Tale 12 - Lebih Dari Mimpi Buruk

2K 565 112
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.

Dengan jalan gontai dan bahu terkulai lemas, aku berjalan menyusuri lorong gedung menuju kelas. Tidak ada semangat sedikit pun untuk menjalani hari. Aku, yang biasanya memang tidak banyak bicara kecuali pada Nashwa dan Desi, makin irit bicara. Pikiranku tak fokus. Materi yang disampaikan dosen pun seperti hanya lewat di telinga.

Ya Tuhan, ke mana aku harus cari buku itu? Aku nggak rela ada yang baca tulisanku sama Pram.

"Akhirnya bentar lagi libur semester!" pekik Nashwa dengan mata berbinar. "Gue udah nggak sabar makan masakan nyokab!"

"Akhirnya ya, Wa ... gue bisa makan enak tanpa mikirin duit bulanan masih berapa," timpal Desi dengan wajah sama berseri. "Eh tapi, masih dua bulan lagi, Wa."

Nashwa manggut-manggut, wajahnya terlihat suntuk. "Iya, sih, bener. Eh, nanti kita ke KFC, yuk! Udah lama kita nggak kumpul? Apa mau ke Transmart sekalian? Nonton?"

"Boleh, tuh. Mumpung besok kelas kosong!" Mungkin, mereka sadar aku belum bersuara sedikit pun, sehingga Desi menatapku dengan kening berkenyit. "Eh, lo kenapa, Nin? Sakit?"

Aku cuma menggeleng dan mendesah pelan. "Nggak apa-apa."

Nashwa mendaratkan tangannya di bahuku. "Lo ada masalah? Mau cerita?" Suaranya terdengar lembut di telingaku.

Aku menggeleng pelan, memaksa tersenyum. "Gue nggak ikut dulu, ya?"

Nashwa dan Desi saling berpandangan, "Oke, deh. Lo mau dibawain apa?" tanya Nashwa.

"Nggak, ah."

"Jangan gitu ... kalau lo belum mau cerita, seenggaknya jangan nutup diri. Nanti WA aja ya, mau apa. Jangan sungkan sama kita," sambung Desi dengan senyum teduh.

Kepedulian mereka membuatku terharu. Di tanah rantau, dua orang ini adalah sosok yang bisa kupanggil keluarga. "Kalau gue udah siap, gue bakal cerita," tukasku akhirnya.

Aku terus berjalan menyusuri lorong sampai tak sadar jika lantai di depan sana basah. Papan penandanya mungkin terlewat, karena setelah aku sadar berjalan di atasnya, sedetik kemudian kakiku tergelincir ke depan, membuat tubuhku hampir roboh ke belakang. Aku menutup mata, meringis, bersiap merasakan sakitnya terbentur lantai.

Namun, setelah menunggu beberapa saat, ada yang aneh, karena aku merasakan tubuhku melayang, seperti ada yang menahannya. Ketika aku melirik ke samping, nampak lengan mencengkeram bahuku erat. Dan saat melihat ke arah atas, wajah Mas Yudhis dengan rahang mengetat menyambutku.

"M-Mas!" Aku memekik tanpa bisa dicegah, karena terlalu terkejut.

"Hati-hati, Shanin," katanya dengan bibir menipis. Lelaki itu membantuku berdiri dan menuntunku keluar dari jebakan lantai basah ini.

"Makasih, Mas." Aku berbisik takut ada yang melihatku bicara sendiri.

"Jangan ngelamun kalau jalan. Untung ada gue, kalau nggak, bisa bahaya tahu!" omelnya.

Our Magical Tale (END) Where stories live. Discover now