5. EVAN HAMIL

3.1K 78 1
                                    

Matahari telah tenggelam bergantikan sinar redup sang rembulan. Udara mulai terasa dingin. Angin sepoi mulai bertiup kencang berhembus dari luar ruangan. Hawa dingin di sekitar rumah sakit mulai terasa menusuk sampai ke tulang belulang. Tiupan dinginnya yang masuk melalui jendela mulai mengusik permukaan wajah Bruno yang mulai terkantuk-kantuk.

Evan pada akhirnya dikirim ke rumah sakit akibat dari pingsannya saat mendengar suara petir siang tadi. Bruno dan Segara dengan setia menemaninya di ruang perawatan. Saat ini, Segara tengah tertidur pulas di atas sofa, sementara Bruno duduk di dekat brangkar Evan dengan terkantuk-kantuk.

Evan mulai membuka mata perlahan, menoleh lemah ke kanan dan ke kiri berusaha mengingat-ingat kejadian terakhir yang terjadi, lalu terperanjat kaget saat menyadari bahwa tangan Bruno tengah menggenggam tangannya.

Evan menghempas dengan cepat tangan Bruno begitu saja. Bruno terbangun. Evan sepertinya masih tampak kecewa pada Bruno. Dia merasa Bruno sengaja melakukan sex dengannya malam itu untuk menjebaknya agar hamil dengan berpura-pura salah memberikan obat perangsang.

Bruno yang menyadari Evan sudah terbangun seketika tersenyum. Ia merasa bersyukur sekali karena bossnya yang kata dokter mengalami syok itu telah sadar dan dapat melewati semuanya, suara petir itu tidak membuat bossnya mati ataupun terluka.

Evan bangkit duduk dari pembaringannya dengan gerakan lemah, seluruh tubuhnya masih terasa sakit, tapi ia tahan mati-matian karena tidak mau diperlakukan Bruno seperti itu lagi, bibirnya yang terlihat tipis dan mungil terlihat bergetar seolah ingin menangis, lalu mulai berucap dingin pada Bruno.

"Lo gue pecat!!"

"Tap--tapi Boss..."

Bruno kaget bukan kepalang. Ia kehilangan kata-kata bagaimana untuk menjawab kalimat yang barusaja diucapkan Evan.

"Lupain hutang piutang itu. Udah gue anggap lunas."

Sesungguhnya, bukan masalah hutang piutang yang memberatkan Bruno pergi untuk sekarang ini, tapi karena ada dedek bayinya yang sekarang sedang berada di dalam kandungan Evan.

Dokter yang memeriksa Evan tadi mengatakan pada Bruno dan Segara jika Evan benarlah sedang hamil. Hanya saja, Bruno belum memberi tahu Evan untuk saat ini karena khawatir Evan syok lagi.

Evan turun dari brangkar dan menolak disentuh oleh Bruno, menyambar jaketnya dari atas nakas untuk meninggalkan rumah sakit. Sesungguhnya, kepalanya masih terasa pusing dan tubuhnya terasa kebas semua. Evan hanya ingin menenangkan diri saja.

"Aku nggak mau dipecat Boss." Bruno menjawab tegas.

"Karena aku cinta sama Boss Evan," tambahnya lagi mantap.

Bruno tidak peduli jika Segara yang tengah tidur ikut mendengarnya juga. Bruno sudah cinta mati sama bossnya.

Evan tidak menggubris ucapan Bruno sama sekali, memijat pelan pelipisnya karena rasa pusing itu semakin mendera setelah mendengar kalimat cinta yang barusaja diucapkan Bruno padanya.

Saat Evan hendak melarikan diri, seorang dokter yang merawatnya masuk dengan membawa sebuah map. Evan mengurungkan niatnya untuk melarikan diri dan kembali ke atas brangkarnya kembali.

"Apa kabar?"

"Baik Dok."

"Syukurlah sudah terbangun. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada anda menyangkut tentang hasil pemeriksaan." Dokter itu kemudian membuka map hasil rekam medis Evan, kemudian memberikan penjelasan tentang hasil rekam medis yang tadi sempat dijelaskannya pada Segara dan Bruno saat Evan masih dalam keadaan pingsan itu.

Bruno dilanda perasaan gelisah takut dokter itu akan memberitahu Evan bahwa sekarang Evan tengah hamil. Bruno khawatir Evan mengalami syok lagi, ataupun sedih, ataupun marah karena tak terima dengan kondisinya yang mengalami kehamilan, sementara ia adalah seorang cowok.

"Semua baik-baik saja dan berjalan dengan normal. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semua organ menjalankan fungsinya dengan baik dan akan pulih secepatnya," ujar si dokter.

"Ya. Terimakasih dokter." Evan tersenyum. Pun Bruno juga ikut tersenyum lega.

Dokter itu kemudian beralih membaca hasil rekam medis Evan yang lain.

"Kami sebagai pihak dokter yang menangani anda saat dalam keadaan pingsan sudah melakukan beberapa pemeriksaan secara detail dan teliti, mulai dari fisik, sampai melakukan pengecekan darah, dan hasilnya tetap sama. Kami bingung bagaimana cara untuk menyampaikannya. Kejadian ini sungguh sangat langka dan tidak bisa dengan mudah diterima oleh akal logika. Akan tetapi, inilah kenyataannya."

Evan meneguk salivanya bingung dan meremat sprei brangkarnya kuat-kuat. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Apakah ada sesuatu yang serius terjadi padanya?

Apa benar dia hamil?

"Apa yang terjadi Dok? Katakan saja pada saya. Saya sudah siap mendengarnya." Evan dengan begitu tegar berucap setelah menarik napas dalam-dalam.

Sesungguhnya Evan tidak siap, tetapi mencoba menguatkan diri untuk siap karena bagaimana pun semua sudah terjadi.

"Ada gumpalan kecil menyerupai gumpalan darah di perut anda saat dilakukan pemeriksaan USG. Kami sempat ingin mengangkatnya karena kami mengira gumpalan itu adalah tumor. Tetapi, itu bukan. Itu adalah bakal janin. Itu adalah calon bayi."

"M--mak-maksud dokter... Sa--saya hamil?" Evan dengan bibir bergetar bertanya seolah tidak percaya. Dia seorang laki-laki tulen, cowok, memiliki batang, organ kelaminnya juga masih bisa tegang kalau dikasih lihat film porn0, bagaimana mungkin dia bisa hamil.

Sang Dokter mengangguk mengiyakan.

Evan yang tengah duduk di atas brangkar tidak percaya dengan hasil pemeriksaan itu. Ini adalah sesuatu yang sangat mustahil. Bagaimana bisa seorang laki-laki tulen tiba-tiba hamil?

"Dokter... Coba periksa sekali lagi. Siapa tahu hasil akhirnya berbeda. Saya seorang laki-laki, bagaimana mungkin saya hamil." Evan memohon pada Sang dokter untuk memeriksa sekali lagi, siapa tahu hasilnya berbeda. Bruno sampai merasa kasihan saat melihat wajah frustasi Evan. Semenjak mendengar bahwa dia hamil, raut wajah bossnya yang ganteng itu berubah begitu lesu, menyedihkan dan putus asa.

Bruno ikut merasakan apa yang dirasakannya. Sesungguhnya, ia tak tega melihatnya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur. Jika saja Bruno tahu Evan akan kebobolan karena kegiatan sex malam itu, Bruno akan memakai pengaman saat bercinta dengannya.

Sang dokter serta merta menolak permintaan Evan. Soalnya, ia sudah melakukan pemeriksaan sampai berkali-kali.

"Kami sudah melakukan sesuai batas kemampuan kami. Dan hasilnya seperti yang sudah kami sampaikan tadi. Dan kami yakin itu benar-benar bayi. Kami juga menemukan janin itu terbungkus ari-ari dan terlindungi oleh air ketuban. Anda sebagai seorang laki-laki memiliki rahim. Jika masih tidak percaya, bisa berpindah ke rumah sakit lain yang lebih berkompeten daripada kami. Maaf.. Hanya itu yang bisa kami lakukan dan kami sampaikan. Kami pamit untuk memeriksa pasien yang lainnya dulu... Permisi.."

Sang dokter berlalu.

Evan duduk meringkuk di atas brangkar menangis tersedu menenggelamkan wajahnya di perpotongan kakinya yang menekuk dalam. Suara tangisannya teredam. Akan tetapi, Bruno mampu mendengarnya dengan begitu jelas.

"Boss.... Sorry.... Soal bayi dalam kandungan Boss itu.. Aku akan bertanggung jawab." Bruno berusaha menghibur Evan sebisanya.

Evan lantas mengangkat wajahnya dengan berlinang air mata.

"Puas lo? Gue cowok !! Dan gue hamil. Gue artis. Bukan lo yang bakal dianggap aneh dan harus menanggung malu? Tapi gue!!"

"Maaf..."

"Sekarang, lo gue pecat!!"

"Boss..."

"PERGI!!!"

"Tap--tapi Boss..."

"PERGI GUA BILANG!!"

Bruno menurut meski hatinya berat untuk meninggalkan. Ada calon bayi mungilnya yang sedang berada di rahim Evan. Dengan langkah lesu, ia keluar melalui pintu. Ia masih berharap Evan meneriaki namanya untuk memintanya kembali, tapi ternyata harapannya itu cuma mimpi belaka. Evan malah melemparinya dengan bantal, selimut dan benda-benda lainnya.

[]

Tbc

BODYGUARD SLEBOR [R21+]Where stories live. Discover now