O4 | Bitter reality.

409 100 11
                                    

[ Chapter 4 : Bitter Reality ]


"Tanganmu berdarah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tanganmu berdarah." Javis tampaknya baru sadar. Lenganku diraih dengan hati-hati oleh pria itu dan selanjutnya dia menatapku dengan sorot khawatir yang menguar di wajahnya. "Kau menarik borgolnya sampai pergelangan tanganmu terluka seperti ini?"

Aku mengangguk.

"Astaga, Gwen." Javis menghela nafas, terlihat begitu frustasi. Seharusnya itu aku. Aku yang seharusnya frustasi karena mengetahui fakta tentang kehidupanku yang jauh dari kata normal. Semua benar-benar tidak masuk akal. "Kita obati dulu ya?"

Pria itu menuntunku dengan hati-hati. Kami menyusuri taman belakang yang berangsur gelap saat awan hitam mulai menyeluruh menutup biru langit. Aku mendongak, menatap sisi kanan wajah Javis yang terlihat samar-samar. "Javis." Dia menoleh. "Apa maksudmu tadi?"

"Apa?"

"Tentang aku yang lahir di Halla. Apa maksudnya itu? Jelas-jelas aku besar di Portland." Aku menarik lenganku sampai terlepas dari cengkraman Javis dan berhenti melangkahkan kakiku. Semua keganjilan ini tak bisa membuatku tenang. Aku harus tahu sampai akarnya, tidak setengah-setengah seperti ini. "Kau sedang tidak mengada-ngada, 'kan?"

"Aku tidak bisa berbicara lebih dari ini. Yang jelas, kau lahir di Halla."

Cahaya keemasan yang tiba-tiba menerangi taman dengan benderang membuatku terkejut. Sempat terpana sementara waktu oleh keindahan cahaya lampu taman, aku kembali menjatuhkan pandanganku pada Javis. Perpaduan Antara netra kelabunya yang bersinar terang dengan surai hitamnya yang tertiup oleh angin malam sukses membuatku terpana untuk kali kedua. Alih-alih bintang benderang yang bersanding dengan rembulan, nyatanya pemandangan Javis yang berdiri tegap di bawah keindahan malam lebih menyita perhatianku. Yang satu ini ... lebih indah.

"Gwen?"

Aku mengerjap beberapa kali, sadar sudah terlalu lama aku memandang Javis secara terang-terangan. "Kau bercanda, Javis."

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Pria itu maju satu langkah, mengikis jarak diantara kami. Pesonanya benar-benar tak terelakkan lagi. Apa pria ini benar-benar Javis temanku? Mereka terlihat lain. Erangan frustasi terdengar, Javis sepertinya menyerah. "Karena satu hal, raja kami terpaksa memindahkanmu ke semesta lain. Demi kebaikanmu, demi kebaikan Halla juga."

"Hal apa yang membuatku dibuang ke semesta lain?"

"Tidak bisa kukatakan."

"Apa orangtuaku membiarkanku begitu saja?"

Pria itu tampak sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Sesaat setelah helaan nafasnya terdengar begitu berat, dia angkat suara. "Mereka berusaha mempertahankanmu. Namun perintah raja adalah harga mutlak. Tidak ada yang bisa dilakukan."

HALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang