Bagian 6

20 5 2
                                    

Bergegas kuantar beberapa berkas yang sudah selesai diprint ke ruangan Pak Rizki. Di sana, aku kembali bertemu Fayadh. Lelaki tersebut tidak menolehku sama sekali, tetapi aku tidak peduli dan segera undur diri pada Pak Rizki. Ada hal yang lebih penting dari pada memikirkan sikap Fayadh. Yakni menelepon Imran kembali.

Dengan langkah cepat, aku meninggalkan ruangan. Saat sampai di luar, aku mencari tempat yang agak jauh dari jangkauan pandangan dan telinga orang-orang untuk bicara dengan Imran.

Segera kusentuh nomor yang tadi digunakan Imran. Agak lama Imran baru menjawab panggilanku.

"Bang Imran? Maaf, tadi dalam jam kerja dan aku dipanggil manajer. Jadi aku terpaksa mematikan telepon." Tanpa menunggu Imran bersuara, aku langsung menjelaskan.

"Takpe, Khalis. Saya paham. Saya senang bisa dengar suara kamu lagi. Saya kira saya dah tak boleh bercakap dengan kamu lagi."

Mendengar kata-katanya, seperti ada sesuatu yang tengah terjadi.

"Abang ke mana saja? Saya selalu menunggu dan terus mencoba menelepon, tetapi nomor telepon Abang yang dulu sudah tidak bisa saya hubungi. Kenapa, Bang? Apa yang terjadi?"

Imran tidak segera menjawab. Pria itu membisu beberapa detik.

"Bang Imran ... Abang serius dengan saya, kan?"

Embusan napas berat terdengar dari seberang. "Ya, Khalis. Saya serius dengan kamu. Soal nomor telepon, itu ... ada masalah dengan card saya. Jadi ... saya mesti ganti dan saya hampir kehilangan nomor telepon kamu."

"Oke. Lalu, kenapa sampai sekarang Abang belum temui orang tua saya?"

Imran kembali membisu.

"Bang Imran, saya tidak bisa menunggu terlalu lama. Karena Papa sudah jodohkan saya dengan seorang lelaki," tegasku. Aku tidak mau memperpanjang basa-basi dengannya.

"Khalis, jangan! Kamu tunggu saya dulu. Beri saya waktu lagi. Saya sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk dapat temui orang tua kamu ke Indonesia."

"Berapa lama lagi, Bang?"

"Saya tidak bisa memastikan. Tapi saya pasti datang. Kamu harus percaya saya, Khalis."

Imran tidak bisa memastikan. Apakah benar dugaanku kalau dia hanya mempermainkan perasaanku?

Kupandang cincin perak di jari manis, lalu menghela napas panjang demi mengurangi sesak di dada.

"Abang tahu? Seumur hidup ... saya belum pernah jatuh cinta pada seorang lelaki pun. Apalagi, pada orang asing yang baru saya kenal. Karena saya tahu, cinta itu hanya boleh dipelihara setelah menikah. Tidak boleh ada cinta sebelum ada ikatan halal. Karena panah-panah iblis akan senantiasa mengintai. Namun, bertemu dengan Abang, saya telah berani mendobrak prinsip hidup saya. Saya pun tidak tahu kenapa saya bisa melakukan itu. Karena ini pertama kalinya ... saya jatuh cinta. Jadi, saya sangat berharap, Abang tidak bermain-main dengan perasaan saya. Saya butuh kepastian dengan segera."

"Khalis, maafkan saya! Saya takde maksud nak bermain dengan hati kamu. Demi Allah, saya serius dengan kamu. Saya akan kabari kamu dalam tiga hari. Saya tengah bersiap—"

Imran menggantung kata-katanya saat ada suara perempuan memanggil. Aku bisa mendengar dengan jelas.

Lantas, sambungan telepon diputus sepihak. Seperti buru-buru.

Aku tercenung, masih dengan ponsel menempel di telinga. Suara perempuan itu, sangat mesra memanggil Imran. Siapa dia sampai Imran harus mengakhiri obrolan tiba-tiba? Mungkinkah ... ?

Tersadar dari lamunan, aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku rok. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya sebelum melangkah kembali ke ruang kerja.

Jika Imran hanya memberi janji-janji manis, sepertinya aku harus merelakan rasa yang kumiliki menguar dibawa angin takdir. Hasna benar, cinta tanpa landasan agama akan menyesatkan pelakunya. Mungkin, dengan cara ini Allah ingin menegurku. Namun, aku akan tetap menunggu dia menepati janjinya dalam tiga hari ke depan dan membuktikan kata-katanya.

***

Hari ini, adalah hari yang telah direncanakan Papa untuk mempertemukanku dengan Fayadh. Tak ada sedikit pun kebahagiaan di hati. Apalagi aku sudah tahu bagaimana sosok Fayadh dan aku sama sekali tidak tertarik. Sepintar dan setampan apa pun dia, belum mampu menggantikan Imran di singgasana hatiku.

Selepas Isya, Fayadh dan orang tuanya sudah berada di ruang tamu. Ketika pandanganku dan Fayadh bersirobok, kami hanya saling melempar senyum tipis. Sepertinya, Fayadh juga sudah tahu kalau perempuan yang akan dijodohkan dengannya adalah aku. Karena dia tidak terkejut sedikit pun saat kami bertemu. Atau ... apakah dia sengaja bergabung di kantor tempatku bekerja untuk menyelidiki siapa aku? Ah, sepertinya aku terlalu percaya diri.

"Kata Fayadh, kalian sudah saling kenal?" Buya Yahya mengarahkan pandangan padaku.

Nah, ternyata aku tidak salah menduga, kan?

"Iya, Om. Kami ketemu di kantor kemarin. Pak Fayadh, eh, maksudnya ... Bang Fayadh bergabung di perusahaan tempat saya bekerja."

Buya Yahya mengangguk-angguk dengan wajah semringah. Tak terkecuali Papa. Mereka berkata bahwa kami sepertinya memang sudah berjodoh. Sehingga tidak perlu lagi berpikir panjang untuk merencanakan pernikahan.

Aku dan Fayadh disuruh mengobrol di teras depan untuk saling mengenal. Kami menolak, tetapi mereka tetap memaksa.

"Insyaa Allah, tidak apa-apa. Itu tidak termasuk ke dalam khalwat. Lagian, kalian tidak dalam sebuah ruangan tertutup. Ada kami di sini. Pintu juga dibiarkan terbuka. Tujuan kalian juga hanya untuk saling mengenal saja." Buya Yahya seperti paham keraguan kami.

"Tapi, Yah, rasanya tidak perlu. Bukankah sudah cukup kami saling mengenal melalui kalian para orang tua? Atau, jika kami mau saling bertanya, cukup di sini saja, di hadapan kalian." Fayadh masih bersikukuh dengan prinsipnya dan aku cukup kagum dengan sikap tegasnya itu.

"Baiklah, terserah bagaimana baiknya saja."

"Terima kasih, Yah. Kalau begitu, izinkan saya bertanya pada Khalis, Om," kata Fayadh, sembari mengarahkan pandangan pada Papa.

"Oh, silakan! Silakan, Nak Fayadh."

Fayadh tersenyum. Ketika dia memandang ke arahku, aku memilih menunduk.

"Khalis, maaf jika pertanyaan saya sedikit ke arah pribadi. Tapi saya harus mempertanyakan hal ini sebelum kita menikah."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu pernah pacaran?"

"Tidak," sahutku singkat.

"Ada lelaki yang sedang dekat dengan kamu saat ini atau ... sebelumnya kamu pernah punya hubungan dengan seorang lelaki?"

Kali ini aku menghela napas mendengar pertanyaannya. Cincin perak di jari manis, kembali kupandangi. Di sana, ada janji Imran yang sedang kutunggu. Haruskah menjawab jujur mengenai pria Malaysia itu?

Aku terkesiap saat telapak tangan Mama menutupi cincin yang kupandangi. Aku menoleh pada beliau yang sedari tadi memang duduk di sampingku.

Mama tersenyum dan berkata dengan lembut, "Kenapa malah diam saja ditanya sama Fayadh? Jawab, Khalis!"

Gugup, aku memberanikan diri memandang Fayadh yang ternyata tak hanya dia yang sedang menyorot wajahku. Semua memandang lekat, seperti tengah menunggu sebuah jawaban jujur.

"Tidak. Saya tidak pernah punya hubungan dengan lelaki manapun. Kalaupun saya punya hubungan dengan lelaki lain, tidak mungkin saya mau menerima perjodohan ini."

Jawaban bohong itu kulontarkan demi menjaga harga diri Mama dan Papa. Aku tidak mau mereka malu jika harus kujawab dengan jujur. Setidaknya, Fayadh dan keluarganya percaya dengan jawabanku.

Pertemuan pun berakhir satu jam kemudian. Aku tidak bertanya apa-apa pada Fayadh. Karena rasanya memang tidak ada yang perlu aku cari tahu tentangnya. Bagiku, pertemuan kali ini hanya karena mematuhi perintah Papa. Seperti saran Mama.

***

Hikayat Cinta SemusimWhere stories live. Discover now