5. Arsitek dan Penulis

64 18 1
                                    

Selamat membaca...

***

"Mau kunamai apa nomormu nanti? Kayaknya, manusia paling egois atau Anak yang hilang enam tahun cocok deh."

"Heh, gak ada yang cocok itu." Ares cemberut.

"Terus apa dong?" kali ini kepala perempuan itu mendongak.

"Milikku." Ares tersenyum penuh arti.

"Milikku?" Nabila tampak mengerutkan kening.

"Yap."

"Gak ah, jelek begitu."

"Jelek katamu? Itu paling keren tau."

"Ha ha ha ha ...."

"Hey, aku serius." Ucapan Ares yang terdengar kesal sangat berbanding terbalik dengan perlakuan tubuhnya yang semakin mengeratkan pelukan.

Cukup memalukan sebenarnya, mengingat keduanya masih berpelukan di depan pintu rumah yang terbuka.

***

Nabila duduk bersila pada sofa, menopang dagu dengan sebelah tangannya. Matanya tidak lepas, memerhatikan Ares yang baru masuk dengan membawa laptop untuk keperluan kerja. Katanya lelaki itu ingin menghabiskan sepanjang hari di tempat Nabila, sekalian mengerjakan pekerjaannya disini juga.

Rumah yang Nabila tempati bukan miliknya sepenuhnya, dia masih menyewanya dengan pembayaran setahun sekali. Sejak lulus SMA, Nabila memutuskan ingin ngekost sendiri. Bude langsung mengizinkan, dengan syarat tempat kostnya tidak jauh dari rumahnya. Dipilihlah tempat ini. Dari sini Nabila hanya perlu berjalan melewati dua rumah untuk bisa sampai ke tempat Bude.

"Kamu kerja di daerah sini juga?" tanya Nabila.

"Ya. Tapi dari sini agak jauh sih. Limabelas menitan mungkin." Ares menjawab dengan menatap sekeliling, mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk memulai pekerjaan.

"Posisimu mau gimana itu?"

"Gak tau deh, di situ enak gak ya?" Tunjuknya pada meja dihadapan Nabila.

"Coba aja sini." Nabila turut menepuk tempat yang dimaksud.

Ares menghampiri, mulai meletakkan tas berisi laptop dan beberapa berkas di atas meja. Lelaki itu duduk bersila beralaskan karpet, membelakangi Nabila yang masih duduk di atas sofa. Dari posisi seperti ini Nabila dapat menyentuh pundak Ares dengan leluasa, seraya memerhatikan pekerjaan lelaki tersebut.

"Kamu biasa disini juga emang, kalo bikin naskah?" Ares bertanya ditengah-tengah menyalakan laptopnya.

"Enggak. Aku lebih suka di kamar. Pake meja rias." Lelaki itu memang sudah mengetahui keseharian Nabila yang menulis Novel, tetapi tidak dengan alasan dibaliknya.

Semua bermula dari penolakan yang Ares lakukan dahulu, dimana hal tersebut memaksa Nabila menjadi perempuan tidak percaya diri dan sedikit pemurung. Selain tidak suka bertemu banyak orang, dirinya juga malas berbincang, sekalipun itu dengan orang yang dikenalnya. Sebisa mungkin Nabila menghindari obrolan-obrolan yang sekiranya tidak penting, karena menurutnya itu hanya membuang waktu saja.

Dari sana lah ketertarikannya pada dunia menulis dimulai. Baik itu puisi, cerpen maupun novel.

Pada awalnya Nabila hanya memposting lewat blog pribadi miliknya. Yang berkunjung pun belum seberapa. Makin lama peminatnya bertambah banyak, kemudian salah satu penerbit datang menawarkan kerjasama padanya.

Penghasilannya cukup memuaskan, setidaknya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan lain. Kadang masih ada sisa juga untuk ditabungnya. Hal tersebut cukup dijadikan alasan agar Nabila tetap melanjutkan kerjasama tanpa melepas hobinya.

Future In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang