Ragu (Luthfi)

171 19 2
                                    

"Selamat pagi, Dok."

Seorang perempuan langsung berdiri dari kursinya, menyapa Luthfi ketika ia baru membuka pintu masuk ruangan poliklinik tumbuh kembang.

Perempuan itu berambut pendek sebahu. Wajah cantiknya semakin menawan dengan polesan makeup yang dikenakannya. Jelas-jelas seseorang yang pandai berdandan. Ia mengenakan dress selutut berwarna krem. Kaki jenjangnya dilapisi sepatu model Mary Jane berwarna coklat.

"Pagi." Luthfi tersenyum sopan, matanya tidak menemukan name tag yang tergantung pada leher perempuan itu. Tapi rasanya Luthfi pernah melihatnya. Masih pukul setengah 6 pagi, siapa yang sudah datang di sini selain residen? Fellow baru? Tapi rasanya terlalu muda.

"Saya Ine Elina Danastri, Dok. Kalau masih inget..." Ine memperkenalkan diri sebelum Luthfi sempat bertanya. "Pernah dibimbing sama dokter dulu pas koas."

Luthfi mengangguk. "Oh iya. Kayaknya saya ingat, tapi kayaknya gak ingat. Hehe, maklum koas banyak." Luthfi menjawab dengan tawa cengengesannya.

"Iya gak apa-apa Dok. Dulu pernah bimbingan sama dr. James Obgyn terus ada Dokter. Kata teman-teman saya, dokter teman baiknya dr. James." balas Ine masih dengan senyum santun.

"Ah, iya kayanya inget. Udah lama banget tapi kayaknya."

Ine mengangguk, senyumnya semakin melebar. "Iya, Dok. Sekarang saya magang di tumbuh kembang Dok, jadi izin ikut polikliniknya."

"Silakan, silakan, makin rame makin seru. Semangat banget ya kamu jam segini udah dateng." Ucap Luthfi sambil meletakkan tas selempang kulitnya di atas meja. Hari itu Luthfi mengenakan kemeja berwarna hijau gelap dan celana hitam. "Berarti kalau magang udah lulus, ya?"

"Sudah, Dok." balas Ine, ikut duduk ketika Luthfi duduk.

"Magangnya sama dokter siapa?" Luthfi sebenarnya ingin mulai membuka laptopnya, bersiap menyicil tugas laporan kasus sambil menunggu poliklinik buka jam 7 pagi, karena itu pula ia datang lebih awal. Kalau sehari-hari sih biasanya ia sulit bangun pagi. Tapi karena sekarang ada orang lain di depannya, tidak enak hati juga kalau tidak mengajak ngobrol. Apalagi sekarang posisi mereka berhadap-hadapan.

"Prof. Kamal, Dok." Luthfi menyadari ada keraguan dalam nada suaranya. Wajar, mungkin takut? Prof. Kamal memang terkenal sebagai salah satu konsulen divisi tumbuh kembang yang killer, sama sekali tidak menolerir kesalahan, ultra idealis, tapi itu karena beliau sangat memedulikan pasiennya. Kalau habis dimarahi beliau, hati hancur, tapi otak terisi penuh dengan ilmu.

"Pinter banget dong ya kamu, diterima magang sama beliau" Luthfi mengangguk-angguk heran.

Ine menunduk malu, "Ah, engga, Dok"

"Emang-" kalimat Luthfi terpotong ketika pintu poliklinik terbuka. Sebuah kepala muncul dari celah sempit bukaan pintu. Kepala dengan senyuman yang manis.

"Eh? Lagi sama siapa, Fi?" Senyuman James menghilang, ia masuk ke dalam, tangan kanannya memegang sebuah plastik hitam. Ia masih mengenakan baju jaga, habis jaga semalam.

"Ine, koas dulu yang pernah diskusi sama lo katanya. Sekarang lagi magang sama Prof. Kamal." Jawab Luthfi, menerima plastik hitam dari tangan James. Ia langsung melongok isinya, tentu saja sarapan untuknya.

Semenjak Luthfi membantu James mengangkut bunga saat James menembak Ia sekian tahun lalu, James berjanji untuk memberikannya sarapan setiap kali Luthfi punya jadwal poliklinik. Janjinya sih hanya 1 tahun, tapi karena becandaan Jin yang bilang kalau James berhenti memberikan Luthfi sarapan, hubungannya juga bisa berhenti, jadi gak jadi berhenti.

"Terus, terus kalau ngasihnya berhenti, hubungannya juga berhenti hahaha." canda Jin saat James menceritakannya untuk pertama kali, yang lain ketawa, James keringet dingin.

Hospitalship (extended stories)Where stories live. Discover now