17. Akhrinya Video Di Hapus

53.6K 2.1K 11
                                    

"Dasar! Pacarnya lagi sakit datang bulan malah pergi!" gerutu Denada sambil menyelimuti Delin dengan selimut yang ada di kamar Darka.

"Ga papa, bunda. Sebentar lagi juga ga sakit," Delin tersenyum tipis. "Makasih dan maaf ngerepotin," lirihnya.

"Apanya yang ngerepotin! Adanya kamu rasanya bunda ke bantu, bunda bahkan sempet putus harapan,"

Delin yang merasa hangat mulai tidak terlalu merasakan sakit yang ketara. Dia diam mendengarkan Denada.

"Satu tahun, satu anak bunda nakal banget gara-gara patah hati, coba bayangin. Darka ga pernah pulang, sekalinya pulang mabuk parah,"

Denada menatap lurus sambil mengingat masa-masa penuh kekhawatiran itu. Dia dan sang suami sampai nekad menyuruh orang untuk mencari keberadaan Darka lalu saat tahu dia seret pulang.

"Darka punya masa lalu gara-gara patah hati itu. Dia hampir jadi pemakai tapi beruntungnya insting bunda cepet saat itu, yang lebih buat bunda marah itu saat Darka menolak ke kampus padahal sebentar lagi akan lulus," sebalnya di akhir.

"Makanya Darka sering banyak di rumah, kelur pun paling jam 11 malam sudah di rumah, bunda ga mau Darka melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang,"

Delin sampai lupa dengan rasa sakitnya. "Apa namanya Selena?" tanyanya ragu.

"Hm, Darka cerita?"

Delin mengerjap gugup lalu menggeleng. "Ga sengaja liat kak Darka balas pesan ke nama itu, aku kira pacarnya," jawabnya pelan.

"Apa?! Jangan sampai Selena deketin Darka lagi, Delin! Bunda ga mau, bunda titip anak bunda sama kamu. Kamu jangan lepasin Darka ya.." mohon Denada.

Delin menelan ludah gugup. Dia tidak bisa menjawab soal itu. Dia justru ingin terlepas dari Darka dan bebas melakukan apapun tanpa perlu izin.

"Dem—loh.. Demian mana? Ngapain kamu ke sini?" sindir Denada pada anaknya yang datang begitu saja.

Jika sedang memasang wajah datar, Darka begitu mirip suaminya saat muda dulu. Dengan rambut blondenya yang alami. Bedanya Darka hitam.

Denada melirik plastik obat di tangan Darka. "Bukannya, Demian yang beli?" tanyanya.

"Dia ga jadi beli, aku yang beli." singkat Darka.

Denada mendengus. Anaknya itu kenapa selalu saja nyeleneh. Bilang saja mau beli obat bukannya melemparkan kata-kata yang membuat salah paham.

"Yaudah, bunda tinggal ke bawah mau bikinin Delin bubur, jaga jangan diketusin!" peringat Denada lalu beranjak dan meninggalkan kamar Darka.

Delin tidak berani menatap Darka. Jika diam rasa sakitnya baru terasa lagi. Dia hanya butuh Denada untuk mengalihkan fokusnya dari rasa sakit.

Bukan mendatangkan sumber yang membuatnya sakit. Sakit hati lebih tepatnya.

"Ga usah jadi tukang ngadu," Darka mendudukan tubuhnya di pinggiran kasur dengan menatap ke arah Delin.

Delinnya begitu pucat. Peluh menghiasi keningnya. Apa sangat sakit? Dulu jika mengeluh datang bulan Delin tidak separah ini.

Apa dulu dia menahannya?

Jelas. Delin menahan mati-matian. Apalagi menghadapi Darka yang uring-uringan saat bertanya sudah selesai belum tamunya.

Darka menyeka peluh dan keringat di leher Delin. Menarik dagunya agar menghadap dan menatapnya.

"Jangan bikin gue gigit lo!"

Delin pun menyerah. Menatap Darka yang menatapnya galak lalu perlahan meluluh. Delin hanya diam saat dagunya di usap.

"Lo ga pernah bilang, apa lo sebodoh itu untuk selalu patuh?"

Dark Obsession (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang