Part 6

447 34 3
                                    

Pdf redy bisa wa +62 822-1377-8824

Ebook bisa ke playstore buku https://play.google.com/store/books/details?id=q5Q6DwAAQBAJ

Bisa di baca di Kbm app dan Karyakarsa Aqiladyna.

Berulang kali Adara memencet bel rumah seseorang, namun tidak ada yang membukakan pintu, suasana terlihat sepi seperti tidak berpenghuni. Ia merogoh ke dalam tasnya mengambil ponsel mencoba menghubungi orang yang sama, namun sialnya ponsel seseorang itu tidak aktif sejak tiga hari yang lalu.

"Di mana kau, Orin?" gumam Adara menghempaskan bokongnya duduk di kursi teras.

Tidak lama seorang ibu muda menghampiri dan menyapanya hingga membuyarkan lamunannya. "Ada yang bisa saya bantu? Apa Nona mau mengontrak rumah ini?"

"Memangnya... rumah ini tidak ada penghuninya lagi?" tanya Adara bingung.

"Iya, tiga hari yang lalu sudah dikosongkan."

"Ke mana dia pergi, Bu? Maksud saya... yang dulu menempati rumah ini adalah sahabat saya," kata Adara.

"Nona Orin ya... katanya mau ke Palu ke tempat saudara ibunya."

Begitu mudahnya Orin meninggalkan masalah ini, pergi tanpa meminta maaf terlebih dahulu kepadanya. Kini Adara semakin yakin dengan ucapan Melani tentang Orin. Tidak disangka Orin yang dianggap baik ternyata menyukai Rava, mungkin alasan saja pergi ke Palu, sebenarnya Orin masih di Jakarta mengintai Ravanya!

"Terima kasih, Bu, kalau begitu saya pulang dulu," pamit Adara bergegas melangkah menuju mobilnya.

Adara sangat gusar, sekali lagi ia mengambil ponselnya menelepon Rava yang juga sangat sulit dihubunginya.

Ada apa dengan semua ini? Hati Adara merasa tidak tenang, mungkinkah kini mereka bersama?

Tidak! Adara menggelengkan kepalanya, ia percaya kepada Rava, pria itu tidak mungkin mengkhianatinya. Cinta Rava hanya untuknya.

Ponsel Adara bergetar, nama Rava tertera di layarnya, Adara tersenyum senang dan langsung mengangkat panggilan itu. "Sayang, kau di mana, kenapa tidak menghubungiku, apa terjadi sesuatu denganmu?" cecar Adara dengan banyak pertanyaan.

"Adara, aku baik-baik saja, jangan panik berlebihan."

"Aku merindukanmu," ujar Adara hampir menangis.

"Aku pun begitu, sekarang aku berada di cafe tempat biasa, kalau kau bisa susullah aku ke sini," kata Rava.

"Tentu, aku akan langsung ke sana, tunggu aku!"

"Oke!"

"I love you," ucap Adara.

"Hemm, love you too."

Sambungan terputus, ada perasaan mengganjal di hati Adara sebab balasan cinta dari Rava terdengar dingin.

"Aku harus berpikir positif," gumam Adara menyetir mobilnya melaju membelah jalan raya.

Sesampainya di cafe, Adara turun dari mobil menatap sekelilingnya yang ramai pengunjung, tatapannya jatuh pada seorang pria tampan yang tengah duduk sendiri sambil menyesap kopinya. Adara bergegas menghampirinya, menyapa dengan kelembutan.

"Sayang!"

"Hei!" Rava berdiri merengkuh pinggang Adara dan mengecup bibirnya sekilas.

"Lama menunggu ya? Tadi di jalan sangat macet."

"Tidak juga, aku sudah pesankan kopi kesukaanmu, sebentar lagi akan datang." Rava membimbing Adara duduk.

"Kau tahu, aku sangat takut kau akan pergi dariku," ucap Adara menggenggam tangan Rava.

"Tidak ada yang perlu kau takutkan, aku tidak akan meninggalkanmu."

"Kenapa kau sulit dihubungi beberapa hari ini?"

"Ada pekerjaan penting yang harus aku urus."

"Aku sudah berpikir negatif tentang dirimu."

Raut wajah Rava berubah semakin datar, ia hanya tersenyum kecut seraya menyesap kopinya.

"Kedua orang tuaku mengundangmu untuk makan malam, apa kau punya waktu?" tanya Adara.

"Tentu, malam ini pun aku bisa."

"Benarkah?" kata Adara senang. "Aku akan menghubungi mamaku."

Tidak berapa lama pesanan minuman Adara datang, setelahnya hanya keheningan yamg ada. Kenapa suasana menjadi canggung seperti ini?

"Aku tadi ke rumah kontrakan Orin, ternyata dia tidak tinggal di sana lagi, aku semakin kecewa padanya, seharusnya ia tidak lari dari masalah ini."

"Sudahlah Adara, jangan bahas tentang Orin lagi," kata Rava tidak suka, "sekarang hanya ada kita, dan kita akan bahagia tanpa ada yang mengusik lagi," lanjutnya membuat Adara menyunggingkan senyum.

***

Rava sudah memperbolehkan Orin keluar dari apartemen hanya untuk berbelanja keperluannya di supermarket di seberang jalan. Setidaknya Orin bersyukur bisa menghirup udara segar, menghabiskan waktu bila sore tiba duduk di taman dekat apartemen.

Rava tidak pernah menginap di apartemen, pria itu akan pergi saat tengah malam, hanya sekali Rava menghabiskan waktunya bersama Orin.

Saat Orin ingin menyeberang jalan setelah berbelanja dari supermarket, seseorang memanggil namanya. Orin menghentikan langkahnya menatap ke arah mobil di mana seorang pria turun dan menghampirinya tergesa-gesa.

"Orin!"

Deg.

Kenapa Orin harus bertemu Frans? Dia sebenarnya tidak ingin bertemu siapa pun lagi.

"Kau benar, Orin?" Frans tersenyum langsung memeluk Orin, membuat wanita itu terbelalak tidak percaya. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana, ternyata kau masih di kota ini."

Dari kejauhan seorang pria yang menyetir mobilnya menyaksikan kebersamaan Orin dengan Frans, pria itu mencengkeram kuat kemudi menahan amarahnya. Niatnya yang tadi ingin menemui Orin pupus sudah, ia kembali menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh membawa hatinya yang bergejolak penuh emosi.

Orin mengerjapkan matanya saat pelukan Frans terlepas, ia merasa tidak enak dengan orang-orang di sekitar mereka karena Frans memeluknya tanpa sungkan.

"Kau sekarang tinggal di mana?"

Pertanyaan yang sangat Orin hindari, karena ia tidak mungkin memberitahukan di mana ia tinggal pada siapa pun. "Maaf Frans, aku harus pulang," ujar Orin ingin berbalik, namun ditahan pria itu.

"Kenapa kau berubah seperti ini, menjauh dari kami, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Frans.

"Aku sudah menikah, tolong jangan ganggu aku lagi," kata Orin segera berbalik dan berlari kecil menjauh dari Frans.

"Aku tidak percaya, Orin, pasti ada sesuatu yang membuatmu seperti ini," gumam Frans.

***

Adara yang terlihat anggun mengenakan gaun malam berwarna gold menyambut kedatangan Rava di rumah orang tuanya. Dengan formal Rava menyapa calon mertuanya itu, mereka pun makan malam bersama, saling berbincang masalah bisnis dan tidak hentinya papa Adara memuji Rava yang terkenal sebagai pebisnis hebat.

"Ada sesuatu yang ingin saya katakan," kata Rava.

"Sayang, apa itu?" tanya Adara penasaran.

"Sesuatu yang mungkin bisa membuatmu bahagia," bisik Rava.

Jantung Adara berdetak cepat, ia tidak sabar ingin mengetahui maksud Rava.

"Aku ingin secepatnya menikahi Adara," ucap Rava.

Orang tua Adara terlihat senang, mereka tersenyum bahagia dengan niat baik Rava mempersunting putrinya.

"Kau serius?" tanya Adara masih tidak percaya.

"Pernahkah aku tidak serius?" Rava balik bertanya.

Adara memeluk Rava, ia menangis bahagia, akhirnya yang ditunggunya datang juga untuk memiliki Rava seutuhnya.

tbc

Istri simpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang