O3 | Nonsense

473 116 3
                                    

Don't forget to leave votes and comments!



[ Chapter 3 : Nonsense ]

"Kau buang-buang waktu, Javis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau buang-buang waktu, Javis."

Aku menatap Jake yang selalu berhasil membuat Javis tersudutkan. Entah topik apa yang keduanya bicarakan, yang pasti dalam hal ini posisi Javis tidak diuntungkan. Pria itu hanya bisa terdiam, mendengarkan sang kakak yang terus berbicara. Javis yang sudah terlihat jengah itu akhirnya memberikan pembelaan atas dirinya dan menyanggah semua tuduhan yang dilayangkan oleh kakaknya.

"Sepertinya kalian butuh waktu berdua." Aku tiba-tiba berinisiatif untuk meninggalkan pasangan kakak beradik ini. Mereka butuh bicara empat mata, yang jelas tanpa aku di dalamnya. "Aku tunggu di-"

"Tidak. Duduk saja di sana." Jake menginterupsi ucapanku dengan cepat. Dia meminta aku untuk tetap di tempat, tetapi sorot matanya seolah bicara; pergi sana, wajahmu mengganggu!

Aku menoleh pada Javis, maksudnya untuk meminta pendapatnya. Namun, pria itu tetap tidak bersuara, tetapi hanya menganggukkan kepalanya, memintaku untuk menurut pada ucapan Jake jika ingin baik-baik saja.

"Aku harus memastikan banyak hal, Jake. Itu tidak mudah."

Kulihat raut tegas pada wajah Jake mulai memudar. Pria urakan itu menyapu anak rambutnya ke belakang, memperlihatkan dahi bersihnya. Sial, dia boleh juga.

"Waktu kita tak banyak," ucap Jake. "Kau lupa? Sesuai ramalan, tinggal satu tahun tersisa. Kita harus segera kembali."

Aku mengernyitkan dahiku untuk kali kesekian. Sebenarnya apa topik yang tengah keduanya bicarakan? Aku benar-benar bingung sekaligus penasaran. Namun, kuputuskan untuk menelan bulat-bulat rasa keingintahuanku itu karena takut diamuk oleh Jake. Mustahil aku berani bertanya di tengah pembicaraan serius keduanya. Aku hanya bungkam sambil terus menilik Javis dan Jake secara bergantian.

Javis menunduk dalam. "Aku... belum cerita pada Gwen."

Aku berjengit. Mendengar namaku disebut oleh Javis, sontak rasa penasaranku makin menggebu. Pria itu terlihat teramat frustasi, sementara sang kakak terlihat menahan amarah yang juga bukan main, terlihat dari urat-urat lehernya yang timbul.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini selama dua tahun, bodoh?!" Jake yang bangkit dari duduknya tiba-tiba menarik kerah baju Javis, terlihat siap meledak kapanpun. "Kau anggap ini lelucon?"

"Jake, ayo lah!" Javis menepis lengan kasar sang kakak dari pakaiannya. "Ini tidak mudah! Bagaimana kalau Gwen tidak mempercayai ucapanku dan memilih untuk pergi? Aku butuh lebih banyak waktu untuk membuatnya percaya. Pelan-pelan saja, Jake!"

"Pelan-pelan melihat kehancuran Halla, maksudmu?"

Oh, Tuhan. Sudah cukup! Tak tahan dengan semua pembicaraan yang membuat kepalaku sakit, aku beranjak dengan tiba-tiba, menatap keduanya dengan tatapan jengkel. "Maaf Tuan-tuan, sepertinya aku tidak dibutuhkan di sini," ucapku, bermasuk menyindir Javis dan Jake yang menghiraukan keberadaanku. Menyebalkan sekali!

HALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang