4. •Mabuk•

84.7K 8.5K 147
                                    

"Jadi rencana lo gimana?" Tanya Viko yang langsung ditatap balik oleh Aleo. Laki-laki itu meneguk segelas wine yang ada dihadapannya dengan wajah marah.

Malam semakin larut, riuh suara musik menggema di ruangan sesak oleh lautan manusia yang sedang menari itu. Bau asap rokok dan alkohol sudah menjadi ciri khas tempat itu.

Kedua laki-laki itu merupakan seorang pecandu alkohol tapi tidak dengan Aleo dan Lio, mereka bukan pecandu, hanya saja jika memang merasa ingin, mereka akan meminumnya walau sebanyak apapun.

Jika Zaki dan Viko, kedua lelaki itu akan selalu meminumnya, mau itu siang, sore, apalagi malam.

"Lancar." jawabnya ditertawai Viko.

"Seniat itu lo? Yaelah," tawanya sembari terus meneguk minuman berwarna merah pekat itu.

"Kalau bukan karena temen, gue nggak akan ngelakuin itu." Sindir Aleo pada teman-temannya. Benar saja, sedari pagi saat Lio ditolak, laki-laki itu benar-benar menyendiri. Tidak berbicara dan hanya diam.

Lio nampak tak ada masalah, namun teman-temannya tau isi hatinya. "Eh Lio, gue kan udah usul rencana, kenapa nggak dilakuin aja sih?" kata Zaki mencoba mengingatkan Lio tentang rencana yang sudah ia usulkan.

"Gue bukan lo." Balasnya dingin.

"Yaudah kalau gitu gue aja yang ngejalanin rencana itu, biar gue bisa dapetin si Viona." Lio menoleh dan menatap Zaki dengan mata tajamnya.

Bugh!

"Nggak usah deketin Viona njing!" Sarkas Lio memberi bogem mentah pada Zaki. Rasa marah dan emosi yang laki-laki itu pendam sejak tadi, akhirnya bisa tersalurkan.

Viko dan Aleo menahan lengan Lio agar cowok itu tidak kelepasan. "Sabar, bro." Ucap Viko menenangkan.

"Cih, udah gue bilang berkali-kali, kalo lo kaya gini terus, gimana bisa lo dapetin dia bangsat!" Emosi Zaki mengelap darah di sudut bibirnya.

Sebenarnya Zaki mabuk, ucapannya jadi ngelantur, membuat dirinya menjadi samsak yang siap Lio beri banyak bogem mentah.

"Oke. Gue bakal lakuin." Zaki lantas tersenyum, senyum yang penuh dengan arti dan tanda tanya.

×××××

Setelah sholat isya, Jasmine berjalan menuju kotak obat yang ada di sudut ruangan berdinding coklat itu.

Satu hal yang harus kalian tahu, kamar ini letaknya begitu jauh dari kamar Aleo. Kamar laki-laki itu terletak di lantai dua, sedangkan dirinya berada di lantai satu, itu pun berdekatan dengan kamar pelayan lainnya.

Jasmine mengambil obat pereda demam setelah ia selesai makan. Ia sangat berterima kasih pada Rika, pelayan rumah yang tadi menemukan dan membantunya.

Jasmine rasa ia sedikit lebih mendingan daripada tadi. Semua sudah ia lakukan, dari makan hingga meminum obat. Jujur, perilaku Aleo tadi membuatnya takut dengan laki-laki itu, apalagi ia dengan tidak sopannya menarik jilbab yang menutupi rambutnya.

Jasmine juga bingung kenapa Aleo marah, saat dirinya memanggil nama Leo?

Memikirkan itu membuatnya tambah sakit kepala saja, ia lantas mengambil beberapa buku pelajarannya, hanya untuk sekedar membaca dan mengingatnya, rutinitas yang selalu menjadi kebiasaannya, sekaligus menghilangkan bosan sembari menunggu Aleo.

Kantuk menyerangnya setiap kali ia ingin membaca, tidak, tidak, dia harus tetap terjaga sampai tuan rumah ini datang, jika tidak, Aleo akan mengamuk seperti tadi.

Namun naasnya kantuknya tak bisa ia hentikan, Jasmine terlalu lelah hingga ia lupa untuk membaca doa sampai ia terlelap dan menuju alam bawah sadarnya.

×××××

Jasmine Where stories live. Discover now