Bab 27 ~ First LDR

1.6K 104 13
                                    

Semburat merah di langit timur perlahan menghilang berganti cahaya kuning keemasan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Belum ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Quinsha. Maya beberapa kali mengetuk pintu mencoba membangunkannya. Lima menit berdiri belum membuahkan hasil. Quinsha masih terlelap.

Tok tok tok!

Maya mengulangi lagi mengetuk pintu.

Tetap tidak ada sahutan.

"Caca! Dek!"

Dalam pengamatan Maya, sejak kembali ke kontrakan tiga hari lalu, Quinsha mempunyai kebiasaan baru. Tidur seusai Subuh. Padahal itu jelas bukan kebiasaan lamanya. Dan pagi ini, Maya khawatir Quinsha belum bersubuh, karena sejak pukul tiga tadi, dia belum melihat pintu kamarnya terbuka. Biasanya mereka sejenak menyapa saat berwudlu atau kadang qiyamul lail dan sholat Subuh berjamaah.

Maya mengeraskan suaranya, "Caca! Sudah jam Lima! Sudah sholat belum?"

Quinsha kenapa? Jam tiga tadi dia juga tidak terbangun. Ngelembur lagi? Maya terus berusaha membangunkan adik kostnya itu. Adalah kewajibannya mengingatkan orang-orang terdekatnya untuk segera menunaikan sholat.

Selang beberapa saat, Maya mengetuk lagi pintu kamar Quinsha dengan sabar.

Tok tok tok tok! Agak panjang ketokannya.

"Dek!"

"Iya, Mbak... sebentar!" Sahutan parau terdengar lirih.

Sejenak kemudian pintu di depannya terbuka.

"Maaf, aku kesirep, Mbak? Mbak Maya sudah tadi, ya, toktok-toktok pintunya?"

"Lumayan!" jawab Maya tersenyum, "Sudah Subuhan belum?"

"Alhamdulillah, sudah! Bakda subuh tidur lagi." Quinsha menjelaskan sambil mengikat rambutnya menjadi satu. Maya dapat melihat jelas seraut wajah pucat kelelahan, "Masih pusing! Berasa kaya hangover. Bumi goyang-goyang, mual juga!" Quinsha mencoba tersenyum.

"Wudunya kapan, Dek?"

"Sekitar jam dua tadi." Quinsha bersandar pada kusen pintu, "Aku denger, kok, Mbak Maya yang wuduan. Cuma aku males yang mau keluar, Mbak. Dingin!"

Semalam memang hujan sempat menyapa meski tidak lebat.

"Alhamdulillah, kalo sudah sholat. Mbak pikir kamu belum sholat. Ini sudah jam 5. Oya, ponselmu bunyi terus. Palingan ntar bunyi lagi," Maya mengangsurkan ponsel Quinsha.

Ah, lagi-lagi dia lupa membawanya ke kamar. Sebelum-sebelumnya ponsel itu dia kantongi di celana piyamanya. Ketika mengambil wudlu, dia meletakkannya di atas meja makan. Quinsha membawa-bawa ponsel itu karena semalaman dia menunggu telpon atau pun sebaris pesan dari suaminya. Nihil. Ditelepon, tidak diangkat. Rentetan pesannya, tidak dibalas. Hemh, betapa menyakitkan menanggung rindu? Menggayuti hati, membebani pikiran. Satu rasa yang baru dia kenal...

Betul. Ponselnya bersuara lagi. Quinsha melihat layarnya sekilas.

"Suami! Sebentar, ya, Mbak!" Senyumnya mengembang. Hatinya berbuncah.

Maya mengangguk dan berlalu dari depan kamar Quinsha.

Quinsha kembali naik ke tempat tidur, menata bantal-bantal, dan menyandarkan punggungnya. Terakhir dia bergelung dibalik selimut lembutnya. Posisi yang benar-benar nyaman! Posisi yang membuatnya kembali mengerjap berkali-kali menahan kantuk. Matanya berair.

"Assalamu'alaikum..." Sapanya disela senyuman.

"Wa'alaikumussalam, my Queen. Lama banget diangkatnya?" Santai seperti biasa.

"Bukannya kebalik, Mas? Bukannya sejak kemarin sore ditelpon, ga diangkat. Ribuan pesan nggak dibales?" Wuih, Quinsha mulai melepas amunisinya.

"Aiisshh... ribuan pesan," Reza tergelak, "Dua puluh pesan!"

Quinsha Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang