Detektif Kilesa

Door TheoBenhard

173 7 0

Seorang detektif yang bertemu dengan berbagai kasus kriminal. Meer

Kasus Singa Duduk
Kasus Sepatu Rusak
Kasus Kolam Merah
Kasus Kelinci Pembunuh
Kasus Petir Legenda
Kasus Ibu - Ibu Ganjen
Kasus Nenek yang Menghilang
Kasus Transaksi Kosong
Kasus Motel Berdarah
Kasus Samurai Dojo
Kasus Kursi Kosong
Kasus Bayi Tertawa
Kasus Tiga Tali Gantung
Kasus Perjamuan Terakhir
Kasus Kapal Karam
Kasus Dosa Turunan
Kasus Angin Tentatif
Kasus Bocah Tersesat
Kasus Tengkorak Menggantung
Kasus Dongeng Sebelum Tidur
Kasus Euthanasia Misterius
Kasus Anjing Menggonggong

Kasus Saksi Bisu

7 0 0
Door TheoBenhard

KASUS SAKSI BISU

Pk. 10.20.

"Kudengar kau masih punya Pez dispenser, Charles, di rumah?"

Charles mengangguk, "Masih, Kilesa. Permen unik. Ada di rumah. Aku punya tiga selongsong. Mau satu?"

"Tidak. Aku cuma penasaran. Sebenarnya permen itu medioker. Aku penasaran masih ada yang suka dengan permen sejenis itu."

Lenguhan Charles mengakhiri perjalanan panjang menaiki tangga apartemen tempat terjadinya sebuah pembunuhan. Kami mengeluh keras ketika mengetahui bahwa lift apartemen ini sudah rusak cukup lama dan belum diperbaiki. Apartemen apanya? Dibandingkan apartemen, tempat ini lebih layak disebut rumah susun atau rusun. Kumuh. Jemuran dan pakaian berantakan di mana – mana. Ketika aku menyadari tempat ini tidak mungkin memiliki cctv, aku tahu bahwa pekerjaan kami akan bertambah berat. Demi mengusir kekesalan dan kebosanan, aku membeli majalah TIMES di stand koran di samping pintu masuk.

"Tempat ini tidak cocok disebut apartemen, Kilesa. Lebih cocok disebut slum, atau pemukiman kumuh."

"Yes, aku tahu, Charles. Tapi jangan pernah mengatakan itu di muka penduduknya. Mereka akan tersinggung."

Charles mengerdikkan bahu. Pada akhirnya, kami tiba di TKP. Yang melaporkan kejadian adalah seorang ibu – ibu dari seberang TKP. Korbannya adalah seorang pak tua, berusia sekitar lima puluhan. Karena pintu terbuka, kami langsung dapat melihat mayatnya. Ia tertelungkup di ruang tengah, di atas karpet yang berlumuran darah. Kepala belakangnya memerah karena pukulan benda tumpul, dompet dan isinya berserakan di atas lantai. Nampaknya ini adalah sebuah hit and run.

Belum ada garis polisi membentang, sehingga kami tahu bahwa Mahmud beserta tim forensiknya belum datang. Ini tidak biasa, karena ia selalu lebih cepat. Mungkin mendengar nama Apartemen Intan Jawanangsa, ia jadi malas datang, karena TKP akan sulit diatur. Aku menyuruh Charles untuk memasang garis polisi. Sementara itu, mendengar bahwa polisi telah datang, orang – orang, terutama tetangga, mulai berkemurun di luar TKP. Kebanyakan adalah ibu – ibu rumah tangga.

Aku paham bahwa orang – orang seperti ini sulit untuk dilarang. Semakin dilarang, mereka akan berbisik – bisik semakin kencang. Oleh karena itu aku membiarkan mereka. Pada akhirnya Mahmud datang. Dugaanku salah. Ternyata mobilnya mogok. Ia bersama timnya pun segera melakukan tugas pemeriksaan. Beberapa saat kemudian, ia memberikan laporannya.

"Orang ini bernama Tukiman, dilihat dari identitas KTPnya. Usianya lima puluh tiga tahun. Tewas karena pukulan benda tumpul di belakang kepalanya. Menurut dugaan awalku, tiang besi, karena ada aroma besi tajam di sisa darahnya. Dan melihat TKP, nampaknya ini adalah kasus hit and run. Pencuri yang tertangkap basah, lalu terpaksa membunuh."

Aku mengangguk, "Aku setuju, Mahmud, semua bukti mengarah ke sana. Pintu kayu ini mudah dibobol seandainya pun dikunci dan digembok. Apakah orang ini hidup sendirian?"

Mahmud mengerdikkan bahu. Tiba – tiba dari arah kerumunan terdengar sesuatu. Seorang wanita belia mengangkat tangannya. Sepertinya ia mendengar percakapan kami.

"Aku adalah Anjani, pelayan rumah ini. Aku tinggal bersama beliau."

Aku mengangguk dan membiarkannya melintasi garis polisi. Wanita ini masih berusia sangat muda, sekitar awal dua puluhan. Dilihat dari ekspresi wajahnya, ia terguncang dengan apa yang terjadi.

"Seharusnya aku datang lebih cepat. Seharusnya aku datang lebih cepat. Seharusnya aku datang lebih cepat. Jika saja aku datang lebih cepat, Pak Kiman masih hidup."

"Tenangkan dirimu, nona. Semua sudah terjadi dan tidak bisa dicegah lagi. Mendengar dari ucapanmu, kau tidak tinggal bersama bapak Tukiman?" tanya Charles.

Anjani mengangguk, "Benar, pak, aku pulang pergi. Jadwalku adalah jam 10 pagi. Sampai jam 3 sore. Seharusnya pagi ini aku mengatur obat beliau dan membereskan pakaiannya. Aku tidak menyangka ini akan terjadi."

"Jadi kamu baru datang, Anjani?" tanyaku, yang dibalas dengan anggukan cepat. "Dan kau bisa jelaskan mengapa orang – orang itu, para tetangga, berkerumun di belakang garis polisi? Di tempat lain tidak seperti ini."

"Pak Tukiman terkenal di tempat ini, pak. Ia senang menolong orang, terutama ibu – ibu dan para pelayan. Ia sering mendengarkan cerita dan masalah, lalu memberikan saran. Dan sarannya bagus – bagus, pak. Ibu – ibu sering curhat masalah tentang pasangan juga. Coba tanya mereka, pak, mereka juga pasti terguncang dengan kejadian ini."

Aku mulai paham. Korban adalah orang baik yang terkenal. Itulah mengapa banyak ibu – ibu berkerumun di belakang garis polisi. Tapi, mengesampingkan hati dan perasaan, orang baik pun bisa menjadi korban kriminal. Kriminal tidak memandang bulu. Dan melihat TKP sekarang ini, mengarah besar pada hit and run. Pekerjaan maling. Adanya uang berceceran, banyak barang berantakan, tidak ada rekaman CCTV, serta kondisi lingkungan yang kumuh adalah situasi yang cocok bagi seorang perampok. Melihat situasi, tim forensik akan butuh waktu lama untuk memeriksa TKP. Lagipula, jika benar kesimpulan hanya sebuah kasus hit and run, ini bukan kasus untuk divisi detektif. Ini untuk divisi kriminal.

Aku menguap bosan. Aku menatap Charles dan ia pun beropini sama. Ini bukan kasus untuk kaum detektif. Charles berkata, "Kembali ke kantor kita, sobat?"

"Nampaknya begitu, Charles. Apa lagi yang menjadi jobdesk kita siang ini?"

"Menyusun berita acara. Laporan tentang kasus terakhir kemarin, Kolam Merah. Bertemu dengan pak bos untuk membicarakan pengadaan mesin pembuat kopi."

"Huh, membosankan. Apa kita tidak ada pekerjaan lain?"

Charles mengangkat bahu. Pandanganku kemudian beralih pada orang – orang yang berkerumun di belakang garis polisi. Wajah – wajah itu terlihat cemas dan sedih. Anjani benar, Tukiman adalah orang yang dikasihi di lingkungan ini. Tunggu dulu, mungkin ada yang bisa kita lakukan. Aku menatap Charles dengan sebuah senyuman. Ia sudah merasa ada yang tidak enak.

"Apa, Kilesa? Jangan bilang kau punya ide yang akan membuat kasus semakin rumit dan runyam."

"Sayangnya, aku senang dengan pekerjaan ini, Charles. Ayo, kita wawancarai mereka."

***

Apartemen yang sempit membuat kami melakukan wawancara di kamar ujung di lantai yang sama, sebuah ruangan yang tidak terpakai karena baru saja ditinggalkan pemiliknya. Awalnya kami berencana untuk mewawancara satu persatu, namun karena tidak ada daun pintu serta peredam suara, kami mengundang semuanya untuk masuk ke ruangan. Ibaratnya antrian dokter, kami berada di tengah bersama seorang narasumber, dan yang lain mengantri di dekat dinding. Di dunia kepolisian, baru sekarang hal seperti ini terjadi.

Di antrian, ada bermacam – macam orang. Tadinya ada lebih dari sepuluh orang hendak memberikan kesaksian, bukti bahwa Pak Tukiman adalah orang yang populer. Begitu mengetahui mereka berasal dari kamar yang sama, aku meminta untuk perwakilan satu kamar satu. Sisanya silakan keluar. Aku tahu beberapa masih berada di balik dinding untuk mendengarkan. Kebijakan ini menghasilkan lima orang berada di ruangan bersama kami, termasuk Anjani, pelayan pak Tukiman.

Orang pertama yang hadir di depan kami adalah seorang ibu – ibu berusia lima puluhan. Tinggal di seberang kamar Pak Tukiman, ialah yang melaporkan kejadian pada polisi.

"Jadi, Bu Aminah, bagaimana keadaan Pak Tukiman saat ditemukan?"

"Sudah bersimpuh darah, pak. Saya lalu mengecek nadinya, sudah tidak ada. Saya pensiunan perawat, jadi saya tahu kalau orang sudah mati atau belum. Beliau sudah meninggal, makanya saya menelepon polisi, bukan ambulans. Begitu saya selesai menelepon, saya langsung tutup pintunya, supaya tidak ada keributan. Beliau orang yang dikenal, pak. Kalau orang – orang tahu ia sudah mati, pasti ada keributan."

Tiba – tiba terdengar suara dari antrian, "Bu, ibu itu orang yang egois. Kalau ada kenapa – kenapa, kami bisa membantu, bukannya seperti itu?"

Namun aku meminta Bu Aminah untuk mengabaikannya. Yang berkata adalah seorang ibu rumah tangga lainnya, namun bertampang agak judes. Aku kembali melempar pertanyaan.

"Keributan seperti apa yang ibu maksudkan?"

"Gosip, pak. Orang – orang sini senang menggosip. Apalagi, Pak Tukiman baru saja bertengkar dengan keponakannya. Orang ini selalu datang setiap pagi, antara jam delapan hingga jam sepuluh. Ribut, pak. Suaranya selalu terdengar hingga keluar."

Aku mengernyit. Jadi ini bukan kasus hit and run? Mengapa ia memberi kesan seakan – akan Pak Tukiman dibunuh? "Jadi menurut ibu, Pak Tukiman dibunuh?"

Gilirian Bu Aminah yang mengernyit, "Tentu saja, pak. Memangnya ada kemungkinan apa lagi? Bukankah ia dibunuh?"

Charles tersenyum sinis, "Bisa jadi ada pencuri yang membobol pintu lalu mencari barang – barang berharga? Ia kepergok Pak Tukiman, lalu terpaksa membunuh?"

Bu Aminah tertawa mengejek, "Tidak mungkin, pak. Kiman orangnya sederhana. Juga baik dan rendah hati. Tidak mungkin ia diincar oleh penjahat kelas bawah. Lagipula, kalau pelakunya adalah maling, aku pasti mendengar grasa – grusu dari sebelah. Juga teriakan. Aku tidak mendengarnya. Artinya apa? Artinya si Nebula, keponakannya itu, masuk dengan kunci secara diam – diam, lalu memukul kepala Kiman dari belakang."

Aku mendesah. Artinya kita harus mencari orang bernama Nebula itu. Pekerjaan lagi bagi kepolisian. "Masalah apa yang dipermasalahkan oleh Pak Tukiman dan Nebula?"

"Masalah biasa, pak. Duit. Nebula baru saja melahirkan, tapi suaminya juga baru diPHK. Mereka butuh uang. Sementara pekerjaannya cuma pegawai laundry. Yah, begitulah. Kami sering mendengar Pak Tukiman berteriak "Tanya saja kepada orang tuamu" berkali – kali. Tidak enak, pak. Kami tahu karakter Pak Tukiman. Orangnya penyabar. Maka jika ia sudah seperti itu, berarti Nebula sudah kelewat batas."

"Betul, betul, pak." Orang di antrian kembali menyahut, kali ini seorang pemuda belasan tahun.

Aku kembali mendesah karena kasus menjadi sulit jika sentimen bermain. Charles paham ini, ia mengambil alih. "Ada bukti bahwa Nebula datang ke kamar Pak Tukiman pagi ini antara jam delapan hingga jam sepuluh?"

Orang di antrian menyahut, kali ini ibu – ibu judes, "Ada pak. Aku melihat sekelebat bayangannya dari balik pintu. Ia masih memakai baju yang sama seperti malam kemarin. Baju dress hitam panjang. Malam kemarin, mereka bertengkar hebat."

Aku menatap Bu Aminah meminta jawabannya, namun ia menunjuk ibu – ibu judes, "Kalau Yoanna sudah berkata, aku percaya padanya. Matanya setajam elang. Kupingnya setajam kucing. Tidak ada penglihatan atau gosip yang luput dari inderanya."

"Ibu sendiri, apa ibu melihat Nebula pagi ini?"

"Tidak, aku tidak melihatnya. Pintuku tertutup. Tapi aku bisa mencium aroma parfumnya dari balik pintu. Itu benar – benar Nebula datang mengunjungi Kiman. Aku bisa memastikannya."

Aku sedikit menepuk meja tanda kekesalan, "Baiklah, apa ada lagi keterangan yang ibu ingin sampaikan?"

"Ada lagi, pak. Sekitar seminggu lalu Nebula membawa anaknya, terbungkus selimut, untuk menarik simpati dari Pak Tukiman. Berisik sekali, pak, anak itu. Menangis sepanjang lorong. Tetangga – tetangga pun keluar kamar semuanya."

"Bagaimana hasil dari pertemuan itu?"

"Kami tidak tahu, Kiman tidak mau membicarakannya dengan kami. Namun melihat Nebula keluar dengan tampang kusut, aku tahu ia tidak dapat duit Pak Tukiman. Pasti. Aku berani jamin."

Aku mengangguk – angguk. Namun Bu Aminah masih belum selesai. "Lagipula..." Aku memotongnya dengan sopan dan memberitahunya bahwa keterangannya sudah cukup. Ia kupersilakan untuk menyingkir. Terlihat tersinggung, ia keluar ruangan. Namun aku tidak ambil pusing.

Kini giliran ibu – ibu judes. Namanya Yoanna. Ia hanya memakai dress atasan bermotif bunga – bunga. Tidak perlu penilaian orang lain, aku pun yakin Charles setuju denganku bahwa ia memasang muka angkuh ketika duduk di depan. Maka aku bertanya langsung ke pokok persoalan. "Apakah ibu yakin bahwa Nebula yang melakukan kejahatan ini?"

Yoanna mengangguk, namun ada keterangan tambahan. "Tapi, pak, aku yakin ia dihasut oleh suaminya. Suaminya itu seperti iblis bermuka dua. Di hadapan kami mukanya bersinar – sinar seperti malaikat. Di belakang seperti genderuwo."

Aku mulai garuk – garuk kepala. "Itu tidak penting, bu. Yang kami butuhkan adalah kesaksian tentang kejahatan yang dilakukan oleh Nebula. Jika suaminya tidak ada di TKP saat kejadian berlaku..."

"Oh, suaminya ada di sini. Aku yakin. Ia selalu menunggu di bawah, di depan lobi, atau di dalam mobil. Dan mereka itu satu komplotan. Otaknya, ya suaminya itu. Dialah yang membawa pengaruh buruk bagi Nebula. Aku sering melihat mereka berduaan di dalam mobil dan berdiskusi merencanakan tindakan kejahatan. Pernah suatu kali aku melihat Nebula membawa sachet kecil keluar dari mobil menuju apartemen."

Aku mengernyit, "Sachet kecil? Maksud ibu..."

Yoanna mengetuk meja, "Betul. Mereka ingin meracuni Kiman kita yang tercinta. Aku yakin. Sangat yakin."

Charles tersenyum, "Dan sekarang ibu yakin bahwa Nebulalah yang memukul kepala Pak Tukiman?"

"Aku yakin, pak polisi. Yakin seyakin – yakinnya. Ialah yang membunuh Kiman."

"Bu Yoanna memiliki bukti kehadiran Nebula di tempat ini pada pukul 08.00 hingga pukul 10.00"

Kedua kalinya Yoanna memukul meja. "Tidakkah kaudengar tadi bukti – bukti yang disebut oleh Aminah? Apa lagi yang kurang? Aku melihatnya sekilas dari balik pintu. Lalu aroma parfum yang dicium oleh Aminah. Serta kebiasaan Nebula untuk berkunjung di pagi hari. Apa lagi yang kurang, pak polisi yang tercinta? Segera ciduk Nebula dan suaminya si biang kerok itu!"

Aku mengangguk dan bertanya adakah lagi yang ingin ia sampaikan. Ia menjawab cukup, kemudian mohon diri dan keluar ruangan. Kamin memersilakan saksi yang ketiga. Ia adalah seorang pemuda berusia dua puluhan bernama Martis. Letak kamarnya paling jauh dari kamar Pak Tukiman, berada di samping tangga. Karena ia terlihat paling waras dari antara saksi lainnya, aku berharap keterangannya membantu.

"Langsung saja ke pokok persoalan. Kamu telah mendengar dua saksi sebelumnya. Adakah keterangan yang berbeda? Apakah kamu setuju bahwa Nebula yang melakukan semuanya ini? Adakah bukti yang bisa ditunjukkan?"

Martis terlihat sebagai pemuda berkacamata, pemikir, juga memiliki tatapan tajam. "Aku tidak tahu, pak, tapi akan kuberitahu apa yang terjadi di pagi tadi. Posisi kamarku berada di samping tangga, dan aku mendengar bisik – bisik di samping tangga. Itu adalah suara dari Nebula dan suaminya."

Aku terkejut, "Jadi suaminya tidak menunggu di bawah seperti kata Bu Yoanna?"

Martis menggeleng. Aku lalu melanjutkan, "Apa isi pembicaraan itu?"

Sang pemuda menunggu lama, menatap kami berdua seakan bertanya bahwa apakah kata – katanya berikutnya dapat menjaminkan keselamatannya. Ketika aku mengangguk, ia berkata, "Nebula berkata bahwa ia ragu – ragu untuk melakukan kejahatan ini. Sedangkan suaminya mendesak dengan suara yang cukup tinggi. Katanya, anaknya butuh pengobatan dan vaksinasi, dan mereka tidak punya biaya lagi. Itulah percakapan terakhir mereka yang kudengar. Kuakui aku tidak melihat mereka. Namun itu karena aku takut. Mungkin mereka benar – benar akan melakukan kejahatan. Aku bisa jadi korban berikutnya. Bapak – bapak tahu, lingkungan ini cukup keras."

Charles bertepuk tangan sambil berseru eureka. Ia menatapku, "Apa lagi yang kau tunggu, Kilesa? Sudah tiga saksi, dan orang di depan kita yang paling memberatkan, bahwa Nebula dan suaminyalah yang bertanggung jawab atas kematian Pak Tukiman. Apa lagi..."

Charles terdiam begitu aku mengangkat tangan telunjuk ke bibirnya. Mataku menajam. Kesaksian pemuda ini terlalu bagus. Aku menanyakan pertanyaan selanjutnya.

"Bagaimana opinimu tentang Pak Tukiman? Aku bisa paham ia populer di kalangan ibu rumah tangga. Bagaimana denganmu?"

"Pak Tukiman membantuku dalam pelajaran kuliahku. Aku bukanlah orang pintar, pak polisi. Ia membantuku memahami mata kuliah, terutama dalam mata pelajaran akutansi. Pak Tukiman sendiri pernah bekerja di perusahaan kredit, jadi sedikit paham tentang neraca uang. Ia adalah orang baik. Sayang orang baik cepat dipanggil Tuhan. Aku turut berduka, pak polisi. Semoga ia bisa tenang di sisi-Nya."

Aku mengangguk. Ketika Martis berkata tidak ada lagi yang bisa ia sampaikan, ia pun memohon diri dan keluar ruangan. Aku menengok ke samping. Tinggal dua orang, Anjani dan seorang bapak – bapak. Aku memanggil Anjani. Namun aku tidak menyuruhnya duduk.

"Anjani, bagaimana menurutmu? Adakah lagi pengetahuan baru yang bisa engkau sampaikan? Apakah semuanya sama seperti saksi – saksi sebelumnya?"

Anjani mengangguk dan berkata hampir semuanya sama. Ia juga mengakui bahwa Pak Tukiman memang terganggu dengan keberadaan Nebula dan suaminya. Namun karena ia datang jam sepuluh, ia tidak melihat kedatangan Nebula. Masuk akal. Aku lalu melirik ke samping. Yang tersisa adalah seorang bapak – bapak kurus berusia tujuh puluhan, lebih tua daripada Tukiman sendiri, dengan memakai kaus oblong dan celana pendek serta kacamata besar. Aku bertukar pandang dengan Charles apakah perlu menanyai orang ini.

"Sejujurnya, tidak perlu, Kilesa. Semua bukti sudah ada. Semua keterangan mengarah pada Nebula. Tapi kalau kamu ingin menghindari membuat berita acara, silakan saja."

Kata – kata berita acara membuat kepalaku pening sehingga aku mempersilakan sang bapak untuk duduk di hadapanku. Sikapnya santai, bahkan cenderung tidak sopan. Ia meletakkan korannya di atas meja, kemudian bersandar dan melipat satu kaki. Ia kemudian memperkenalkan diri sebagai Harianto. Tidak ingin berlama – lama, aku langsung bertanya.

"Keterangan baru apa yang bisa bapak sampaikan kepada kami? Adakah yang berbeda dari keterangan – keterangan sebelumnya?"

"Berbeda? Apa arti dari kata itu? Sebuah omong kosong yang dibalut dengan ketidakwajaran? Semuanya menguap ditengah opini yang berbisa."

Aku berpandang – pandangan dengan Charles. Kami berdua bingung. Apakah orang ini mabuk? Apakah ia seorang pujangga? Aku mencoba bertanya sekali lagi. Dan inilah jawabannya.

"Terkadang mereka yang mengurusi kehidupan setelah kematian merasa bahwa mereka memiliki hak untuk mengurusi langit dan bumi juga. Kahyangan menangis. Surga dan neraka jenuh. Padahal kenyataannya tidak seperti itu."

Aku memejamkan mata. Diliputi rasa kesal, aku menanyakan hal yang utama. "Apakah Nebula yang menghabisi nyawa Pak Tukiman?"

"Menangis, menangislah kaum tertindas. Mereka ingin ladang mereka menumbuhkan padi – padi unggul, kenyataannya mereka membunuhi kaum sendiri."

Jelaslah kesimpulannya. Orang ini tidak waras. Gila. Aku dan Charles sepakat untuk beranjak dari kursi, namun pada saat itulah aku menyadari sesuatu. Yaitu kata – kata pertama dari Harianto mengenai opini berbisa. Aku kembali duduk. Charles bingung. Namun Harianto di hadapanku tersenyum.

"Kancil yang menanyakan pertanyaan yang tepat akan membuat sang serigala kehilangan sarangnya."

"Apa yang membuatmu yakin bahwa kau menyaksikan alam semesta?" ujarku. Aku hanya asal berkata, namun sepertinya ia paham maksudku. Charles pun mulai mengernyit.

"Sang penjaga waktu duduk di luar, di gerbang kehidupan. Putaran kosmik menyatakan waktu sudah berhenti ketika ada yang keluar dari pusaran revolusi. Belum saatnya, ujarnya. Maka ia pun bingung. Namun karena masih banyak pusaran revolusi lainnya yang harus dijaga, ia tidak mengurusi lubang hitam itu. Lagipula, ada jalan susu di sampingnya."

Aku menunduk dan tersenyum. Entah mengapa aku memahami apa maksudnya. Aku bertanya lagi. "Bagaimana opinimu tentang Pak Tukiman? Bagaimana menurutmu tentang tetangga – tetanggnya? Bagaimana tentang Nebula dan suaminya?"

"Siklus karbon memaksa umat manusia untuk berputar sesuai dengan tempatnya. Tidak adil bagi mereka yang berada di luar kerangka untuk mengejar neraca keadilan. Angin membawa kabar, dan petir menghantam bagaikan tulang besi. Yang dipentingkan di sini adalah sinar matahari yang mampu melihat segalanya, sesuai dengan rekaman kenyataan."

Senyumku semakin membesar karena aku memahaminya dan semuanya tampak semakin masuk akal. Charles semakin bingung. Aku mempertanyakan pertanyaan pamungkas.

"Lalu apakah bukti valid bahwa sang penjaga waktu duduk di luar gerbang kehidupan?"

Harianto tidak menjawab pertanyaan ini, melainkan membuka koran, dan menunjuk pojoknya. Ia menunjuk tanggal. Tepat hari ini, 30 Januari 2031. Aku mengangguk. Lalu kupersilakan dirinya untuk keluar ruangan. Aku kemudian berpandang – pandangan dengan Charles, dan meregangkan badan.

"Well, Charles, tugas kita sudah selesai."

"Apa maksudmu, Kilesa? Kau ingin berhadapan dengan pak bos dan berita acara yang membosankan itu?"

"Bukan, maksudku, kita sudah berhasil menangkap calon kuat pelaku pembunuhan Pak Tukiman."

"Apa maksudmu?"

Aku menoleh dan menatap Anjani yang sedari awal tinggal di dalam ruangan. "Anjani, persiapkan dirimu. Kau akan diikutkan menuju kantor polisi. Di sana kau bisa berikan keterangan sejelas – jelasnya. Aku harap kau bisa berterus terang."

Aku berdiri dan meninggalkan Charles yang terperangah di dalam ruangan.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

188K 5.4K 49
[Wajib VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertinggal...
MONSTERS? Door rachel

Mysterie / Thriller

3.9K 239 25
" Aku membutuhkan darahmu sayang, untuk hidup ku " - monsters. *** Di malam hari, banyak manusia yang menghilang karena muncul suara seruling yang t...
380K 25.8K 36
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...
47K 6.2K 34
Nera adalah anak yang tumbuh di lingkungan kriminal pinggiran kota. Keputusannya menyelamatkan seorang pria tua yang terkena luka tembak membawanya m...