Bab 5 - Pergi

56.6K 2.8K 25
                                    



Sesaat setelah dia kembali, aku melihatnya bersama salah seorang teman dengan seorang gadis yang menggelayut manja di lengannya.

Apa dia juga di dalam bersama seorang wanita?

Aku menggeleng, menolak gagasan itu di fikiranku.

Dia juga berbincang sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

Aku bisa mendengar dia menghela nafas, rasa kantukku seketika hilang dan di gantikan rasa lapar yang sejak tadi membuatku tidak bisa tidur.

Dia menggerakan mobilnya menuju apartement kami. Tidak ada percakapan seperti biasa, suasana hening tidak luput dari kami.

"Vincent, aku lapar." ucapanku membuat dia menghentikan langkahnya sesaat sebelum kami sampai di pintu apartementnya.

Dia berbalik, melihatku sebentar sebelum tatapannya jatuh ke perut buncitku. Wajahnya tetap sedatar biasanya.

Dengan kaku ku usap perutku, sungguh aku malu sekali. Bukan apa, aku malas masak malam-malam begini.

"Tidak jadi." ucapku lagi. Lebih baik makan apa yang ada di kulkas saja daripada harus di pandangi seperti itu. Bergegas aku masuk lebih dulu, meninggalkan dia di depan pintu.

Aku langsung menuju dapur dan membuka kulkas, disana terdapat buah dan susu segar, rupanya persediaan makanan di lemari es tinggal sedikit.

Setelah mengambil dua buah apel dan segelas susu segar aku mendudukan tubuhku di sofa ruang tamu, menikmati cemilan yang setidaknya mengganjal rasa laparku.

Pintu utama terbuka dan mendapati Vincent yang berjalan ke arahku sambil menyodorkan sesuatu yang dia bawa, aku menerimanya kemudian tanpa berkata apapun dia berlalu pergi menuju kamarnya.

Aku melihat bingkisan di tanganku dengan terbelakak, dia membelikanku martabak telur dan juga roti bakar yang aromanya sangat menggiurkan.

Dengan perasaan senang yang meliputi hatiku, aku melahap semua makanan itu sampai habis tanpa sisa.

Rasanya senang sekali bisa mendapatkan makanan yang di belikan Vincent, apalagi dengan keadaanku yang hamil anaknya, sementara dia selalu bersikap acuh tak acuh, bahkan bersikap seolah aku tidak pernah hamil.

Tapi, lihatlah... Dia jauh lebih manusiawi.

"Kamu lihat sayang, ayahmu membelikan martabak telur dan roti bakar untuk kita. Kamu juga senang 'kan?" aku bermonolog sendiri sambil mengusap perutku. Rasanya senang sekali bisa mendapatkan sedikit perhatian darinya.

***

Dengan penuh penyesalan aku meminta maaf pada Vincent karena  dengan lancangnya mengangkat panggilan telepon dari bundanya waktu itu.
Dia terlihat mengeram kesal sebelum akhirnya menghubungi seseorang yang dia sebut Bunda.

Entah apa yang terjadi, setelah dia menghubungi beliau, Vincent pergi begitu saja tanpa menghiraukan aku.

Aku sudah biasa di acuhkan.

Bahkan sangat biasa. Tidak di hargai dan tidak di anggap pun semua itu biasa bagiku. Akan tetapi, kebiasaan itu membuat hatiku sakit, kalau saja aku tidak menyukai atau mencintainya mungkin perasaan seperti ini tidak pernah aku rasakan.

Seminggu sudah dia tidak pulang lagi kesini. Terakhir dia pulang saat senin lalu, dan dia tidak mengatakan apapun; walau biasanya memang tidak. Bahkan rentetan pertanyaanku juga dia acuhkan. Rasanya sakit sekali, aku merindukan Vincent.

Memang, tidak sewajarnya aku mempunyai perasaan begitu besar padanya, padahal aku sudah berjanji untuk menghilangkan rasa ini.

Tapi ini juga sulit bagiku.

Baby And MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang