Tale 17- Luapan Emosi

2.1K 672 164
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.


Sudah tiga hari Mas Yudhis tidak ada kabar. Biasanya aku tak sekhawatir ini. Namun, aku pun tak bisa melakukan sesuatu, kecuali menunggu. Sebenarnya aku ingin menjenguk lelaki itu ke rumah sakit, tapi terlalu banyak tugas dan urusan yang menyita tenaga dan pikiranku. Salah satunya menghadapi Kak Kania, si pencuri bukuku yang keras kepala.

Ya, semoga aja Mas Yudhis udah bangun beneran. Nanti weekend aku ke sana, deh.

Hari ini aku kembali menunggui kelas Kak Kania, bersama Nashwa dan Desi. Apalagi setelah tahu perempuan itu tetap mengunggah bagian-bagian baru tulisannya yang menjiplak ceritaku. Dia sungguh tak punya hati. Kami berjalan seorang diri menyusuri lorong gedung C, gedung untuk jurusan Sastra Jepang dan Korea. Aku, Desi, dan Nashwa duduk di lantai sekitar dua meter dari pintu kelas Kak Kania. Beberapa pasang mata melirik ke arah kami, saat melewati lorong. Namun, lebih banyak dari mereka yang bersikap tak acuh.

"Rencananya lo mau ngapain Kak Kania, Nin?" tanya Desi menatapku yang duduk di antara dia dan Nashwa.

"Ngelabrak."

"Wuih!" Desi langsung berseru heboh. Ia lalu menangkup wajahku dan menyipitkan mata. "Lo beneran Shanin bukan, sih? Kenapa temen gue jadi sangar?"

Kekehan Nashwa terdengar. "The power of kepepet. Iya nggak, Nin?"

"Dia nggak punya hati, masih update terus. Kalau dia berhenti, gue masih bisa ngomong baik-baik. Tapi, kalau begini ... " Aku menghela napas pelan, "Gue hilang respect."

"Setuju! Kalau nggak dihentiin sekarang, ada kemungkinan cerita itu bakal naik cetak. Kalau udah begitu, semakin susah lo gugat dia. Penerbit pasti ngelindungin Kak Kania habis-habisan," tukas Nashwa.

Aku dan Desi manggut-manggut. Aku bisa membayangkan skenario buruk itu menjadi nyata. Tubuhku jadi merinding karena tahu akan sesulit apa perjuanganku kalau itu terjadi, apalagi diriku bukan siapa-siapa. Melawan seseorang yang sudah punya nama, tidak akan mudah.

"Eh, eh, pintunya kebuka, tuh!" Desi menepuk pahaku, sedangkan tatapannya terarah pada pintu kelas Kak Kania yang kini terbuka setengah.

Aku segera berdiri dan terus mengamati satu per satu mahasiswa yang keluar dari sini. Nashwa dan Desi pun melakukan hal sama. Sampai akhirnya, sosok yang kutunggu melangkah bersama beberapa mahasiswa lain. Mereka tampak asyik mengobrol. Aku langsung bergegas menghampiri Kak Kania, tanpa memedulikan resiko apa yang akan kuhadapi nanti. Tanpa banyak omong, aku langsung menarik tangan Kak Kania membuatnya terhenti dan menoleh ke belakang. Teman-temannya juga ikut berhenti dan memandangku dengan sorot penasaran.

"Kak, gue mohon banget, kembaliin buku gue."

Dia menghentakkan tangan hingga terlepas dari genggamanku. "Gue nggak ambil buku lo."

Aku mendengkus, lelah mendengar bualannya. "Cerita lo, yang berjudul 'Tuan Puisi' itu gue yang bikin. Lo jiplak, lo plagiat dari buku gue yang lo ambil di perpustakaan," seruku dengan suara lantang. Sengaja agar banyak orang yang mendengar kejahatan yang perempuan itu lakukan.

Our Magical Tale (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang