BAB 7

205 34 5
                                    

Pukul 19:00 Jalfie beserta keluarganya menapaki sebuah restoran mewah yang ada di Jakarta. Ia takjub akan interior yang ada pada restoran itu. Tidak terlalu besar namun begitu mewah bahkan saat baru dilihat dari luar sekalipun.

"Bunda, kita ngapain kesini?" Tanyanya kepada sang Bunda.

"Ikut temani Ayah ketemu sama teman sekaligus rekan bisnis Ayah." Bukan sang bunda yang menjawab, melainkan ayah nya.

"Hah??? Kalo tau begitu aku mending dirumah aja, gak mau ketemu sama temen-temen ayah yang perut nya kebanyakan buncit."

"Fie, bicara mu." Tegur sang bunda.

"Bunnnn, fie ga mau ketemu orang-orang yang berhubungan sama kerjaan ayah. Fie pulang aja ya ya ya???? Gapapa fie pulang nya naik ojek online juga."

"Sudah sampai disini dan kamu mau pulang gitu aja? Ga ya Jalfie, kamu ikut kami kedalam ayo." Cegah Ayah.

Jalfie berpikir keras untuk ia melarikan diri dari kedua orang tuanya, ketika ia melangkahkan kakinya mundur secara bersamaan tangan sang ayah lebih dulu menggandeng tangannya. Telak ia tak bisa kabur dari sana.

"Hehehe, ayahhh..."

"Haha hehe ikut kami masuk, ga ada alasan buat kamu kabur."

"Oke fie masuk. Tapi mau apa dulu?"

"Nanti juga kamu tau."

Jalfie menghela napas nya pasrah karna mau tidak mau ia harus mengikuti perintah dari ayahnya. Maka dari itu, ia mengikuti langkah kedua orang tuanya memasuki restoran mewah itu. Kaki nya melangkah ke arah ruangan bertulisan vip kemudian memasukinya.

'Ini gue ga akan di jual sama ayah karna beliau bangkrut dan tiba-tiba kelibat hutang banyak kaya yang di film-film itu kan, engga kan?' Jalfie membatin.

Mata melihat ke seluruh penjuru ruangan yang ia masuki, tak banyak orang berada di dalamnya. Hanya ada 2 orang saja yang mungkin umurnya sama dengan kedua orang tuanya. Bisa kah Jalfie bernapas sedikit, karna kemungkinan ia tak jadi di jual oleh orang tuanya.

"Maheswara, apa kabar?"

Itu suara ayah nya yang sedang menyapa laki-laki berusia seumurannya.

"Haha saya baik, kamu dan keluarga bagaimana kabarnya"

"Seperti yang terlihat saya juga sangat baik."

Tak ada kecanggungan diantara kedua orang tua itu, hanya Jalfie lah yang masih terdiam di ambang pintu sedang membaca situasi nya saat ini.

"Itu anak mu? Kenapa tidak disuruh kemari saja, kenapa harus diam aja di dekat pintu seperti itu."

"Ya tuhan, anak ini memang benar-benar. Jalfie, kesini nak."

Merasa dirinya terpanggil ia pun melangkah mendekati ayahnya.

"Iya ayah?"

"Kenalin ini sahabat ayah sekaligus rekan kerja ayah, kami berteman sejak SMP sampai sekarang menjadi rekan bisnis. Ini namanya om Abraham dan istrinya tante Devina, ayo kamu sapa mereka jangan malu-malu." Ujar sang ayah.

"Ha— halo om tante... Salam kenal, saya Jalfie Sangkara." Ucapnya tergugup.

"Aduh ganteng nya, kamu usia berapa sekarang nak?"

"20 tahun tante.."

"Ya ampun sudah dewasa ternyata ya, terakhir bertemu itu pas kamu masih sangat kecil sekali dan tante belum ada kesempatan untuk ketemu sama kamu karna gak selalu stay di Jakarta."

"Hehe iya tante.."

Tolong siapapun keluarkan Jalfie dari dalam sana, ia sangat tidak terlalu nyaman dengan orang yang baru ia temui. Mungkin menurut wanita itu mereka sudah bertemu sejak Jalfie masih sangat kecil, tapi ini sangat begitu asing bagi Jalfie.

"Kamu kuliah di Universitas Hub kan?"

"Iya tante betul."

"Wah kebetulan sekali anak bungsu tante jadi dosen disana."

"Oh ya tante? Siapa namanya? Mungkin Jalfie kenal sama anak tante, biar begini juga Jalfie banyak kenal dosen disana."

"Eumm... Dia dosen di jurusan Seni Musik, karna kebetulan dia juga seorang komposer musik—"

"Jalfie jurusan musik tante."

"Iya?"

Jalfie mengangguk antusias, "Coba tante sebutin namanya anak tante siapa, Jalfie pasti tau orangnya."

"Namanya Yan—"

Suara pintu terbuka lalu kembali ditutup terdengar.

"Maaf saya terlambat."

Suara itu, Jalfie sangat familiar sekali.

"Gapapa, Jakarta memang selalu macet. Kemari dan duduk kesini Yanuar."

Tunggu sebentar, siapa tadi? Yanuar? Bukan Yanuar yang Jalfie kenal kan?

Dengan rasa penasarannya, Jalfie kemudian menengok kearah sumber suara itu dan—

"Bapak ngapain disini?"

"Loh? Kamu yang sedang apa disini?"

Keduanya sama terkejutnya.

Gibran dan Abraham saling menatap satu sama lain, tersenyum penuh arti kemudian menganggukkan kepala nya seperti sedang membuat kode rahasia yang hanya mereka berdua saja yang tahu.

"Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Gibran.

"Pak Yanuar dosen pengampu di jurusan aku ayah."

"Beneran? Kebetulan sekali ya, anak bungsu tante yang dimaksud tadi itu Yanuar nak." Titah Devina.

Jalfie terdiam memproses segalanya.

"Bagus kalau kalian sudah saling mengenal, jadi kami dengan sangat mudah untuk menyusun rencananya." Ucap Abraham.

"Rencana apa Pa?"

"Rencana untuk menikahkan kamu dan Jalfie." Jawabnya.

"Hahh??" Kedua orang itu menjawab secara bersamaan.

Apa ini, kenapa tiba-tiba membicarakan pernikahan yang sama sekali tidak pernah ada di bayangan keduanya. Mungkin iya jika Yanuar sudah mengetahui bahwa dirinya memang akan di jodohkan oleh orang tuanya, namun ini begitu mengejutkan bahwa faktanya ia akan menikahkan mahasiswa nya sendiri.

Tidak habis pikir dengan apa yang terjadi hari ini. Baik Yanuar dan juga Jalfie, keduanya sama-sama terdiam tanpa ada yang mengatakan sesuatu lagi. []

Lecturer Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang