AURORA BOREALIS 2|BAGIAN 20
Now Playing : Breathe — Lee Hi
“How stupid of me, to think i was the only flower in your garden, Dad”—Aurora Pelangi Cavarson
****
Semua anggota Kingston tengah berkumpul di markas. Sudah sejak setengah jam yang lalu mereka berkumpul. Fokus pada kegiatan masing-masing. Ada yang bercakap-cakap, makan, bermain game atau sekedar duduk santai mengisi kejenuhan sebelum pulang ke rumah.
"Bos," panggil George sambil menepuk bahu Borealis yang tengah melamun menatap jalanan di depan markas.
"Apa?"
"Perihal Edeline—gimana?"
"Kita tetep cari dia, tapi nanti dulu. Kita rundingin ini bareng-bareng. Harus kemana dulu kita."
George mendudukan diri di sisi Borealis.
"Apa ada orang yang lo curigai?" tanya George memelankan suaranya.
Borealis menoleh. Menaikan sebelah alisnya.
"Aurora.."
Borealis menggeleng, "bukan dia. Nggak mungkin dia ngelakuin itu."
"Bos, lo harusnya jangan terlalu percaya sama orang kayak gitu."
"Tapi bukan dia George, sekalipun dia tau dimana Edeline ataupun terlibat mengenai hilangnya Edeline dia nggak bakal dengan terang-terangnya ada dan bahkan ikut kita ngelawan Dalton."
"Bos, dalam sebuah permainan papan kartu. Pemegang kartu penyihir pasti akan menuduh pemain lain adalah penyihirnya. Sampai nanti kalo semua udah buka kartu, semua pemain bakal tau kalo ternyata penyihirnya adalah pemain yang menuduh itu."
"Jadi maksud lo, Aurora nyembunyiin sesuatu gitu?"
"Ya kan mungkin aja Bos, soalnya—"
Bugh!
Satu bogeman Borealis mengenai wajah George dan membuatnya tersungkur ke lantai.
"Lo apa-apaan sih?!" ketus Alister menarik kerah Borealis.
"Lo kasih tau tuh dia, untuk nggak asal ngomong aja!" sarkas Borealis.
"Ck! Bos gue cuma mengutarakan opini gue, gue nggak bermaksud buat lo tersinggung."
"Lo mengutarakan opini, atau mengutarakan tuduhan ha?!"
George bangkit. "Gue nggak nuduh ya, kalo gue nuduh Aurora, udah gue hadepin dia sendiri tanpa ngasih tau lo."
"Lo berani macem-macem ke dia, nggak segan-segan gue buat lo tinggal nama."
Baru saja Borealis akan melangkah meninggalkan markas tiba-tiba seorang perempuan bersurai panjang dengan setelan denim menghampirinya.
Plak!
"Jadi dimana Edeline sekarang, Borealis!" bentaknya. Dia adalah Kinesa Amalia, kakak perempuan Edeline.
"Kak, tenang dulu. Kita juga lagi berusaha cari dia."
"Omong kosong soal usaha kalian! Orang dari tadi kalian cuma duduk-duduk gitu!"
"Kak Nesa, kita ini baru bubar sekolah setengah jam yang lalu. Kita masih masih capek, kita istirahat sejenak."
"Borealis! Katanya lo Ketua geng, yang anggotanya ratusan, tapi mana?! Nyari cewek kayak Edeline aja nggak becus."
Buku-buku tangan Borealis memutih pertanda dia mencoba meredam emosinya yang kian memuncak. Jika saja yang dihadapinya bukan seorang kakak yang sangat dicintai oleh sosok Edeline Amalia. Mungkin Borealis sudah melayangkan tinjuan mentahnya.
"Jagain Edeline aja nggak becus, mau sok dipanggil ketua, dipanggil bos. Lo itu bukan anak kaisar bukan anak berdarah biru, lo—"
"Kak!" potong Sean—membuat Kinesa terdiam menatapnya .
Sesaat semuanya terdiam.
Sean berjalan mendekati Kinesa.
"Kakak tau, Kakak itu lebih dewasa dari kita, harusnya Kakak lebih bisa menggunakan pikiran kakak untuk menerima keadaan" ucap Sean, "semua juga butuh waktu, Kak, kita lagi mengusahakan. Kalo ada perkembangan soal Edeline, kita pasti kabarin Kak Nesa."
Tatapan Kinesa mulai melunak. Sorot matanya yang tadi tajam perlahan menyendu.
"Kita bakal lakuin semuanya dengan baik, disini kita juga kehilangan sosok Edeline. Edeline temen kita Kak."
Hening, semua kalut dalam kediaman. Sampai tiba-tiba Kinesa memeluk Sean dengan eratnya. Semua yang berada di markas tertegun. Terlebih lagi Borealis.
Isak Kinesa terdengar begitu memilukan di bahu Sean. Borealis memperhatikan keduanya.
Mereka bukan layaknya orang asing. Sedekat apa Sean sama Edeline sampai Kak Nesa bisa luluh sama dia? Padahal sebelumnya dia sempet marah bahkan nampar gue, batin Borealis
🌈🌠
Ruang makan keluarga Cavarson.
Keempatnya masih diam tanpa sepatah duapatah kata, semua kalut dalam makan malamnya.
"Aku sudah selesai. Aku naik dulu. Setelah ini ada urusan," ucap Karl seraya bangkit dari duduknya.
"Pah!" panggil Gladys—namun tidak di hiraukan oleh seorang Karl Cavarson.
Sampai di kamar utama Karl pun masih tetap mengabaikan Gladys.
"Pah! Semakin lama, Papah semakin menjadi. Sebenarnya apa sih yang Papah urus di luar sana? Urusan kantor kan nggak sampai menyita seluruh waktu Papah kan," ucap Gladys seraya menarik Karl yang sedang mencari setelan jasnya di lemari.
"Dys, jangan buat aku makin banyak pikiran."
"Ya kalo Papah nggak mau makin banyak pikiran, sekali-kali Papah cerita sama Mamah. Kalo ada masalah cari solusinya bareng-bareng Pah."
"Nggak usah berlagak kamu bisa menyelesaikan masalahku, urus anak aja kamu nggak bener."
Dari tangga Aurora bisa mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.
Sehari saja, dia ingin keluarganya saling tersenyum dan tertawa.
Sampai tiba-tiba Karl berjalan menuruni tangga. Aurora mencekal lengan Ayahnya, "Papah mau kemana?"
Pria tegap dan tegas itu menepis cekalan putri semata wayangnya itu, "bukan urusan kamu Aurora."
"Apa Papah lupa sama permintaan Aurora waktu itu?" Aurora menjeda kalimatnya, "tolong baik-baik aja sama Mamah, hanya di depan Mamah, Pah. Kasian Mamah."
"Aurora! Apa yang perlu di kasiani dari Mamah kamu?! Dia tinggal hidup enak, tanpa memikirkan apapun. Sekarang yang harus dikasihani itu Nesa, Aurora!"
Deg!
Aurora menatap Karl dengan tatapan yang mulai menyendu.
Perempuan itu lagi
"Edeline hilang Ra! Udah seminggu lebih nggak ada berita apapun. Nesa butuh seseorang untuk menguatkannya."
"Dan apa menurut Papah, Mamah nggak butuh seseorang untuk menguatkanya di saat dia terpuruk Pah?!"
"Cukup Aurora! Ini semua juga karena kelakuan kamu dan teman-teman geng kamu?! Kalo aja kalian nggak tawuran pasti Edeline nggak bakal depresi kayak gini. Bahkan sekarang dia di culik."
"Asal Papah tau, justru Edeline adalah alasan kenapa Aurora dan temen-teman Aurora melakukan itu."
"Ra! Nggak usah manyalahkan orang yang nggak tau apa-apa. Papah nggak pernah mangajarkan kamu seperti itu."
"Dan itu memang kenyataannya Pah!"
"Atau jangan-jangan kalian sengaja menyembunyikan Edeline?!"
"Apa seburuk itu Aurora di mata Papah! Kalo itu adalah hal yang di lakukan Aurora sama temen Aurora. Nggak mungkin Aurora bakal berantem sama anak sekolah lain hanya cuma mencari tau keberadaan Edeline!"
"Kamu berantem lagi Aurora! Sudah Papah bilang untuk menjauh dari hal-hal seperti itu. Tapi kamu justru semakin melonjak! Mau jadi apa kamu!"
"Peduli apa Papah soal kehidupan Aurora! Bahkan Aurora mati sekalipun, Papah nggak bakal sedih. Malah justru seneng, nggak bakal jadi aib keluarga Cavarson yang terhormat ini."
"Aurora!"
"Emang begitu alurnya kan Pah."
"Sudahlah, ngomong sama kamu buang-buang waktu Papah!"
Karl berjalan menuruni tangga.
"Papah akan tetap pergi?" gumam Aurora tapi masih bisa di dengar oleh Karl.
"Harus berapa kali Papah tegaskan! Edeline hilang dan Papah akan cari dia!" ucap Karl tanpa menoleh pada putrinya itu.
"Apa kalo Aurora ada di posisi Edeline, Papah bakal cari Aurora seperti yang Papah lakukan sekarang?"
Karl tidak menjawabnya.
"Jadi anak Papah itu Aurora atau Edeline?" gumam Aurora kemudian berbalik menaiki tangga.
Sedangkan Karl masih terdiam di tempatnya.
Brak!
Aurora menutup pintu kamarnya dengan keras. Tubuhnya merosot sampai di lantai. Air matanya menetes dengan derasnya.
Tolong, akhiri semua ini Tuhan. Aurora lelah, hentikan perasaan ini, hentikan waktu yang Aurora punya saat ini. Aurora lelah.
Isak tangisnya tak terdengar, namun nampak sangat memilukan. Dadanya sesak menghadapi kenyataan seperti ini.
Pah, bisa keluarga kita seperti dulu? Disaat Aurora belum merasakan sakit, belum merasakan pedih. Aurora juga ingin seperti anak lainnya Pah. Ingin di peluk cium, di sayang di kasihi. Di bangga karena pencapaian Aurora. Bukan di bentak di salahkan karena hal yang Aurora pun nggak paham.
Dia rindu akan sosok ayah yang dia kagumi dulu, sosok ayah yang selalu dia sombongkan pada teman-temannya. Sosok ayah yang amat dia idolakan.
Namun sekarang,
Semua berubah.
Semua berbeda.
Semesta membuat ayahnya benar-benar menjadi sosok yang bukan dia kenal.
Dia hanya ingin satu hal.
Keluarganya.
Dan,
Rasa kasih sayang di dalamnya.