Bagian 1

89 12 5
                                    

"Papa sudah menerima pinangan dari salah satu teman Papa untuk putranya, Fayadh."

Pernyataan itu tentu saja membuatku terkejut. Tanpa meminta persetujuanku sebelumnya, tiba-tiba Papa bilang begitu.

"Pa ...."

"Dia anak yang taat agama. Putra dari Buya Yahya," potong Papa seolah tidak menggubris protesku. "Kamu tahu Buya Yahya, kan?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu, beliau itu seorang ustaz yang sering mengisi pengajian di kota tempatku tinggal. Selain itu, Buya Yahya juga merupakan teman sekantor Papa di Kementrian Agama.

"Minggu depan, kalian akan dipertemukan untuk saling mengenal satu sama lain."

"Pa, bukannya Khalis udah bilang kalau Khalis sudah punya calon sendiri?" protesku.

"Mana? Mana calon suami yang kamu bilang itu? Lelaki dari negara jiran itu? Kamu masih menunggunya?"

Aku terdiam dan sedikit menekur.

"Kalau dia memang benar-benar serius sama kamu, pasti dia sudah datang menemui Papa. Atau setidaknya memberimu kepastian, bukan dengan menggantungmu seperti ini. Ini sudah berapa lama dan kamu masih berharap padanya?"

"Lagian, apa kamu tahu asal usulnya? Siapa keluarganya, bagaimana keturunannya ... apa kamu tahu dengan baik? Realistislah, Khalis! Indonesia dan Malaysia itu beda negara, bukan beda propinsi."

Kutelan ludah dengan susah payah ketika pahatan wajah khas melayu milik Imran, menari di ingatan. Pria yang kujumpai kala aku dan teman-teman satu kantor, mendapat kesempatan berlibur ke negara Upin dan Ipin tersebut dalam rangka family gathering.

Pertemuan dengan Imran, adalah sebuah ketidaksengajaan. Saat itu, aku terpisah dari rombongan karena terlalu asyik memotret beberapa objek yang menurutku sangat menarik. Hingga tanpa sadar, aku sudah tertinggal jauh dan tak kulihat bayangan teman-temanku satu pun juga.

Menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan saat duduk di pinggir trotoar. Aku ketakutan, apalagi sudah hampir senja.

"Excuse me!"

Sapaan seorang lelaki membuatku mengangkat kepala dan menengadah untuk melihat asal suara tersebut.

"Korang kenape? Ape dah jadi? Tak patut budak perempuan menangis di tengah orang ramai macam ni."

Pikiran negatifku mulai merambat ke dalam otak saat pria itu mulai bertanya dengan antusias. Takut kalau dia nanti menculikku dengan cara menghipnotis.

Aku pun menggeleng dan langsung berdiri sambil menghapus air mata. Sejak tadi, cuma dia yang menegur dan peduli denganku.

"Korang ... macam budak Indo. Betul ke tak?" Dia mulai memindai wajah dan kokarde yang tersemat di jilbab lebarku.

"I-iya." Aku menjawab terbata.

"Kamu kenapa menangis?" Dia mengedar pandangan ke semua arah.

Bahasa lelaki itu berubah. Ternyata, dia bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik meskipun logat melayunya masih kental.

"Saya ... saya terpisah dari teman-teman karena keasyikan memotret."

"Kenapa tidak menelepon mereka?"

Aku terpaku, menatap lurus pria itu tanpa sadar. Kenapa aku sebodoh itu? Bukankah ponselku ada di tas yang menempel di punggungku?

"Punya handphone, kan?"

Gelagapan, aku lantas mengangguk dan langsung merogoh tas punggungku. Ya, Allah, ponselku habis baterai rupanya. Pantas tidak ada bunyi nada panggil dari teman-teman sehingga aku melupakan benda pipih tersebut.

Hikayat Cinta SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang