Bagian 02

565 47 23
                                    

Happy reading...

ʚ Hukuman!! ɞ

****

Hari ini sepertinya benar-benar sangat sial dalam kamus kehidupan Aqila. Dari bangun tidur sampai sore ini full. Piket dapur, piket ndalem, ketemu Gus Abi, mbobol kepergok Gus Abi pun ia alami.

"Kamu, bantu-bantu di dapur selama satu minggu sebagai hukuman. Sedangkan kamu, Aqila. Kamu piket ndalem satu bulan," tegas Gus Abi.

Walaupun pesantren ini masih dalam kuasa Abahnya, tetap saja ia memiliki wewenang atas pendisiplinan santri.

Wajah Aqila langsung pucat. Seperti permintaan mutlak Gus Abi tadi, ia pergi ke ndalem selesai makan bakso.

Sementara Nadia, gadis itu menunduk gemetar lalu mengangguk pelan.

"Kenapa gue satu bulan, Gus?"

"Heum? Kenapa? Kamu mau nawar? Kan kamu otak dibalik aksi mbobol ini," ungkapnya langsung. "Oh ya, kamu boleh pergi, saya mau buat perhitungan dengan santri nakal satu ini."

Nadia kembali mengangguk. Gadis itu pun akhirnya pergi meninggalkan Aqila. Bisikan-bisikan Aqila pun ia acuhkan.

Aqila mendengus, menatap tak takut lelaki yang berdiri di depannya ini. "Harus adil dong, Gus! Masa Nadia seminggu gue sebulan?"

"Apa mau saya tambahkan menjadi satu tahun? Kamu akan lebih lama bertemu dengan saya kalau begitu." Gus Abi menarik kursi, duduk di sana menghadap Aqila dalam jarak satu meter lebih.

"Idih, ogah." Gadis itu melengos. "Mending gue ketemu orang utan dibanding ketemu sama lo." Tak ada kata santun di kamus Aqila. Kecuali kalau sudah menghadap Umi Khalisha atau Abah Zaid. Itu dikecualikan.

Hah... Ekpektasinya kala mendengar cerita tentang Gus Abi terlalu tinggi. Padahal nyatanya, sama saja seperti cowok lain. Bahkan ia lebih menjengkelkan. Sampai Aqila merasa muak harus bertemu meski cuma beberapa detik saja.

Gus Abi geleng-geleng. "Sudah berapa lama kamu mondok di sini?"

"Kepo! Ngapain nanya-nanya?" sulut Aqila tidak sellow.

"Kamu tinggal jawab, sudah berapa lama? Satu tahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau empat tahun?" Gus Abi mengulang, memperjelas sambil menyedekapkan kedua lengannya dibawah dada.

Di mata Aqila, orang itu terlihat sangat-sangat angkuh. Menyebalkan!

"Tiga bulan, kenapa?"

Manggut-manggut setelah mendesah pelan, Gus Abi kembali berucap. "Ubah kata lo-gue jadi aku kamu. Tidak sopan dan kurang pas untuk santri menyebut kata seperti itu. Kamu juga sudah dewasa, pasti tahu antara mana yang baik dan mana yang buruk."

"Siapa gue lo ngatur-ngatur?" Decakan keras menyusul kemudian. "Sotoy! Emangnya tau berapa umur gue?" lanjutnya menggerutu.

Gus Abi tersenyum kecil, menyahutinya dengan tenang, "Tadi kamu saya ajak nikah gak mau. Terus saya atur-atur begini jadinya malah bawa-bawa hubungan. Saya harus bagaimana? Kan saya menjalankan tugas, Aqila.

"Alalalah, serah lo. Suka-suka lo! Ntar pesantrennya kebakaran tinggal lo sukurin!" Gadis ini kemudian mundur. Tidak, ia berdiri angkuh lalu pergi tanpa mengucap salam. Untungnya Abah dan Umi tengah pergi tadi.

Gus Abi hanya bisa geleng-geleng kepala dengan sifat keras kepala dan susah diatur Aqila. Benar kata orang tuanya. Tapi gadis seperti ini tak boleh diabaikan, tentu ia harus lebih mendapat perhatian dan gemblengan kedisiplinan. Maka dari itu, Gus Abi turun tangan.

Itulah alasan Gus Abi selain pernah menemui Aqila dalam mimpinya. Padahal dulu mereka tak pernah bertemu.

"Aqila...Aqila. Kamu menarik."

ᨏᨐᨓ 𝑺𝑮𝑨 ᨓᨐᨏ

"Mbak, mbak, mbak, mbak. Kaki lo salipan."

Santri yang melintas itu reflek menunduk melihat kakinya.

"Berchandhyaaa... Berchandhyaa." Aqila merasa terhibur, ia tertawa ngik-ngik hanya dengan perkara itu.

Sementara korban yang baru melintasi kelas Aqila-entah sudah keberapa- itu cengengesan malu. Bukan hanya Aqila yang menyaksikan kebodohannya. Ada Nadia serta santri lain di sana.

"Btw.... Kita ngapain sih sebenernya belajar malem bareng-bareng gini? Gue udah tiga bulan gue gabut waktu-waktu gini. Gak ada yang gue dapetin. Pr gak pernah ada. Hafalan juga males. Ckckck..." ia geleng-geleng sendiri. Sebegitu bosannya dia. "Mending turu aja."

Ia hendak pergi dari duduknya di ambang pintu. Tapi melihat sosok Gus Abi tengah berpatroli, ia jadi pengen iseng.

"Gus, Gus, Gus?!" panggil Aqila.

Mana ada takut-takutnya? Yang lain sudah kembali ke tempat duduk asalnya sambil berpura-pura menghafal atau belajar, sedangkan ia masih stay duduk di ambang pintu.

Gus Abi menoleh. Masih dengan tampang datarnya ia mendekati. "Ada yang mau di tanyakan?" tanyanya.

Aqila melirik ke belakang laki-laki itu. Oh, dia bawa rotan juga, ternyata?

"Tumbenan patroli? Biasanya gak pernah tuh." ucap Aqila, berniat mengejek. "Mana nih, yang katanya punya wewenang?"

Percayalah, ucapan Aqila membuat seluruh santri di dalam kelas mati kutu serta takut Gus Abi murka. Ayolah... Aqila sadar, kamu ngomongnya terlalu sarkas pada orang yang seharusnya kamu hormati.

Raut Gus Abi masih tetap sama, datar. "Kamu ngapain duduk di ambang pintu? Di dalam kitab disebutkan, duduk di ambang pintu buat kita sering lupa dan sempitnya jalan rezeki. Masuk," tegasnya.

Bibir Aqila menye-menye tak suka. Tapi ia tetap masuk ke dalam.

Gus Abi tidak gila hormat, apalagi memanfaatkan posisinya mempermainkan santri. Mau bagaimana pun, ia harus menunaikan amanah.

"Hukuman kamu nambah, jadi satu tahun. Tidak ada penolakan. Akan saya maturkan ke Umi dan Abah." Lantas, laki-laki itu pergi dari sana.

Aqila melongo. Satu tahun, bukan waktu yang sedikit baginya. Ini semua... Gara-gara bibirnya!

Plak!

Ia menampar bibirnya sendiri, membuat sebagian besar santri di sana memekik.

"Argh, sial!!! Bisa setres gue!!"

Gus Abi yang sudah jauh dari kelas Aqila mengulum bibir, dalam hati berkata, "Maaf, Aqila."

ᨏᨐᨓ 𝑺𝑮𝑨 ᨓᨐᨏ

Gimana chap ini? Kurang greget??

Vote & komen kalian ditunggu...😡

Spam 🐷🐷🐷 di sini...

Kata" buat Aqila?

Atau Gus Abi?

Bisa bantu share ke siapapun guys... Kalo di instastory, bisa tag aku...

Ig @ahla.dyn

GUS ABIDZAR Where stories live. Discover now