan lagi untukku. Aku sakit hati, aku tidak suka dia memperlakukanku sebagaimana orang lain memperlakukan diriku. Aku sadar, aku memang anak kyai mereka, tapi aku sangat tidak suka dipanggil seperti itu! Sudah kuperingatkan, kalau memang mereka ingin menghormati aku, panggil saja Kakak, nggak usah ning-ningan!

Beberapa saat tidak ada lagi suara Mbak Nala ataupun gedoran pintu dari luar, dan dengan kepo aku pun membuka sedikit pintu tersebut agar memberikan celah untuk mengintip.

Aku sudah memicingkan mataku dan dibuat kaget saat Mbak Nala masih berdiri di sana dengan mata melotot garang. Pintu dipaksanya terbuka dan segera menarik pergelangan tanganku tanpa menunggu protesku lagi.

Semua orang melihat ke arah kami—lebih tepatnya ke arahku. Mungkin pemandangan indah ini jarang sekali dijumpai di pesantren manapun, sebab, hanya Mbak Nala yang berani memperlakukanku setegas ini, sebab, abah maupun ummi sudah menyerah dan tidak mau ambil pusing jika aku sudah tidak mau diatur seperti sekarang ini. Dan hanya Mbak Nala, hanya dia yang membuatku manut dan mematuhi segala perintah abah maupun ummi.

Mbak Nala juga sosok kakak paling tegar yang bisa menghadapi segala tingkah polahku yang sangat menjengkelkan. Iya lah, lha wong aku anak tunggal, tidak ada figur kakak dalam hidupku, jadi aku merasa bisa bertindak sesuka hati.

Aku kaget, tiba-tiba Mbak Nala berhenti dan melepaskan tanganku. Dia tidak membalikkan badan dan tetap diam, jadi aku yang menarik lengannya agar bisa saling berhadapan. Dengan senyum yang dimanis-maniskan, aku mencoba untuk membujuknya. "Mbak ... Elma lagi males ke ndalem. Kali iniiiii aja. Ya? Nanti malam Elma setoran 2 lembar wis, gimana? Ya, ya, ya, yaaaa?"

Mbak Nala menghela napas panjang, kemudian mengajakku duduk di kursi panjang yang terletak di pinggir koridor Asrama Fatimah ini. Wajahnya terlihat sendu, perasaanku jadi tidak enak. "Kenapa lagi? Ibuknya Mbak Nala nyuruh boyong lagi? Gitu? Hemm?" Aku hampir tidak bisa menebak hal lain, sebab, hal ini sudah beberapa kali terjadi, bahkan, selama hampir satu tahun ini, sudah sekitar lima kali, enam kali jika ini memang benar.

"Elma nggak nakal lagi, wis. Ya? Katanya nunggu Elma khatam dulu? Ah, Mbak Nala tega banget sama Elma!" Aku memalingkan wajah darinya, tapi tanganku masih menggenggam tangannya dengan erat. Sialnya, air mataku benar-benar tidak bisa dibendung kali ini, dan aku langsung memeluknya dan menangis.

Beberapa santri lewat dengan membungkuk, tapi aku tidak menggubris mereka yang sepertinya berbisik-bisik saat sudah agak menjauh dari tempat kami. Aku mengendurkan pelukanku, kemudian menatap Mbak Nala yang sepertinya juga menahan tangis. "Nanti Elma yang bilang ke ibuk, Elma bakal minta izin ke ibuk kalau Mbak Nala masih mau nemenin Elma sampe khatam. Ya, Mbak, ya?" rengekku dengan sesegukan.

"Dek ... Mbak Nala udah nemenin Njenengan sepuluh tahun, lho ...." Mbak Nala tersenyum miris, kemudian mengusap air mataku dengan kedua tangannya. Dia menangkup wajahku dengan dipaksakan tersenyum. "Mbak Nala kan juga punya kehidupan pribadi ... Mbak Nala juga udah waktunya punya keluarga sendiri ...."

"Mbak Nala mau dijodohin lagi?! Siapa? Abah yang jodohin?!" Aku hendak berdiri dan berlari ke ndalem, tapi ditahan dan dipeluk Mbak Nala yang tiba-tiba menangis. "Nggak! Nggak boleh! Pokoknya harus nunggu Elma khatam dulu baru boleh nikah dan baru boleh boyong! Elma nggak mau! Elma nggak rela dan nggak ridho kalo Mbak Nala nikah sekarang!" Akhirnya kami berdua berpeluk tangis, dan kami tidak peduli ada beberapa santri yang memandang sinis ke arah kami.

"Tapi maaf, ya, Dek, ibuk sama bapaknya Mbak Nala udah ke sini untuk jemput Mbak Nala ... maaffff bangettt ...."

Petir seperti menyambar kepalaku, ketantrumanku meronta-ronta dan aku tidak tinggal diam melihat keadaan yang tidak adil ini.

"Nggak! Nggak mauuuu!!!" Aku berdiri dan menghadang Mbak Nala agar tidak bergerak ke manapun. "Nggak, Mbak, Elma nggak mauuuuu!!!" Aku sudah menangis brutal, tapi dia juga tidak berdaya dan tetap membujukku agar mau memberikan ikhlas dan restuku.

"NGGAK BOLEHH! ELMA NGGAK MAUUU!!!" Aku menjerit dan menghebohkan satu pesantren. Dengan wajah penuh air mata dan hati yang sangat sakit, aku pun berjalan gontai ke arah ndalem untuk menemui abah. Mbak Nala pun berjalan dengan terus mencoba untuk membujukku lagi, tapi aku benar-benar tidak mau dan tidak akan pernah mau!

"ABAAHHH!!!"

Aku membuka pintu ndalem bagian dalam dengan sangat keras dan kasar. Ada banyak orang di sana, termasuk bapak dan ibuknya Mbak Nala. Aku langsung berlutut di depan abah yang sedang bicara dengan para tamu, aku menangis tersedu-sedu dan tidak memikirkan hal lain selain protesku terhadap Mbak Nala.

"Abah tolooong! Jangan pisahkan Elma sama Mbak Nala! Elma nggak bisa hidup tanpa Mbak Nala! Abah tolong!!!" Aku mencium tangan dan bahkan kaki abah, tapi abah tak mau bersuara ataupun meresponku.

Sekarang aku berpaling ke ummi, pasti ummi mengerti. "Ummi ... tolong tho, Mii ... Elma nggak minta yang aneh-aneh, Elma nggak pernah minta apapun sama Ummi, tho? Elma cuma pengen sama Mbak Nala, nggak pengen yang lain. Ya, Mi, ya? Ayo, Mi, bilang ke Abah, bujuk Abah, Miiii ...." Aku pun mencium tangan dan kaki ummiku, tapi dia juga diam saja tak merespon apapun. Aku tak hentinya menangis dan terus memohon pada abah maupun ummi.

"Nduk ... Nala kui wis wayahe rabi ... ojo mbok gondeli terus," ucap abah dengan wajah datar—lebih cenderung ke duko.

"Ya kan Mbak Nala janji nemenin Elma sampe Elma khatam, Bah! Abah juga udah ngebolehin kok waktu itu!" Aku terus merengek dan tidak mau dibantah. "Kalo Mbak Nala tetep nikah! Elma juga mau nikah sama suaminya Mbak Nala! Titik!"

Aku mendengar seseorang tersedak minuman, dan aku sempat melihat beberapa ekspresi kaget orang-orang di ruang tamu ini, termasuk abah maupun ummiku. Dan ... seseorang itu juga ....

***

Salatiga, 24/01/24

Ning ElmaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon