7. bukan penghalang

59 6 0
                                    

"Di sini tempat tinggalmu?" Nabila yakin, dari pengalamannya mendeskripsikan suatu tempat ketika menulis novel, tempat ini lebih cocok disebut apartemen.

"Iya." Ares menempelkan kartu pada pintu bernomor 770, kemudian setelah terdengar suara barulah ia membuka pintunya. "Ayo masuk."

"Kenapa kamu ngajak aku ke sini?" Nabila mengikuti langkah Ares yang sudah masuk terlebih dulu.

"Aku butuh mandi."

"oh."

"Kamu bisa duduk dulu di sana. Terserah, mau nonton atau main game atau apapun."

Nabila hanya mengangguk, tetapi ia sudah memutuskan tidak akan melakukan apapun. Dirinya hanya perlu duduk sambil memainkan ponsel. Menatap sekeliling ruangan ini saja membuat ia merasa ngeri sendiri, apalagi jika harus menyentuh barang-barangnya. Kalau ada yang rusak bagaimana?

"Aku tinggal dulu ya." Ares pamit dengan mengusap pelan pucuk kepala Nabila.

"Iya."

Setelah lelaki itu menghilang dibalik pintu kamar, Nabila berjalan perlahan mendekati sofa dan mendudukkan diri dengan gerakan pelan juga. Jelas ruangan ini berkali lipat lebih luas dari kostan yang ditempatinya, setidaknya cukup membuktikan jika dirinya dan Ares memiliki kehidupan yang berbeda.

Suara bel terdengar, menyadarkan Nabila dari lamunan panjangnya. Haruskah ia membukanya? Atau membiarkannya saja? Tetapi bagaimana jika sesuatu yang penting? Lagipula Ares juga ada di sini. Siapapun yang datang, Nabila hanya perlu meminta orang itu untuk menunggu sebentar karena seseorang yang ditujunya masih membersihkan diri.

Baiklah. Nabila berjalan untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, trlihatlah seorang Pria yang diperkirakan memiliki jarak usia yang cukup jauh dengan Ares. Oh astaga, apa Pria di hadapannya ini orang tua Ares?

Tidak jauh seperti dirinya, lelaki itu pun seperti meneliti penampilannya. Nabila sangat tidak nyaman dibuatnya. "Di mana Ares?" tanya pria itu datar.

"Aresnya masih mandi. Mungkin Bapak bisa menunggu sebentar."

"Oke."

"Duduk dulu Pak?" Nabila meringis menyadari perlakuannya pada tamu ini. Kenapa posisinya seakan dirinyalah pemilik tempat ini. Tapi tidak ada yang salah bukan? Nabila hanya mewakili Ares saja dalam menyambut tamu.

Ngomong-ngomong, apakah Ares memiliki minuman untuk disuguhkan kepada seorang tamu, selain air mineral? "Sebentar Pak, biar saya ambilkan minum dulu."

"Tidak perlu. Lagipula ada sesuatu yang ingin saya katakan pada anda."

Kenapa Lelaki ini berbicara begitu kaku padanya, terus apa yang perlu dikatakannya mengingat keduanya tidak saling mengenal. Dengan kening berkerut, Nabila menjawab. "Ya?"

"Bisakah anda tidak jadi beban dalam kehidupan Ares. Saya melihat, sebelum anda masuk ke dalam kehidupannya dia sosok lelaki yang bekerja keras."

"Maaf. Bapak mengenal saya?"

"Tidak. Tetapi saya melihat Ares mengunjungi tempat anda beberapa hari ini."

Dengan kata lain, lelaki ini mengikuti Ares. Begitu? Sampai-sampai mengetahui kebiasaannya. Pemikiran tersebut membuat Nabila tidak berminat untuk mengeluarkan suara lagi.

"Jika anda sayang pada Ares, harusnya anda mendukungnya bukan menghentikan impiannya. Sebelumnya dia sangat senang ketika saya menawarkan perpindahan kerja ke Singapore, tetapi beberapa malam yang lalu dia mengatakan agar saya membatalkan kepergiannya lalu menggantinya dengan yang lain."

Oke. Jadi Pria ini salah satu rekan kerja Ares di perusahaannya. Bukan orang tua seperti pemikiran Nabila sebelumnya.

"Bukan di perusahaan kami tidak ada arsitek lain, tetapi Cuma Ares yang bisa melakukannya. Tidak hanya karir Ares yang akan terhambat, tetapi perusahaan kami pun akan terkena dampaknya. Jadi saya mohon sekali lagi pada anda, jika sekiranya kehadiran anda hanya merugikan lelaki itu lebih baik anda berhenti. Diluaran masih banyak pria lain yang bisa anda ajak untuk bermain-main."

Cklek!

Pintu kamar terbuka, muncul sosok Ares dengan penampilan santainya. Sedangkan rambut setengah basahnya masih ia gosok menggunakan handuk kecil. "Eh Ares, ini aku tadi gak sengaja denger bel bunyi. Terus—" Nabila berniat menjelaskan sikap lancangnya—yang sudah menerima tamu tanpa persetujuan Ares—ditengah perasaan sedihnya. Namun Ares segera menghentikan dengan mengelus kepalanya pelan.

"Gak papa. Bisa tunggu di kamarku sebentar?" ujarnya yang langsung diangguki oleh Nabila.

Setelah memastikan perempuan itu benar-benar menghilang dibalik pintu kamar, barulah Ares menatap serius pada Pria yang masih berdiri dihadapannya. "Bapak tidak perlu khawatir, saya tidak akan membatalkan kontraknya."

Manager perusahaannya itu bernapas lega. "Baguslah. Saya kepikiran dari tadi, makanya saya memutuskan untuk memastikannya sekali lagi."

Ares hanya tersenyum kecut. Senyum yang bahkan tidak sampai pada matanya. "Saya harap Bapak tidak ikut campur ke dalam urusan pribadi saya ... lagi." Kemudian melirik sekilas pada kamarnya. "Dia sama sekali bukan penghambat dalam pekerjaan saya, justru dia yang membujuk saya untuk tetap melanjutkan kontrak kerja itu. Semua pemikiran negativ Bapak terhadapnya tidak ada yang benar sama sekali. Dia perempuan hebat yang tidak akan membiarkan impian saya hancur."

Tentu saja Ares mendengar semua percakapan Pria ini dengan Nabila. Jika tidak ingat akan posisi Pria ini, mungkin dirinya akan langsung memarahinya tanpa kata-kata penuh kesopanan. Beruntung Ares masih dapat mengendalikan emosi. Ketika situasnya memojokkan Nabila barulah dirinya memutuskan menampakkan diri.

"Oh itu, maaf. Beberapa hari terakhir saya merasa Bapak tidak fokus selama di kantor. Saya hanya takut terjadi sesuatu pada Bapak, jadi saya putuskan untuk mengikuti Bapak dan tidak sengaja melihat Bapak mengunjungi perempuan itu berapa waktu terakhir."

"Mungkin lain kali jika ada yang mengganjal, Bapak bisa menanyakannya langsung pada saya. Kalau diikuti diam-diam saya akan merasa tidak nyaman."

"Saya benar-benar minta maaf Pak." Dari wajahnya lelaki itu tampak merasa bersalah.

Ares sedikit terkekeh untuk mencairkan suasana. Menyadari tidak sepantasnya dirinya terlalu mengintimidasi Pria dihadapannya ini yang notabennya memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding dirinya.

"Sebentar lagi saya akan pergi untuk makan malam. Bapak bisa ikut jika mau, sekaligus melanjutkan pembicaraan kita," ujar Ares seraya melirik pada jam dinding. Jelas sekali dalam perkataannya mengandung makna pengusiran secara halus.

"Ah tidak Pak, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Saya harus segera pulang, mungkin istri dan anak saya sudah menunggu di rumah. Kalau begitu saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak."

***

"Aku kebelet deh," ujar Ares begitu keluar dari lift. Sesuai perkataan lelaki itu beberapa waktu sebelumnya, keduanya akan pergi makan malam di luar.

"Kamu tunggu disini ya, aku ke toilet sebentar." Nabila hanya mengangguk menatap kepergian Ares dari ujung matanya. Dirinya tidak berani mengeluarkan suara, masih merasa tidak enak mengingat insiden di apartemen Ares tadi. Rekan kerja Ares jelas-jelas berpikiran buruk tentangnya mengenai keersamaannya dengan Ares kini.

"Itu Mas Dikta 'kan?" tanpa sadar Nabila bersuara ketika penglihatannya tidak sengaja menangkap seseorang yang terasa familiar. Perempuan itu berjalan mengendap-endap, untuk melihat dari jarak yang lebih dekat. Lalu wajahnya memucat ketika menyadari kebenaran dari dugaannya.

Lelaki yang tengah berangkulan dengan seorang perempuan itu benar-benar Dikta. Tunangan Valen, Kakaknya sendiri.

Kedua orang itu jelas tidak akan menyadari keberadaan Nabila, karena tengah asyik tertawa kecil dengan berjalan menuju lift.

"Kamu tunggu disiniya, aku ke toilet sebentar." Nabila haya menganggk menatap kepergian Ares dari ujung matanya. Dirinya tidak berani mengeluarkan suara, masih merasa idak enak mengingat insiden beberapa saat lalu, di apartemen Ares. Rekan kerja Ares jelas-jelas berpikran buruk tentangnya, mengenaikebersamaannya dengan Ares tadi.

"Itu Mas Dikta 'kan?" anpa sadar Nabila bersuara ketika penglihatannya tidak sengaja menangkap seseorang yang familiar.perempuan itu berjalan mengendap-endap untuk melihat dari jarak yang lebih dekat.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Future In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang