Bab 32 ~ Berburu hingga ke Batu

555 66 7
                                    


Setelah mengetahui kehamilan istrinya, Reza lebih memilih mengendalikan pekerjaannya dari Malang. Terhitung sudah dua minggu dia berada di kota ini. 

Azan Subuh tidak lebih tiga puluh menit lagi. Reza telah mengakhiri sujud-sujud panjangnya. Ada doa khusus yang dipanjatkan untuk calon bunda dan mutiara kecilnya. Semoga Allah mengaruniakan kesempurnaan tumbuh kembangnya. Kesempurnaan atas akalnya. Semoga kelak menjadi anak sholih/sholihah. Dunia di telapak tangannya, tetapi akhirat selalu di hatinya. Dia akan menjadi salah satu pejuang Islam hingga kaum muslimin kembali meraih izzahnya. Dan bagi ibu yang sedang mengandungnya. Belahan hatinya. Semoga Allah mengaruniakan kesehatan, kekuatan, kesabaran tiada batas, dan keikhlasan selama mengandung hingga melahirkan buah hati mereka. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi mereka berdua. Wa bil khusus semoga hari ini Quinsha tidak muntah berat seperti kemarin hingga semalam. Hatinya berbuncah harap Allah akan mengabulkan doa-doanya.

Reza beranjak dari sajadahnya. Ada sisa waktu bagi Quinsha untuk salat malam. Sengaja tidak membangunkan Quinsha lebih awal sebagaimana malam-malam sebelum mual muntah dialaminya. Menjelang tidur tadi, Quinsha muntah hebat. Dia mengeluarkan seluruh makanan di lambungnya. Rupanya telah tiba waktunya dia merasakan horor trimester pertama. Kehamilannya memasuki minggu keenam. Perhatian Reza teralihkan sedikit pada gerakan kecil di tempat tidur. Tangan Quinsha menggapai-gapai ke sisi tubuhnya. Dia juga berguling ke sisi kiri. Reza tersenyum kecil. Quinsha mencarinya. Sejak positif hamil, Quinsha selalu minta didekap saat tidur. Reza beranjak dari sajadah. Perlahan duduk di tepian pembaringan. Dipandanginya wajah damai istrinya. Kedua mata Quinsha masih terpejam. Lelap.

"Queen! Bangun dulu, yuk!" ajaknya lembut. Reza mencium keningnya.

Quinsha bergeming.

Reza mengulanginya, "Sayang, bangun dulu, yuk!"

"Engghhh... capek, Mas!" Dia menggeliat tetap dengan mata rapat menutup.

"Capeknya ditahan dulu ya! Ada waktu sedikit, cukup untuk dua rakaat tahajud tambah satu witir."

"Badanku lemes banget, Mas!" sahutnya dengan wajah memelas.

"Makanya bangun, yuk! Kubuatkan jahe anget biar nggak mual."

"Nggak pengin jahe! Penginnya tidur," rajuknya. Berharap suaminya luluh dan membiarkannya tetap tertidur. Jangan harap! Reza punya seribu cara membangunkan Quinsha yang malas-malasan. Salah satunya dengan terus menepuk lengannya.

Reza sangat paham dengan rasa lelah Quinsha. Mengantuknya. Mualnya. Namun yang lebih dia pahami adalah terlalu sayang jika satu malam dilewatkan tanpa Qiyamul Lail meski hanya tiga rakaat.

"Jangan begitu! Aku nggak bisa tidur!" Quinsha membuka matanya melihat apa yang dilakukan suaminya.

"Itu supaya kamu bangun! Ayolah, sebentar saja. Setelah Subuh, tidur lagi!" Reza mengangkat kepalanya dan menatap Quinsha lekat.

"Tapi sekarang dingiiinnn...," ucapnya sambil menaikkan selimut hingga menutupi kepalanya.

Quinsha benar. Dingin hingga ke sumsum tulang. Dinginnya udara pagi ini, semakin dingin dengan turunnya hujan sejak awal malam. Suara petir dan kilasan kilat memang membuat sebagian orang makin terlelap, namun sebagian lainnya kian waspada, karena bisa saja Allah menurunkan azabnya ketika manusia tertidur nyenyak. Reza adalah sebagian dari mereka yang waspada. Dia tidak benar-benar tertidur sejak awal malam.

"Dingin itu karena belum kena air saja. Nanti setelah wudu, pasti segar. Nggak dingin lagi. Nggak ngantuk lagi!" sahut Reza ringan. Dia menurunkan selimut Quinsha sambil terus memotivasi istrinya itu untuk menunaikan salat.

Quinsha Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang