Bagian 13

53 5 3
                                    

Aku sengaja keluar agak lambat agar tidak ketemu Papa pagi itu. Tamparan Papa semalam, membuatku tak ingin melihat wajahnya. Mungkin butuh waktu untuk berdamai dengan hati. Walau pada akhirnya, pasti aku juga yang akan disuruh Mama untuk meminta maaf.

Aku bukan tipe gadis manja yang akan terpuruk hanya karena mendapat kekerasan fisik dari orang tua. Karena aku sadar bahwa aku anak sulung dan seperti kata Mama, kalau perempuan nggak boleh cengeng.

"Papa ... nggak ikut sarapan, Ma?" tanyaku hati-hati, sembari celingukan mencari sosok Papa.

"Papa udah berangkat setelah shalat Subuh tadi." Mama menjawab sembari mengoleskan selai cokelat pada selembar roti. Setelahnya, beliau menyodorkan padaku.

"Berangkat? Ke mana, Ma? Bukannya ...."

"Sarapan saja, nggak usah kamu pikirkan. Oh, ya, kata Papa ... lusa adalah penentuan tanggal pernikahan kamu dan Fayadh."

Aku bergeming.

"Kakak sudah yakin mau menikah?" tanya Samir, tanpa menoleh padaku.

Aku terdiam beberapa detik, lalu mengembus napas sebelum menjawab, "Kakak nggak tahu, Sam."

"Pikirkan matang-matang, biar nggak menyesal. Sekelas anak ustaz pun tidak bisa dijamin kesetiaannya."

Aku dan Mama saling pandang. Lalu kembali fokus pada makanan masing-masing.

"Kakak tetap mau ke kantor?" Samir mengamati wajahku. "Pipi Kakak memar begitu."

"Iya. Kakak udah nggak apa-apa, kok. Cuma masih terasa nyeri aja sedikit."

Mungkin Samir lupa, kalau aku bukan tipe gadis manja yang akan terpuruk hanya karena mendapat kekerasan fisik dari orang tua. Karena aku sadar bahwa aku anak sulung dan seperti kata Mama, perempuan nggak boleh cengeng. Eh, tapi bukannya Samir tidak tahu kalau semua ini adalah karena perlakuan Papa?

"Makanya, kalau ke kamar mandi tuh, hati-hati. Mending ke dokter dulu, deh! Aku antar, ya?"

"Nggak usah, Sam. Semalam udah dikompres dan sekarang rasanya udah mendingan kok. Nanti Kakak ke kantor pake masker biar nggak jadi pusat perhatian."

"Kalau gitu, mulai sekarang biar aku saja yang antar jemput Kakak ke kantor."

"Kamu kenapa, sih? Kesambet di mana?" tanyaku heran.

"Terserah Kakak mau ngomong apa. Yang penting, aku mau melakukan itu. Maaf, kalau selama ini aku terkesan cuek di mata Kakak ... maupun Mama. Seandainya Papa tak lagi punya perhatian dan kasih sayang penuh untuk kalian, biar aku yang ambil alih tanggung jawab itu."

Aku dan Mama termangu, menatap Samir dengan semua kata yang dia ungkapkan. Suasana pun jadi hening.

"Bukan Kakak tidak menghargai niat baikmu, Sam. Tapi Kakak masih bisa pulang pergi sendiri. Insyaa Allah masih aman, kok. Kamu nggak usah mikirin Kakak, fokus sama kuliahmu saja," tuturku.

"Benar kata kakakmu, Sam. Kamu fokus kuliah saja. Oh, ya, uang semester sudah dikasih Papa, kan?"

"Sudah, Ma." Samir menjawab dengan cepat tanpa gugup. Saat kulirik dia, ekspresinya biasa saja. Tanpa beban.

"Syukurlah. Mama kira belum."

Tak ada lagi yang bicara, semua sibuk menghabiskan sarapan masing-masing.

***

"Kamu sakit?" Hasna mengamati wajahku yang sebagian tertutup masker.

"Sedikit," sahutku singkat, sambil menaruh tas ke dalam laci meja.

"Kenapa nggak libur aja, sih? Mau nularin sakitnya ke aku, ya?"

"Ish, lebay banget kamu. Pipiku cuma memar karena jatuh di kamar mandi kemarin," paparku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 11, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now