Bab 8 - Gerakan

57.4K 2.6K 64
                                    

Happy Reading

Weekend kali ini Nasya tidak mengajak pergi Vanilla kemana pun, gadis kecil itu kini mengerti jika pengasuhnya saat ini lebih mudah lelah di bandingkan sebulan yang lalu. Kandungan Vanilla semakin membesar seiring tumbuhnya janin di dalam rahim wanita itu.

Dan saat ini Nasya sedang bermain di ruangan khusus mainannya di simpan, bersama Albert yang kali ini menemani putri kecilnya bermain.

Vanilla, wanita itu memang tidak menemani Nasya bermain karena Albert menyuruhnya untuk beristirahat padahal dia pun tidak masalah jika hanya untuk menemani Nasya bermain boneka barbie-nya.

"Vanilla," itu suara bi Eli yang terdengar dari belakang tubuhnya, kontan Vanilla menoleh dengan senyum di kulum.

Saat ini gadis itu tengah membantu bi Eli mencuci piring di dapur saat beliau sibuk meladeni Kezia yang selalu cerewet dengan makanan.

"Iya, kenapa bi?" peluh bercucur di kening wanita paruh baya itu. Mungkin bi eli lelah harus naik-turun tangga meladeni anak majikannya yang kelewat manja itu.

"Kamu di suruh ke kamar Tuan Vincent."

"Tuan Vincent....memangnya ada apa?" tanyanya spontan mengingat pria itu tidak banyak bicara padanya semenjak dia tinggal disini. Vincent terkesan jauh menyebalkan di banding dulu.

"Bibi tidak tahu, nak. Mungkin dia ingin kamu yang membersihkan kamarnya." terkadang memang Vincent membuatnya kesulitan dengan menyuruh Vanilla membersihkan kamarnya, namun kali ini berbeda, pria itu masih di kamarnya dan Vanilla sedikit ragu dengan ini.

Vanilla memang tidak rutin lagi menemani Nasya pergi ke sekolah, ia cenderung di rumah untuk membantu bi Eli dan yang lainnya. Namun, terkadang Nasya bersikap manja padanya seolah hanya Vanilla yang Nasya inginkan, jelas-jelas Albert sudah menyediakan satu pengasuh lagi untuk Nasya agar supaya Vanilla tidak terlalu kerepotan menangani gadis kecilnya yang kelewat aktif.

"Baiklah." setelah mencuci tangannya Vanilla segera beranjak ke kamar Vincent yang terletak di lantai dua.

Vanilla terlihat kesulitan menaiki tangga dengan perut yang sudah membesar seperti saat ini.

Vanilla mengetuk pintu kamar pria itu pelan.

"Masuk." suara Vincent. Tanpa menunggu lama Vanilla pun membuka pintu itu lebar. Dilihatnya Vincent yang kini sudah rapih dengan kaos biru langit dan celana jeans yang membalut tubuh kekar pria itu.

Vanilla rindu tubuh itu, dan ia pun ingin sekali memeluk Vincent yang selalu ia rindukan setiap malamnya. Memang, jika perasaan ini terlampau bodoh untuknya, hanya saja Vanilla merindukan tidur di ranjang yang sama dengan pria itu. Walau Vincent selalu memasang ekspresi yang menurutnya menyebalkan tapi itu tidak membuat Vanilla berhenti merindukan Vincent. Dan saat ini, pria itu tengah memandang keluar jendela yang disajikan dengan pemandangan halaman belakang rumah keluarga Williams yang di tumbuhi berbagai macam jenis bunga.

Vincent menoleh, "Tutup pintunya kembali." Vanilla menurut, menutup pintu di belakangnya.

"Duduklah!" perintahnya lagi. Vanilla lagi-lagi menurut, tanpa mengatakkan apa-apa gadis itu pun duduk di sofa hitam yang ada di dalam kamar Vincent, letaknya tak jauh dari pria itu berdiri.

Vincent membuka laci di samping ranjangnya, meletakkan sebuah kertas di depan wajah Vanilla membuat gadis itu mendongak dengan wajah kebingungan.

"Tulis berapa pun yang kau inginkan. Dan cepatlah pergi dari rumahku."

Vanilla masih diam, memandang kertas yang ternyata sebuah 'cek' untuknya. Haruskah Vincent melakukan ini padanya? Ia berada disini bukan untuk uang pria itu. Ia berada disini untuk mencari nafkah untuk hidup kedepannya dengan gaji yang Albert berikan yang memang sekiranya cukup.

Baby And MeWhere stories live. Discover now