Prolog

25 2 0
                                    

Mata sembab itu terus menatap nanar dua buah makam yang ada di depannya. Sudah tidak ada seorangpun yang ada di sini kecuali dirinya. Tidak ada sanak saudara, kerabat, bahkan teman, sejak keluarganya kehilangan seluruh hartanya. Saat itu ia berpikir, tak apa hartanya habis, asalkan masih ada kedua orangtuanya di sini. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Tapi, setelah kedua orangtuanya meninggal bersamaan di hari ini, rasanya ia pun ingin ikut. Tidak ada lagi tujuan dalam hidupnya. Tidak ada rumah, saudara, bahkan teman. Entahlah, ia tidak tahu lagi setelah ini harus berbuat apa. Menjadi gelandangan? mungkin saja.

Matahari sudah mulai menenggelamkan dirinya. Burung berbondong-bondong terbang untuk pulang. Entah sudah berapa jam dia termenung di samping makam kedua orang tuanya. Hanya ada rasa sedih dan bingung yang ia rasakan saat ini. Sedih karena tidak ada siapapun lagi yang bersamanya. Dan bingung harus bagaimana dia setelah ini.

Dengan berat, akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk pulang. Pulang ke rumah yang sudah tidak bisa lagi disebut rumah. Dia harus bergegas membereskan pakaiannya dan barang-barang yang mungkin bisa ia bawa.

__

Suara gedoran pintu membuat Anin terbangung dari tidurnya. Ia memegang kepalanya yang terasa sangat berat. Matanya sembab dan rambutnya acak-acakan. Penampilanya sangat buruk.

"Shh... siapa sih?" Anin bertanya saat membuka pintu kamarnya. Matanya masih setengah terpejam. Tangannya menggaruk-garuk rambutnya. Ia pikir suara gedoran pintu itu berasal dari pintu utama, tetapi ternyata orang-orang tersebut ada di depan kamarnya.

"Bangun! Ini udah bukan rumah lo lagi, kenapa lo masih ada di sini?" ucap seorang pria kekar memakai setelan serba hitam di depannya.

"Dari satu minggu yang lalu gue udah peringatin lo dan keluarga lo buat keluar dari rumah ini, tapi lo belum keluar juga!" lanjut pria itu.

"Ya, ini juga gue mau keluar rumah sekarang, tapi lo datengnya kepagian sih," ucap Anin santai. Padahal jantungnya sudah berdegup sangat kencang antara kaget dan takut.

"Pagi? Ini udah tengah hari tuan putri," Sarkas sang pria.

Anin mendongakan kepalanya untuk melihat jam dan benar apa yang dikatakan pria itu. Ini sudah jam satu siang.

"Gue mandi dulu deh."

"GAK! Keluar sekarang atau gue seret lo!"

"Galak banget sih. Tunggu lima menit gue beres-beres dulu."

BRAKK

Anin menutup pintu kamarnya. Dia memegang kepalanya yang semakin pusing. Ia meringis. 'Mau tinggal di mana gue?'

__

Anin berjalan sambil membawa satu buah koper ditangan kirinya. Tangan kanannya memegang handphone yang ia gunakan untuk mencari tahu bagaimana cara memesan transportasi online. Dia benar-benar tidak tahu cara memesannya karena selama 23 tahun ia hidup, ia hanya menggunakan supir dan pelayan pribadi untuk melayani segala kebutuhannya.

Tujuannya saat ini adalah pergi ke toko emas terdekat untuk menjual kalung berlian yang ia sembunyikan di pakaian dalamnya. Sebenarnya, sebelum keluar rumah, ia sudah menyiapkan semua membawa barang-barang berharganya seperti laptop, guci, dan apapun yang ada di kamarnya yang bisa ia jual nantinya. Tapi, tiga pria berpakaian hitam yang ada di depan kamarnya langsung marah-marah dan merebut semua barangnya. Katanya, rumah dan seisinya sudah dijadikan jaminan untuk membayar hutang orang tuanya. Bahkan itu saja masih kurang. Bersyukur kalung ini bisa ia sembunyikan diam-diam.

Setelah menjual kalungnya mungkin ia akan menyewa sebuah rumah kontrakan dan berpikir untuk mencari kerja menggunakan Ijaza yang ia punya. Ya, sepertinya itu saja rencananya saat ini.

Karena terlalu fokus bermain handphone dan berpikir tentang rencananya, Anin sampai tidak sadar jika ia sudah berada di jalan raya. Sampai bunyi klakson yang sangat kencang membuatnya menaikan pandangan, tapi terlambat. Tubuhnya sudah terbentur sesuatu. Kemudian gelap.

Let MeWhere stories live. Discover now