The Problem is... It's Too Easy

351 9 0
                                    

**

“So, how’s your day?”

Dylan meletakkan nampan makan siangnya di atas meja tanpa suara. Aku mendongak untuk menatapnya. “Good.”

Pandanganku teralih lagi pada sosok di ujung ruangan. Seperti biasanya, David duduk sendiri di salah satu bangku cafeteria. Sepasang headset terlihat menutupi kedua telinganya. Ia memasukkan satu persatu kentang goreng ke dalam mulutnya tanpa memperdulikan kesibukan orang yang berlalu lalang.

“Kau memperhatikan David Carter seharian ini. Aku tidak bermaksud ingin tahu, kalau kau sedang menjalankan apa yang seharusnya memang kau lakukan. Tapi. . .”

Aku hampir saja tergelak. David Carter mungkin memang ‘badass’ tapi tak ada alasan yang membuatnya pantas untuk.. well.. “Tidak tentu saja.”

Entah darimana tiba-tiba seringai nakal muncul di wajah Dylan. Aku menyadarinya begitu ia berhenti menyibukkan tangannya untuk membuka bungkus potato chips.

“Apa?”

“Kau sedang jatuh cinta ya?”

Aku tergelak. Mendengarnya berkata bahwa aku sedang jatuh cinta mungkin membuat pipiku memerah. Tapi aku berusaha sekeras mungkin untuk mengabaikannya dan berkata, “I wish!”

  Ya, aku berharap aku memang mencintai David. Agar aku tak merasa pernikahan ini akan menjadi beban terberat yang harus kujalani. Agar aku bisa menjalaninya dengan senang hati.

“Aku akan menikah dengannya.” Kataku dengan suara pelan. Berharap teman-teman yang mengelilingiku, termasuk Dylan, tak akan mendengarnya.

Tapi terlambat. Untungnya hanya Dylan. Ia menatapku dengan pandangan tak percaya sembari berteriak. “ZIANA HUNTER YOU ARE SO DEAD!!”

**

-David Carter-

Aku tidak pernah memperhatikan sekelilingku. Sampai Mom mengatakan bahwa ia ingin menikahkanku dengan putri salah seorang sahabat lamanya. Ziana Hunter. Aku sering mendengar orang membicarakannya atau menyebut namanya. Jelas sekali dia adalah salah satu gadis popular di kampus.

Aku sendiri tak pernah tahu yang mana orangnya. Lagipula aku juga tak pernah peduli. Sampai aku tanpa sengaja menemukan namanya dalam daftar yang sama denganku dalam kelas bahasa Spanyol. Ini pertama kalinya aku menaruh perhatian untuk orang sekitarku.

  Pertama kalinya pula bagiku berdiri di ambang pintu kelas untuk menatap seisi ruangan. Dan di sanalah aku melihatnya. Duduk di bangku paling belakang dengan tatapan kosong. Jelas sekali ia sedang melamunkan sesuatu. Tapi bukan itu yang membuat hatiku berdebar lebih keras.

Gadis itu.. mirip sekali.. Astaga! Bagaimana bisa aku menjalani hampir dua tahun kelas bahasa Spanyol tanpa menyadari dia berada di kelas yang sama denganku.

  Sulit sekali rasanya untuk berjalan menuju bangkuku tanpa melihat ke arahnya. Tidak mungkin. Dia benar-benar seperti matahari. Aku tidak bisa lagi menjelaskan dengan kata-kata bagaimana kecantikannya menarik perhatianku. Tapi aku merasakan kalau tatapannya menuju ke arahaku.

Pikiranku tiba-tiba teralih. Ini benar-benar mustahil. Bagaimana dia bisa mempunyai wajah yang persis sama dengan seorang dari masa laluku? Seorang yang membuatku memahami makna cinta yang sebenarnya. Seorang yang kini… tiada.

Zara Truscott. Dia satu-satunya gadis yang membuatku bangun di pagi hari dengan perasaan damai. Dia yang membuatku tak sabar menunggu malam hari untuk sekedar mengobrol di telepon dengannya. Dia yang membuatku jatuh cinta karena kelembutannya.

entièrement contrôléWhere stories live. Discover now