Outcast [COMPLETED]

By itsmeRise

87.6K 8.8K 1.1K

#12 In Vampire [14-06-2018] "Candice. Can dalam Bahasa Inggris artinya Bisa. Dice dalam bahasa Yunani mempuny... More

[Satu] Rasanya asin
[Dua] Kamu siapa.
[Tiga] Punya Nama
[Empat] Aku hidup, Kamu hidup
[Lima] Can, Please
[Enam] Yang Berharga
Introduce
[Delapan] You, Can or Me, Can?
[Sembilan] Debaran Jantung
[Sepuluh] Menjadi Pertanyaan.
[Sebelas] Delete
[Dua Belas] ENDING ~MONICA
Epilog [Bonus Part]

[tujuh] Pertemuan Tak Terduga

4.4K 588 56
By itsmeRise

Selain mempunyai cita-cita sebagai pembalap, Brayn juga pernah mempunyai mimpi sebagai seorang koki. Dari umur delapan tahun ia suka melihat Syanes memasak. Meski tidak pernah sekolah khusus memasak, rasa masakan Brayn cukup di perhitungkan. Hanya saja butuh mood yang bagus untuk menyuruhnya memasak.

Brayn suka mengapresiasikan sesuatu pada suatu masakan jika sedang bahagia. Jika ia kalut, Brayn selalu melampiaskannya pada mobil.

Karena tidak ada masakan siap saji atau delivery seperti yang biasa ia lakukan jika berada di kota. Disini, mau tidak mau Brayn harus masak setiap hari, jika tidak ia tidak akan bisa makan. Penjual masakan matang memang ada, namun jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Terlebih Brayn punya perkebunan kecil di belakang rumah, mau apa tinggal petik.

Pagi ini Brayn berencana memasak cah kangkung. Bangun tidur sebelum mandi ia langsung memetik kangkung. Menyiapkan semua bumbu sebagai penyedap, namun sebenarnya bukan itu yang membuat makanan enak. Syanes selalu berkata, bumbu paling ampuh di dalam makanan itu adalah kasih sayang dan cinta. Dan Brayn selalu menggunakan rasa itu di kehidupan sehari-hari.

"Lauknya apa, ya," Bryan menggaruk ujung alisnya. Membiarkan sayur kangkung di dalam wajan agar sedikit lembut. Ia berbalik, membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa ia goreng.

"Ah, gue lupa gak belaja karna mau pergi," Brayn menutup pintu kulkas. Membereskan barang yang berserakan karena ulah Candice yang bermain bersama Zoey.

"Can!?" Brayn meletakkan dua buah bantal ke sofa. "Can jangan di berantakin kamarnya!"

Brayn kembali menuju dapur. Mengaduk sayur di wajan sekali lagi sebelum mematikan kompor.

"Zoey," Brayn menoleh, melihat Candice yang mengejar Zoey melewati pintu belakang. Pemandangan seperti itu sudah sangat biasa bagi Brayn namun kali ini berbeda. Sendok yang ia pegang jatuh ke lantai begitu saja.

Brayn terteguh. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah tidak percaya menatap Candice  yang berdiri di luar menggendong Zoey. Keduanya saling beradu pandang sebelum akhirnya Zoey terlepas dari pelukan Candice dan berlari menjauh.

Candice menggerakkan bola matanya. Ia menunduk, menatap Brayn lalu menatap tubuhnya sebelum menatap benda bulat di angkasa yang di penuhi cahaya, matanya menyipit seketika.

"Can?" Panggil Brayn pelan. Ia berjalan mendekati Candice, membingkai wajah perempuan itu. "Oh God," ujarnya tidak percaya.

Brayn memeriksa tubuh perempuan itu yang biasanya menjerit jika terkena sinar ultraviolet. Kali ini Candice berdiri seperti patung.

"Mungkin ini faktor aku minum darah kamu satu bulan ini," Brayn mengangguk. Candice mengedipkan matanya dua kali. Mendongak menatap Brayn yang tersenyum dengan mata berbinar. "Kamu bahagia?"

"Iyalah,"

"Kenapa?"

"Karena darah aku gak percuma dong," Brayn melepas apron di tubuhnya. Mengambil dua pancing di lemari atas dan satu ember di kamar mandi. "Emang kamu gak mau jadi manusia? setidaknya kebiasaan manusia bisa kamu lakukan,"

"Nggak," jawabnya polos mengikuti Brayn dari belakang.

"Kenapa?"

"Kalau aku sudah terbiasa dengan semua kebiasaan itu, Aku akan melihat orang-orang yang aku kenal tinggalin aku satu persatu." Brayn berbalik. "Kematian. Aku akan abadi nantinya,"

"Kok lucu, sih," Brayn terkekeh geli, mencubit pipi Candice gemas. "kematian di tangan tuhan, sayang. Bukannya bagus kalau kamu abadi? Nanti waktu aku reinkarnasi, kamu bisa kenalin aku duluan." Candice menatap teduh. "Kita mancing, mau?"

Brayn memutuskan untuk mencari ikan. Mungkin satu atau dua bisa menjadi lauk makan. Mencari cacing di pinggiran danau untuk dijadikan umpan.

Mengajari Candice cara melempar umpan ke tengah danau. Keduanya duduk di kursi lipat selagi menunggu umpan mereka di makan ikan.

"Kenapa?" Tanya Brayn saat sadar Candice terus menatapnya.

"Sebenernya aku udah lama mau bilang sama kamu." Candice memberi jeda sebentar. "Aku udah bisa ngerasain kantuk. Aku bisa tidur beberapa malam ini,"

"Serius?" Candice mengangguk. "Terus? Apa lagi?"

"Udah, itu aja."

"Rasa berdebar kalau dekat lawan jenis?"  Candice menggaruk telinganya. "Kamu pernah malu nggak dekat sama aku?" Brayn menyipitkan matanya. "Kayaknya nggak, aku mandiin aja kamu gak punya rasa malu," jawabnya sendiri. "Can?"

"Em?"

"Yang boleh sentuh kamu hanya aku. Ingat itu. Kalau ada lelaki yang mau sentuh kamu, kamu harus lari,"

"Kenapa?"

"Mereka jahat,"

Candice mengangguk. Perhatiannya langsung beralih pada sesuatu yang bergerak di bawah kakinya. "Pancingnya gerak,"

"Tarik sayang, Jangan di ulur, nggak enak di phpin,"

"Hah?"

"Itunya di putar," Tunjuk Brayn. Candice mengikuti instruksi. Karena terlalu berat, Candice sampai berdiri dan menarik sekeras tenaga. Candice tidak pernah mengeluarkan tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan.

Semakin ia tarik, semakin sakit seluruh tubuhnya. Candice meringis namun tidak bisa melepaskan pancing itu. Bibirnya bergetar dengan ketakutan yang menyelimuti tubuhnya, Candice menatap danau yang begitu tenang. Ia menggeleng kuat dengan perasaan takut. Bukan dirinya yang menarik, tapi Candice yang di tarik hingga tubuhnya jatuh ke air.

"Can! Akh," Brayn yang berdiri langsung terjatuh. Ia meringis kesakitan memukul dadanya. Brayn tidak bisa bernapas, entah apa yang menghalanginya namun Brayn tidak bisa menghirup oksigen.

Wajahnya seolah tercekik. Ia menatap danau, terjadi sesuatu di dalam air. Teriakan Candice dengan air yang berhamburan ke udara. Brayn berteriak namun tidak bisa. Ia kesal.

Langit yang tadinya cerah dan berawan berubah gelap seketika. Brayn melihat perubahan itu dengan matanya sendiri, ia menatap langit, gumpalan awan hitam di atas sana seolah sedang mengamatinya.

"Can," Brayn berusaha bangkit, wajahnya merah dengan mata berkaca-kaca. Begitu bibir itu berteriak, Brayn merasakan tubuhnya di cabik. "Jangan teriak, Can," ujarnya memohon dengan pelan.

Brayn terjatuh lagi. Ia menutup telinganya yang ingin pecah karena teriakan Candice. Hujan yang turun secara tiba-tiba, angin kencang dan daun yang bertaburan. Pohon-pohon bergerak tidak karuan seakan di gerakan oleh seseorang. Brayn menggeleng kuat.

"Sesuatu terjadi pada manusia. Takdir. Jika memang berbeda dari semua manusia lainnya. Kenapa? Setidaknya beri satu alasan. Haruskah? Aku ingin jawaban itu sekarang! Aku ingin tanya kenapa harus aku! Aku yang memilih? Ya! Tapi aku tidak meminta! Jika memang dia, tolong aku.. tolong aku untuk bisa menolongnya.."

Suara petir menggema seketika. Kilatan seperti flash kamera terlihat jelas. Ngaungan hewan tertangkap telinga. Brayn merasa semakin tercekik. Hantaman air danau yang begitu keras mengakhiri semua rasa sakitnya.

Brayn kehilangan kesadaran. Ia tergeletak begitu saja. Keadaan semakin memburuk, alam mengaung semakin menjadi. Teriakan yang keras dan lantang bagaikan badai besar menerjang.

"JANGAN SENTUH DIA!" Candice keluar dari air dan melesat menghampiri Brayn. Nafasnya terengah, matanya menjadi biru terang dengan keadaan yang basah. Candice menggeram.

"Aku bercanda, kenapa semarah itu?" Ujar perempuan itu mengambil dua langkah kebelakang. "He is very handsome," gumamnya.

"Kita tidak ada urusan lagi. Kamu memberitahunya?"

"Em, karna dia merindukanmu. Kembalilah, dia akan menjadikanmu seorang ratu. Vampire yang kuat dan tak terkalahkan. Dia memilihmu, bukan aku. Kamu beruntung,"

"Tidak. Aku ingin kehidupanku yang sebelumnya. Aku ingin menjadi manusia lagi," Candice menatap Brayn. "Aku sudah menemukan jalannya, Dia bisa membuatku kembali menjadi normal."

"Apa dia rela mati demi kamu?"

"A-apa?" tanya Candice serak dengan kening berkerut.

**
***
**

Brayn mengeluh sakit di sekujur tubuhnya. Kedua bola mata yang terpejam dari dua jam yang lalu akhirnya bergerak. Ringisan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar.

Begitu kesadarannya kembali. Brayn membuka matanya cepat dan terduduk dengan serangan panik. Ia menatap sekitar sampai objek yang dicarinya itu di temukan. Candice sedang duduk di lantai memeluk kedua kakinya. Tubuhnya bersandar pada tembok.

"Can?" Brayn langsung turun dari sofa dan menghampiri Candice dengan khawatir. Ia membingkai wajah pucat itu. Menelitinya jika saja ada yang hilang. "Kamu baik?" Candice mengangguk. Melihat itu, Brayn menghembuskan nafasnya lega dan menarik Candice kedalam pelukannya, mengusap kepalanya. "Terima kasih,"

Candice terdiam. Kedua tangannya terangkat perlahan dan melingkar sempurna di pinggang Brayn. Menyembunyikan wajahnya di dada lelaki itu.

"Hidup itu pilihan. Dia yang akan mati atau kamu yang pergi. Kamu bisa jadi manusia, lelaki ini adalah sebuah jalan untuk kamu menuju ke sana," Candice memejamkan kedua matanya. "Semakin kamu minum darahnya, perlahan, kehidupan kamu kembali. Dan jangan lupakan, perlahan tubuh lelaki ini akan mati."

"Berapa lama?"

"Tergantung seberapa banyak kamu minum darahnya. Itu menyiksa, kamu akan menyaksikan kematiannya atau dia yang akan menyaksikan kematianmu."

Percakapan itu terus berputar di kepala Candice. Sebuah perasaan aneh dan takut. Begitu melihat lelaki itu hampir saja mati karenanya. Sering atau bahkan nyaris beberapa kali.

Seharusnya Candice tidak perlu memikirkan semua itu. Seharusnya ia tahu apa yang akan terjadi jika meminum darah Brayn. Candice hanya butuh waktu, diberi kesempatan untuk hidup lebih lama sebelum memilih kematiannya. Itu yang ia pikirkan di awal pertemuannya dengan Brayn.

Namun berjalannya waktu semua berubah. Gejolak aneh yang menghantui dirinya. Terselip keinginan menjadi manusia untuk terus disisi lelaki itu. Harapan itu lenyap. Hilang bersama angan-angan dan perasaan yang timbul entah dari mana.

Kenyamanan, kedamaian dan rasa tulus meluluhkan hatinya. Sebuah pelukan yang tidak bisa Candice lepaskan.

Sekarang siapa yang patut disalahkan? Masa lalu? Takdir? Atau dirinya sendiri.

Candice memejamkan kedua matanya. Meremas baju belakang yang Brayn kenakan dengan tangan bergetar. Ia takut. Takut jika waktu itu datang. Kematian.

"Apa tadi itu, Can?" Candice menggeleng. "Dia sakitin kamu?" Brayn melepaskan pelukannya. Meraih bahu Candice, menatap wajah pucat perempuan itu. "Kenapa aku merasakan sakit juga?"

"Maaf,"

"Can?"

"Aku gak tau," Candice menunduk. "Maafin aku,"

Brayn menghembuskan napasnya. Ia berdiri lalu mengulurkan tangannya. "Ayo, kita gak punya waktu untuk sebuah drama horor,"

Tanpa berpikir lama, Candice langsung meraih tangan itu. Brayn tidak ingin memikirkan atau menanyakan lebih dalam soal kejadian yang menimpanya. Apapun yang terjadi, semua telah di atur. Termasuk kematian.

Usai menata koper miliknya di bagasi mobil. Brayn menghembuskan napasnya, ia menatap sekeliling rumah sekali lagi sebelum masuk ke mobil. Rencananya ia akan pulang ke kota sore nanti. Namun sepertinya Brayn harus cepat pergi dari rumah itu, secepatnya.

Brayn mendapatkan libur dua minggu sebelum ujian akhir. Selanjutnya, Brayn akan menentukan pilihannya sendiri. Rumah sakit mana yang akan menjadi tempatnya bekerja.

"Hallo?" Candice menoleh, melihat Brayn menelpon seseorang dan mengemudikan mobil dengan satu tangan.

"Apa?"

"Lo bilang pindah apartemen? Yang lama lo jual?"

"Nggak, kenapa?"

"Gue isi, ya? Males pulang ke rumah." Migel berdecak pelan. "Pelit kuburan lo sempit,"

"Tanah kuburan gue luas."

"Iya kanjeng. Kuburan lo nantinya kan buat istana, ada club sama cabe-cabean busuk dalemnya."

"Emang magang lo udah selesai? Atau lo di pecat?"

"Eek gue mau?" Brayn tertawa kecil mendengar Migel mengumpat kasar. "Lo di mana, cung? Kalau gue sampai, gue langsung kasih tahu lo,"

"Emang gue kacung lo, bangsat,"

"Ngomong kotor terus, mulut di sikat dulu."

"Penjara aja, jeruji besi kangen sama lo. Nyempitin kota dasar sampah masyarakat."

"Lo sampah daur ulang."

"Homo lama-lama gue telponan sama lo,"

"Yang pernah naena sama cowok kan lo. Homo lo! Najis! Mulut lo suruh mandi wajib!"

Brayn menutup sambungan telpon sambil terkikik geli. Sebenarnya Bryan tidak terlalu sering menghubungi Migel. Akan selalu berakhir dengan umpatan atau dengan obrolan yang menjurus kepada sistem bertemunya ovum dan sperma. Otak Brayn akan di cuci habis oleh Migel.

"Kita mau ke mana?" Brayn menoleh sebentar.

"Magang aku udah selesai di sana, aku ada persiapan ujian akhir. Sementara tinggal di tempat aku dulu, nanti kita balik lagi ke sana."

"Kamu gak mau tanya soal kejadian itu?"

"Nggak. Ribet. Hidup aku udah ribet, jangan tambah jadi lebih ribet." Candice mengangguk. "Yang penting kamu gak papa,"

"Kamu takut aku terluka?"

"Iya. Kalau kamu terluka yang buat luka di hati aku siapa?" Candice mengerutkan keningnya. "Receh ya? Ketawa dong, serius mulu,"

"Kenapa aku harus ketawa?"

"Karena lucu,"

"Apa yang lucu?"

"Nih, jam tangan aku yang lucu," Jawab Brayn memutar bola matanya malas. "Untung gue ganteng," Brayn mengelus dadanya.

Selama perjalanan, Brayn tidak banyak berbicara. Karena Candice memilih tidur, dan ini pertama kalinya Brayn melihat perempuan itu menutup kedua matanya. Tidak ingin mengusik ataupun menganggu, Brayn mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati. Sebisa mungkin menghindari lubang di jalan.

Tepat pukul lima sore ia tiba di kota. Menepikan mobilnya di sebuah jalanan dengan sebuah gedung perusahaan yang menjulang ke langit. Brayn bersandar di depan mobil. Menunggu seseorang. 

Tidak lama kemudian, seorang lelaki menghampirinya, melemparkan sebuah benda yang langsung ditangkap oleh Brayn.

"Satu hari lima ratus ribu,"

"Berarti gue harus muntah lima kali sehari, muntah gue lembaran merah soalnya,"

Migel berbalik pergi meninggalkan Brayn begitu saja. Terlalu malas menanggapi kalimat Brayn.

Jika Brayn pulang kerumah dengan membawa seorang perempuan, akan menjadi bomerang yang maha dahsyat. Maka dari itu ia memutuskan untuk tinggal di apartemen Migel.

"Suka?" Tanya Brayn meletakan dua koper miliknya di atas meja. "Kita tinggal di sini,"

Candice menurunkan Zoey. Ia mulai meneliti apartemen. Membuka semua pintu yang ada di sana. "Kamarnya satu. Kamu bisa tidur di sana, Aku di sofa," Candice mendekati Brayn dan duduk di sebelah lelaki itu. "Gak masalah?"

"Iya,"

Brayn mengelus kepala Candice. "Aku mau pergi sebentar. Kamu mandi terus beresin semua baju, ya. Bisa kan?"

"Kemana?"

"Nggak lama, sejam atau dua jam." Candice mengangguk. Brayn langsung meraih kunci mobilnya dan memberikan lambaian tangan pada Candice.

Berjalan keluar menelusuri koridor apartemen. Brayn mengetik sebuah pesan untuk seseorang. Sampai ia tidak sadar dan menabrak seseorang, karena reflek motoriknya begitu cepat, Brayn langsung menahan lengan perempuan itu yang hampir saja mencium lantai.

Keduanya kaget dengan mulut terbuka. Saling beradu pandang sebentar sebelum Bryan membantu perempuan itu berdiri.

"Sory, gue gak sengaja. Buru-buru soalnya, lo gak papa 'kan?" Perempuan itu tidak lepas menatap sosok Brayn. "Kayaknya baik, gue duluannya. Di tunggu sama orang, maaf banget," ujarnya tulus.

Brayn langsung pamit. Namun kakinya terhenti saat sebuah panggilan yang begitu manis melesat di telinganya.

"Kak Brayn?! Kak!" Brayn berbalik dengan kening berkerut. "Kak aku Kansa, adeknya Kak Manda!"

TBC
VOMENT!!

DTH 2 BAKAL AKU RILIS SETELAH OUTCAST! JANGAN KOMENTAR CERITA LAIN DI SINI YA SAY.. CUKUP KOMENTAR BAHAS CERITA INI AJA. OKE!?

Aku juga bilang kalau outcast gak sampe puluhan Bab. Aku buat ceritanya yang simple aja lah ya..

Tengkyu..

Continue Reading

You'll Also Like

60.3K 8K 29
"Aku gak kenal kamu kok kak." ucap Yeri. Entah rasa apa yang seharusnya dirasakan seorang Jeon Jungkook. Hatinya terbelah seakan ada bagian yang sena...
15K 3K 26
Kelanjutan dari kisah Christy bersama teman temannya didalam lingkup aliansi. setelah berhasil mendamaikan bangsa serigala dan juga bangsa vampir. Ch...
3.3M 300K 88
[Part lengkap] Ini semua berawal dari ban bus yang bocor pagi itu~ P.s terima kasih untuk pembaca yang sudah meninggalkan komentar di cerita ini. Kal...
340K 35.2K 30
Aku tak pernah percaya akan apa itu 'keajaiban'. Hingga keajaiban itu benar-benar datang dan membuktikan padaku bahwa ia memang benar adanya. Aku me...