Layak Diingat

Por valeriepatkar

568K 77.6K 39.5K

(SELESAI) Karena ada yang layak diingat, meski banyak yang patah di sebuah rumah. Bagian dari Loversation unt... Más

Ingatan 0.
Ingatan 1.
Ingatan 2.
Ingatan 3.
Ingatan 4.
Ingatan 6.
Ingatan 7.
Ingatan 8.
Ingatan 9.
Ingatan 10.
Ingatan 11.
Ingatan 12.
Ingatan 13.
Mengingat 14.
Mengingat 15.
Mengingat 16.
Mengingat 17.
Mengingat 18.
Mengingat 19.
Mengingat 20.
Mengingat 21.
Mengingat 22.
Mengingat 23.
Mengingat 24.
Berakhir Dulu.

Ingatan 5.

22.4K 3.3K 1.5K
Por valeriepatkar




INGATAN LIMA.

"Perasaan itu sederhana,

Proses memiliki dan membuangnya yang rumit.

Apalagi kalau ditolak."

Rumi → 27 Maret 2018 pukul 23.50, Ardan

❀❀❀❀

ARDAN

Siapa sih yang gak pengen punya rumah gede? Di Jalan Panglima Polim IX, mungkin ini rumah yang paling bisa kelihatan orang lain di ujung kompleks, saking gedenya.

Tau deh apa yang ada di pikiran Bokap pas bangun rumah ini. Gue kira ini rumah warisan dari Oma, atau minimal rumah yang sebelumnya dibeli dari orang lain. Tapi Bokap memang membangun rumah ini dari tanah kosong. Rumah tiga lantai dengan luas tanah 600 meter. Lahan belakang yang luasnya hampir sama dengan bangunan rumah khusus untuk latihan memanah Bokap dengan kolam renang.

Rumah sebesar ini bagus.

Semua orang bisa melakukan apapun yang mereka pengen. Teriak pun gak akan pernah didenger tetangga. Terakhir kali gue bikin 'Retroris anak rumahan' karena uang jajan gue dipotong sebulan dan gue gak bisa clubbing, rumah ini berisik sama lagu-lagu trance yang diputar dengan volume penuh sampai subuh, dan gak ada tetangga yang nyamperin gue sambil marah-marah karena terganggu. Dirga dan gue udah teler waktu itu. Trian yang emang pada dasarnya susah bangun meskipun gak mabok masih tidur. Cuma Glendy yang bangun karena mencret-mencret. Dan adik gue yang udah lipat tangan di atas sofa dengan muka siaga 1 murka sambil nunggu semua orang sadar dari mimpi mereka.

Rumah sebesar ini bagus.

Kalau rame.

Tapi kalau sepi.

Ya rumah ini kosong.

Gue gak punya alasan untuk bilang rumah ini bagus.

Setiap sudut kelihatan gelap. Lampu sebanyak apapun gak akan bikin sudutnya lebih terang. Gak ada suara yang berarti kecuali suara gitar yang gue mainin seadanya, atau suara grand piano, atau suara mixing lagu dari Macbook gue yang udah mundur 3 hari dari deadline yang selanjutnya.

Gue laper, tapi gak pengen makan.

Gue bosen, tapi gak tau harus ngapain.

Gue pengen ngomong, tapi gak tau caranya bicara.

Dan gue pengen tidur, tapi gak pernah ngerasa ngantuk.

"May the force be with you. May the force be with you."

Gue berbaring di kasur, memiringkan posisi tidur gue cuma untuk melihat actior figure kecil yang bunyi setiap kali gue memencet bagian dadanya.

Ardan Bramansa : Vel, minta contactnya Rumi dong.

"Terakhir kali gue ke sana udah lama banget. Waktu bokap-nyokap masih bareng."

Apa iya ada seseorang ia ngomongin perpisahan orang tuanya segampang itu? Gue masih inget, di matanya sama sekali gak ada kesedihan. Atau gue yang malah salah tangkep dan salah dengar maksud perkataannya?

"May the force be with you! May the force be with you!"

Jam 4 pagi, gue baru terlelap dengan sekian banyak pertanyaan di kepala.

Dan sampai terakhir kali mengingatnya, Ravel belum balas Whatsapp gue sama sekali.


**


"Ohok! Ohok!"

Sebentar.

Gue orang yang jarang banget batuk-batuk abis bangun tidur begini, terus kenapa gue jadi mendadak bengek begini?

"Ohok! Ohok!"

Mimpi bukan sih ini? Perasaan gue tidur belum selama itu deh buat mimpi sampai batuk-batuk berdahak ala OBH begini. Udah malah mata gue perih banget.

Asap.

Iya, ada asap.

Makanya mata gue perih banget, napas gue juga sesek.

Jangan-jangan.

"KEBAKARAN YA?" gue lupa kalau lagi tinggal sendiri dan ini bukan mimpi. Ini beneran. Dibalik pintu kamar gue keluar sekelibat asap yang baunya cukup menyengat di hidung sampai napas gue tersengal-sengal.

Dengan panik gue langsung lari berhamburan keluar. Paling gak kalau memang rumah ini udah kebakaran, gue harus cari jalan keluar secepatnya. Gue belum mau mati, anjir. Dengan terbirit-birit, gue membuka pintu, persis kayak adegan Dono-Kasino-Indro waktu ketemu maling di rumahnya. Gak tau ya? Ya udah, beda angkatan kita.

"Di samping juga ya, Pak. Pastikan sudut-sudut kecil juga disemprot," langkah gue terhenti waktu suara penuh penataan yang familier di telinga.

Sebentar-sebentar.

"Tolong di sana juga," mata gue menyipit karena ini beneran kayak adegan di film-film waktu ada muka orang ketutup asap. Bedanya kalau di tivi, kelihatan keren, apalagi ditambah lagu latar. Lah ini.

"WOY!"

Bener-bener nih orang.

"GILA YA LO!"

Adek gue.

Gak tau datengnya dari ujung dunia mata-mata.

Nge-fogging.

Pagi-pagi.

"GAK ADA AKHLAK LO EMANG YA!" gue menghampirinya sambil menutup hidung. Mata gue udah melotot siap-siap murka, dan gue yakin di tengah suara 'DRRRRRRRT' yang berasap-asap ini, dia pasti mendengar teriakan gue yang udah ngalahin ibu-ibu kost nagih duit bulanan. "YANG BENER AJA LO MALAH NGE-FOGGING KAYAK-"

"Sssst, you are too loud."

Wah, anjir.

"HEH! GUE NGOMONG SAMA LO! BERHENTI GAK FOGGING-NYA. INI MASIH...... BANGSAT, BARU JAM 7 PAGI. GUE BARU TIDUR 3 JAM. MENDINGAN SEKARANG LO-"

Zzzzzzt.

Jadi begini guys. Kalau ada suara 'zzzzt' itu tandanya gue harus berhenti ngomong karena orang di hadapan gue langsung melemparkan tatapan tajamnya pada gue, persis kayak Kepala Sekolah mau nyuruh anak muridnya bersihin selokan dari kecebong sebagai hukuman.

"Lo gak lihat rumah ini.."

"ADUH!"

Gue bahkan gak tau dia lagi memegang kemoceng yang sekarang dia layangkan untuk memukul gue dengan tampang datarnya.

"Udah persis kapal pecah."

"ADUH!"

Dipukul ke kanan.

"Bau.."

"ADUH!"

Dipukul ke kiri.

"Banyak debu.."

"ADUH!"

Dipukul di kepala.

"Don't you know how messed up this house is?!"

"ADUH! SAKIT SAKIT SAKIT! AAAAH!"

Si Bapak yang fogging sampai berhenti semprat-semprot karena terkesima melihat orang berbadan sebongsor gue bisa teriak-teriak cuma karena dipukul dedemit kayak dia.

"DUH! YA UDAH IYA MAAP! MAAP! TAPI GUE KAN LAGI TIDUR, KALAU GUE MATI DI DALEM GIMANA?"

"Kuburan tinggal 1 kilo dari sini. I'll make sure Pak RT will help you going back to that earth."

Sialan.

Ternyata ini fogging DBD. Di bulan-bulan seperti ini memang lagi musim demam berdarah, jadi gak heran kalau orang yang pernah hampir menyiram mobil gue dengan Listerin karena gak tahan melihat debu yang belum gue bersihkan itu datang-datang main semprot aja begini.

"Minggu depan jadwalnya semprot disinfektan," ujarnya datar sambil menaruh kopernya ke kamar dan membawa iPad ke dapur. Ini bau-baunya mau siapin sarapan -bagus, gue jadi bisa numpang makan.

"Padet amat sih jadwal semprotan. Udah ngalahin tur band."

"This house is gross," dia mengambil kacamatanya yang bulat -yang sebenernya jarang banget dia pakai, tanpa melihat ke arah gue. "You are gross."

"Songong lo!" gue tiduran di atas sofa dengan sebelah kaki naik, tangan berusaha mencari remot televisi, dan gak berniat sama sekali mengeluarkan rokok gue karena itu kemoceng sakti bisa menimpuk kepala gue lagi kalau sampai dia nyium bau asap rokok abis fogging begini. "Gue kan jarang balik ke sini. Udah full di Jakarta juga masih lebih banyak di studio."

"Mbak Sumi?"

Keren ye nama mbak gue, kayak nama orang Jepang.

"Kan semenjak kita tinggal, dia nikah lagi. Dapet brondong tuh dia seumuran kita," gue meracau sambil memutar Indosiar. Judul FTV Hidayah sekarang begini semua apa sih? Ajal Menjemput Mantan Suamiku Yang Selingkuh Dengan Tetangga Ujung Gang.

Spesifik bener. Gak usah nonton sampai abis juga gue tau tuh isi ceritanya gimana.

"Untung selama kerja di sini dia gak naksir gue. Repot kan kalau gue dikawinin Mbak Sumi. Anaknya 12 coy. Udah kayak isi pensil warna."

Karena yang gue ajak ngomong udah sibuk sama iPad dengan background suara "Teng teng teng, teng teng teng," ala Bu Sisca, gue tinggal menunggu aja hari ini dia masak apa.

Dion Bramansa Limiardi tuh cuma luarnya aja kayak Mario Teguh lagi bawa acara The Golden Ways yang setiap kali selalu kelihatan serius, mikir, pinter, diligent dan punya sopan santun serta akhlak ala anak pesantren yang cuma ngomong jorok kalau dimintain duit.

Padahal aslinya, dia cuma seonggok cowok yang setiap hari selalu nonton series Netflix sambil ngunyah Lay's rasa Sour Cream. Kalau laper, dia pasti selalu menjadikan video Bu Sisca atau Master Chef Indonesia sebagai referensi.

Udah tinggi nih ekspektasi gue.

Setahun lalu, terakhir kali kita ketemu sih dia masak Salmon Risotto enak banget. Jadi minimal kalau gak Pasta, dia pasti bikin masakan Indonesia yang enak.

"Bikin apa lo?" kucuk-kucuk jalan ke dapur, cengiran gue langsung buyar.

"Telor ceplok."

"Ya anjir."

Ini mah gue bikin sambil rebahan juga bisa.

Malah mukanya serius banget kali. Bikin telor ceplok aja belagak kayak cheff hotel lu, gaya amat.

"Lo kok balik? Emang udah libur?" gue bersandar pada meja sambil mengunyah kacang. Sejak kapan juga ada ini kacang di meja?

"Belum. Gue di sini cuma seminggu," ujarnya sambil terlihat kesal melihat kuning telornya gak bulat sempurna.

Kening gue berkerut, "Lah, terus lo ngapain balik? Gue baru inget. Ini kan belum summer break."

"Ya balik saja," dia langsung berbalik menatap gue. "Gak boleh?"

"Ya... Galak amat lo. Kan gue cuma nanya."

Padahal ini baru satu tahun dia cabut ke London buat lanjutin S2-nya. Sesuai jadwal, dia baru selesai awal tahun depan, dan dia memang udah bertekad untuk gak pulang meskipun ada hujan-badai sebelum dua tahun itu kelar karena dia mau fokus. Jelas lah gue heran tiba-tiba dia muncul hari ini sama tukang fogging pula.

"Sudah gak usah banyak tanya," dia meletakkan piring berisi telor ceplok itu di sebelah gue. "Makan."

Gue pikir Dion akan lanjut membuat telor ceplok lain untuk dirinya sendiri, tapi ternyata dia malah melengos ke kamar karena terlalu capek setelah melalui 12 jam flight London-Jakarta.

Dan gak perlu dia menjawab apa alasannya ke mari, hape gue seolah memberikan jawabannya lebih dulu.

Today.

27 March 2018.

Alisandra's Birthday.

**

RUMI

"Ayo dong, Rum!! Happy dikit! Besok kan lo ulang tahun, masa muka lo masih asem begitu sih kayak gak ada tenaga."

Sampai detik ini, gue selalu ngerasa Meta punya amandel 4 di tenggorokannya saking punya suara sekenceng ini. Belum lagi kalau lagi mengguncang-guncang tubuh orang, rasanya persis kayak diguncang kehidupan. Kenceng bener. Padahal badannya sedikit lebih kecil dibanding gue.

"Sel! Lo hibur Rumi dong! Jangan cuma diem aja!"

"Ah, percuma. Orang yang ditinggal nikah tiba-tiba begini mah baru sembuhnya entar.. Kalo udah jadi perawan tua."

BUK!

"ADUH!"

"CONGOR LO TUH DIJAGA!" gue kok yang mukul. Enak aja nyumpahin gue jadi perawan tua. Bisa-bisa gue langsung stress karena tinggal sendiri sampai bikin rumah gue terbang pakai balon kayak opa-opa yang di film Up.

"Tau! Sampah mulut lo! Ngaca woy. Cewek aja gak punya lo. Boro-boro cewe. Dicolek aja lo pake jari telunjuk gak pernah!" kalau Meta udah bersabda begini biasanya panjang.

"Weh, lo juga ngaca lah. Lupa tuh kemarin cowok lo jalan sama cewek lain."

"MANTAN. UDAH BUKAN COWOK LAGI."

"YA TETEP AJA."

"Duh, mampus gue," gue langsung menutup wajah gue dengan bantal. Syukurnya hari ini gue gak perlu ke kampus atau ke tempat magang. Kampus memang gak ada kelas, sedangkan abang-abang di Pengantara lagi sibuk riset dan pergi ke Bali. Jadilah gue main ke rumah Marsel yang sungguh enak untuk kaum rebahan seperti gue.

"Eh iya, Ravel sama Mara jadinya gimana kemarin?" setelah perdebatan panjang ala ILC, akhirnya Marsel masuk ke topik lain yang lebih berfaedah.

"Ya gitu. Mereka balik bareng sih... Terus Mara nginep di rumahnya Ravel."

"Lah, terus lo gimana kemarin? Balik sendiri?"

"Gak kok. Sama temennya Ravel."

"Hah? Temennya Ravel yang mana?"

"Temen bandnya... Namanya....," hah, mampus. Siapa namanya ya? Kok gue lupa? "Ya Allah, lupa lagi gue. Padahal ganteng banget," gue langsung menepuk jidat. Panik karena kebiasaan buruk gue.

Sok banget punya temen banyak sampe inget nama orang aja susah banget. Padahal temen cuma segini-segini aja dari orok.

"Ganteng? Yang mana sih? Gue selama ini cuma tau temen bandnya Ravel yang pake kacamata bulet kayak profesor itu," mulutnya Marsel emang suka sembarangan.

"Oh, yang punya band kali. Composernya!"

"Nah, lo inget gak namanya?" gue kira akan dapat pencerahan pas Meta ngomong gitu.

"Mana gue kenal. Gue kan cuma tau mukanya doang," Meta mengangkat kedua bahunya membuat gue kecewa. "Emang ganteng?"

Gue mengangguk sambil bengong menatap langit-langit.

"Ganteng... Tinggi banget... Gayanya gak kayak cowok-cowok metroseksual gitu yang bikin bulu kuduk gue berdiri.. Beneran kayak cowok ganteng di bayangan gue deh.. Aduh, malah suaranya bagus," kayaknya gue butuh Paramex.

"Nah, daripada lo ulang tahun stres begini mikirin Reyhan, mending lo minta Ravel kenalin sama dia aja," kadang Marsel ini rekomendasinya suka ngadi-ngadi deh.

"Duh, realistis dikit kek lo," gue langsung bangun dengan rambut acak-acakan karena kelamaan tiduran dari pagi. "Yang pas-pasan kayak Reyhan aja masih ninggalin gue.. Apalagi yang modelnya begitu?"

Gue gak tau ini mindset datangnya dari mana -entah karena gue kebanyakan baca novel (padahal gue cuma baca komik), atau karena gue kebanyakan nonton film yang kebanyakan gak pernah seindah "To All The Boys I've Loved Before"

"Nih ya gue yakin seratus persen.. Pilihannya cuma dua.. Kalau gak dia udah punya cewek, pasti dia jomblo yang kebanyakan list PDKT. Dan kalaupun dia masuk ke dua-duanya, dia gak akan mungkin juga mau kenalan sama cewek jarang mandi kayak gue."

Gila, level insecurity gue memang lumayan memprihatinkan. Cuma masalahnya, gue selalu kebanyakan ngarep sampai akhirnya sakit hati mulu gitu. Jadi paling enggak, gue mau jadi sedikit lebih waras dan berhenti muluk-muluk.

"Gue juga ganteng, tapi gak pernah mainan cewek."

Gue sama Meta langsung lihat-lihatan, gak tau mau komen apa. Entar kalau kita komen, Marsel bisa sakit hati.

"Ya... Iya, iya," gue cuma mengangguk-angguk pasrah sambil tiduran lagi.

Drrrt.. Drrrrt.

Mata gue melirik hape gue yang berdering buat menyambut tulisan Ravel is calling....

"Nah kan, calon-calon lo jadi curhatan orang lagi menjelang ulang tahun."

Ya mau gimana lagi. Gue cuma bisa tarik napas sambil memprediksi apa yang akan dia ceritain ke gue setelah ini.

"Ha?"

"Keluar.. Temenin gue makan."

Karena kalau Ravel minta temenin makan di saat-saat kayak gini, tandanya dia lagi berniat untuk tanya pendapat gue.

Buat bertahan,

Atau pergi sekalian.

**

RAVEL

Gue gak pernah suka lihat rumah yang berantakan.

Bukan berarti gue orang yang rapi dan gila bersih. Gue selalu ngerasa diri gue ada di titik rata-rata aja. Tapi dengan sendirinya, setiap lihat kamar gue berantakan tanpa di sengaja, gue gak akan pernah bisa tinggal diam lama dan langsung bergerak untuk beresin mereka satu per satu. Sampai ke rumah orang lain begitu. Tiap bertamu ke rumahnya Marsel dan lihat ada minuman dan bungkus cemilan di meja, tangan gue dengan sendirinya mengambil mereka dan membuangnya ke tempat sampah. Gue juga sering balikin barang-barang printilan Rumi yang gak jelas bertaburan di kamar kost-nya setiap kali gue mampir ke sana sekalipun dia selalu bawel dan berkata, "Duh, barang gue jangan dipindahin! Entar gue bingung nyarinya!"

Dan dengan begitu,

Gue juga gak pernah suka dengan pikiran orang lain yang berantakan.

Krrrk, Krrrk, Krrrk,

Yang paling menyenangkan dari makan Tempura adalah suara kriuk tepung rotinya. Gue juga termasuk orang yang suka banget makan daging, makanya gak heran setiap minggu gue harus mampir ke Waki untuk makan.

"Lo gak makan, Vel dari pagi?"

Kunyahan gue berhenti waktu sadar kalau cewek di hadapan gue cuma nopang dagu sambil menatap gue bingung.

"Hmm.."

Terus dia geleng kepala, "Pantes lo makan kayak orang ngamuk gini," matanya terarah pada 5 piring besar daging Teriyaki dan 2 porsi Tempura yang hampir gue abisin. "Gue rasa lo bisa jadi Youtuber, Vel. Bawa acara Mukbang."

Padahal gue gak suka diajak bicara pas makan. Gue juga gak suka ngomong sambil makan.

Ganggu.

Dan gak bagus buat pencernaan juga.

"Bawel..," tapi gue gak tahan untuk mengajaknya bicara. "Gue kan selalu bilang gak suka diajak ngobrol pas makan."

"Dih, siapa yang ngajak lo ngobrol. Orang gue cuma ngomong sendiri," dan dia mengambil Tempura terakhir gue dengan sumpit. "Tapi kadang lo emang mesti diajak ngomong terus....."

Gue diam melihatnya bicara sambil ngunyah.

"Biar lo juga ikutan ngomong."

Sekarang makanan gue udah abis, dan gue gak bisa makan lagi.

"Jadi kemarin sama Mara gimana?" dan gue gak punya pilihan lain selain jawab pertanyaannya. "Udah baikan?"

"Aku selalu mikir apa maksud kamu buat gak pernah balik ke aku setiap kali aku minta putus.. Dan pikiran aku selalu bilang, kalau kamu memang dari awal gak pernah mau perjuangin aku, Vel."

Asmara gak akan pernah membiarkan gue tidur walaupun gue mabok. Pikirannya selalu berantakan. Kadang ke sana, kadang ke sini, dan dia harus menyelesaikannya di saat yang sama tanpa pernah kasih jeda, sampai semua jalan keluarnya pun ikut berantakan.

"Kamu yang paling tau kondisi aku gimana... Tapi kamu juga yang bikin aku mikir kalau aku tuh gak pantes dapet semua perhatian kamu, Vel. Kamu selalu gampangin perasaan aku."

"Vel?"

"Mara terlalu rumit buat gue."

Asmara tumbuh untuk membesarkan sesuatu yang kecil. Dia terbiasa mendramatisir sebuah teater sekolah dasar.

"Dan lo tau kenapa dia serumit itu."

Sedangkan Rumi selalu sederhana.

Terlalu sederhana sampai gue kesal.

Karena dia terbiasa menggampangkan sesuatu yang sulit. Lupain sesuatu yang harus selalu dia inget.

"Sebelum kenal lo, Mara itu gak bisa seharipun gak main ke luar rumah. Dia harus selalu ketemu gue, Marsel atau Meta. Tapi semenjak ada lo... Mara jadi mandiri banget. Mara ngerasa bisa bersandar sepenuhnya ke lo dan itu tandanya lo paham sama semua kerumitan dia, Vel... Tanpa lo sadarin."

"Kalau gue bisa paham Mara, terus siapa yang bisa paham gue?"

Karena gue juga sama rumitnya dengan dia.

Dan bahkan dengan keadaan gue yang serumit ini,

Gue gak pernah minta dia untuk memahami gue.

I try to understand myself better than anyone else.

"Why should I fight for others, when I had stopped fighting for myself long way before?"

Lalu gue sadar kenapa dari sekian banyak orang, gue selalu ingin memintanya nemenin gue makan.

Meskipun dia bawel.

Meskipun dia selalu membuat gue bicara disela waktu makan gue.

Meskipun dia selalu mengambil porsi makanan gue yang terakhir.

"Because she is worth to fight for.."

Karena Rumi selalu bisa menjawab semua pertanyaan gue.

"That's why you should fight for her."

Karena dia yang merapikan pikiran gue yang berantakan dan menaruhnya ke tempat semula.

**

RUMI

Setiap pulang dari Waki, biasanya Ravel selalu mampir ke daerah sekitar Gereja Theresia untuk membeli kue cubit yang masih ada sampai tengah malam.

Tapi malam itu langkah gue terhenti pada sebuah gerobak berwarna putih bertuliskan "Cheese cake Gerobak. Asli Suropati."

"Vel..," gue mencolek Ravel yang saat itu sedang memesan kue cubit setengah mateng ke sukaannya.

"Kenapa?"

"Tuh," gue menunjuk gerobak cheese cake itu dengan dagu, dan kayaknya Ravel gak paham. "Temen band lo yang waktu itu nganterin gue pulang..," sampai sekarang gue masih nyesel karena lupa namanya. Raden, Dani, Danu, Dadang, Dadan, siapa sih?

Gue gak menyadari perubahan ekspresi Ravel saat itu.

"Entar kalau ketemu kasih tau sama dia... Tukang cheese cake yang dia cari-cari di Suropati ada di sini."

Lama.

Gue gak tau kapan Ravel akan merespon ucapan gue. Atau malah dia gak dengar karena terlalu sibuk dan excited menunggu kue cubitnya jadi.

"Lo aja yang kasih tau sendiri."

**

Yang gue ingat malam itu tanggal 27 Maret 2018 jam 23.50.

10 menit lagi masuk ke tanggal 28 Maret dan umur gue akan genap berusia 21 tahun.

Dan telepon gue berdering.

Bukan Marsel. Bukan Meta. Bukan Mara.

Bukan juga Ravel.

+6282111271192 is calling....

Tunggu, gue gak lagi pesan Grab Food kan? Gue juga gak ngerasa lagi belanja di Shopee belum lama ini, jadi gak mungkin mas-mas Sicepat.

"Halo?"

"Halo.."

Suaranya terdengar sedikit berbeda di telepon, namun gue cukup mengenalinya hingga sempat diam dan berhenti berjelan tepat di depan pagar kost gue.

"Ini siapa ya?" cuma ingin memastikan.

"Ardan."

Oh iya,

Sekarang gue ingat namanya.

**

ARDAN


Audrio Ravel: sends you contact.

Audrio Ravel : 911.














❀❀❀❀

Catatan Valerie

Selamat hari Sabtu, semuanya.

Gimana kabar kalian? Semoga selalu sehat dan merasa lebih baik dari hari kemarin ya.

Jangan lupa kasih spasi sama diri sendiri. Semua yang terlalu penuh itu cuma bikin sesak, jadi meskipun itu cuma pilah yang kecil, jangan lupa untuk selalu sisakan spasi itu untuk diri kalian sendiri.

Semoga suka dengan chapter ini.

Jangan lupa vote dan komen juga ya1

Seguir leyendo

También te gustarán

1K 177 14
Benci dan cinta, seberapa tipis batasnya? #epistolary #beforeloveseries2 GRAND ATHLETE UNIVERSITY (GAU) Start : 1 Desember 2023 End : ==============...
345 59 20
Kaianna Putri Adhisti sama seperti mahasiswa akhir lainnya yang dipusingi oleh perkara skripsi yang tidak ada habisnya. Namun di sela-sela kesibukann...
11.2K 1.5K 24
Karena, setiap remaja, memiliki setiap rona-nya masing-masing. Tentang masa lalu, tentang cita-cita, tentang keinginan, tentang harapan dan berharap...
428K 21K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...