Unboxing of Feeling #ODOCTheW...

Da Aresreva

1K 208 142

Unboxing itu menyangkut ulasan yang dapat membuat kalian tahu mengenai produk tersebut tanpa harus membelinya... Altro

PRAKATA
Bab 1 - Meet The past
BAB I - Meet The Past
Bab II - My Ex, My Fifth Datuk Maringgi, and what the novel is it?
Bab III- Who is this person?
Bab IV - Berkelit atau bergelut dengan masa lalu?
Bab V - They were couple
Bab VI - Hold
Bab VII - Anger Around Sin Is Okay
Bab VIII- The first, The Middle, The last, You fight on your feeling.
Bab IX - Ini namanya langkah hidup
Bab X - Let me go
Bab XI - You've never changed, my bastard
Bab XII - Let me sent you in my life
Bab XIII -🚫 Are we in realationship??? 🚫
Bab XIV - Gelutan Kisahmu
Bab XV- Let me handle your life again
XVI- No Response
Bab XVII - I Make You Handle Our Feeling
Bab XVIII - Perkara Setinggi Komitmen
Bab XIX - Hardness Feeling
Bab XX - Jatuh Cinta Itu Khusus
XXI - This not me, you, but ours
XXII - I Let You To Get Your Happiness
Bab XXIII - Women's Spontaneous
XXIV - We are not complicated
XXV - Kilah Cinta
XXVI - I need your sign, My Bastard
Bab XXVII - Saksi Masa Depan
XXIX - Catch You, Marry You, I love You
XXX - Pembekalan Pranikah
Epilog

XXVIII - Best Fri (Until) End

25 4 0
Da Aresreva

If you can't take it, climb with your bestfriend.

Sejak dua jam yang lalu, dua sudut bibirku yang terangkat ke atas seakan tidak mengenal rasanya ngilu. Kedua mataku seolah tidak mengenal yang namanya penglihatan selain mengamati benda bulat yang melingkar di jemariku. Seakan-akan benda ini lebih menarik 99% perhatianku dari apapun di dunia ini.
Aku bahkan tidak memedulikan dua pramugari cantik ini mengucapkan selamat jalan kepada kami.

"Kamu nggak bosan lihat itu terus, Cha?" Agaz berseru setelah kami keluar dari bandara.

Aku menelengkan kepalaku kepadanya, menggeleng masih dengan antusiasme besar.

"Ini karena kamu cinta sama merk cincinnya atau karena aku?"

Aku mengerutkan keningku, menurunkan tanganku kembali ke sisi pinggang kiri dengan menatapnya. "Mau jujur, nggak?"

Agaz hanya mengedikkan bahunya.

"Kalau ngikutin logika cewek sih, ya aku lebih cinta sama merk cincin yang kamu beli ini." kelakarku dengan senyum menggodanya. "Tapi ya karena aku ngikutin logikanya Echa Revallina, aku lebih cinta yang ngasih."

Dia memutar kedua bola matanya, terlihat jengah dengan kelakarku.

"Harga cincin ini urusan kesekian. Kamu urusan terpenting." imbuhku meliriknya gemas.

Dia hanya menggeleng pasrah. Dia kemudian mengamit tanganku ketika keluar dari bandara menuju ke parkiran mobil. Aku membiarkan pria ini merangkul bahuku, membiarkan tubuhku didekap erat olehnya saat berjalan. Kadang saat kami berjalan di parkiran, yang untungnya jalanan terlihat lenggang, Agaz tidak hentinya mendaratkan kecupan di atas puncak kepalaku.

"Nanti aku anterin pulang ke rumah atau ke mana?" Agaz melepaskan dekapannya, membiarkanku melangkah ke sisi pintu penumpang.

Dari balik mobil, aku menjingkatkan kakiku. "Nggak. Aku mau pamer ke Anya dan Pak Bos." jelasku mengangkat tanganku tinggi-tinggi.

Agaz mengerutkan keningnya. "Jangan bikin orang ngiri, Sayang."

"No!" tampikku cepat. "Aku cuma mau bagiin my happiness ke mereka semua."

Agaz hanya diam, lalu masuk ke dalam mobil. Aku mengikutinya.

Agaz yang telah menyampirkan sabuk pengaman di tubuhnya, tiba-tiba berkata, "Emang bahagia banget, ya kamu?"

Aku memasang sabuk pengaman. "Agaz sayang, dilamar itu sudah jadi the biggest dream para perempuan di luar sana. Nggak perlu kayak dongeng-dongeng di atas sana, ngelihat pria berlutut di depan kita itu udah bikin we have been taking control of men!"

Pria di sampingku menggeleng. Dia terlihat tidak suka dengan asumsiku. Tanpa mengindahkan kalimatku tadi, tangannya telah mendorong persneling mobil, lalu menjalankan mobil keluar dari halaman bandara.

"Kenapa harus seperti itu?"

Aku menelengkan kepalaku. "Karena kalian itu rada predator kalau ngelihat kami. Jadi, gimana gitu, lihat predator sembah sujud ke umpan."

Agaz tergelak. "Nanti akhirnya kalian juga kita makan."

"Seengaknya kalian pernah sembah sujud ke kita. Itu udah bikin kita bahagia." timpalku dengan tersenyum menang.

Agaz kembali tergelak. Tangannya memutar setir ke kanan. Mobilnya berhenti ketika berada di jalan sempit, bergantian dengan mobil yang menyebrang ke arah kami. Setelah itu, dia menjalankan mobilnya, memasuki perumahan kontrakan Anya.

"Udah kabarin ke Ibu?" tanya Agaz setelah mobilnya terasa melambat.

Aku mengerutkan kening. "Buat ap-" Aku menepuk keningku kemudian, lalu berkata, "Lupa sayang. Gara-gara kamu kasih happinessnya kebanyakan."

Agaz kembali tergelak. "Kamu kok jadi suka gombal?"

Mobilnya telah berhenti di depan rumah Anya. Aku tersenyum lebar, menggodanya. "Yang buat aku kayak gini siapa?" Aku mencubit lesung pipi kirinya.

Tanganku langsung membuka pintu, bersiap untuk keluar. Namun, pria di sampingku menahan lenganku sebelum aku sempat menurunkan kakiku keluar mobil.

"You've forgetten something, Echa." ujar Agaz kalem.

Aku menarik sebelah alisku. "What?" Aku menoleh ke belakang kursi, lalu kembali meliriknya. "Kayaknya kita cuma semaleman deh di Surabaya. No koper, no baju, no-"

"Kissing." timpal Agaz tersenyum lebar.

Aku memutar kedua bola mataku begitu jengah dengan permintaannya. Aku mencondongkan wajahku ke arahnya, merengkuh rahangnya, lalu mengecupnya sekilas. Aku mengulas senyum, mengusap ujung bibirnya sebelum meninggalkan Agaz. Pria di depanku mengecup keningku, lalu membiarkanku keluar dari mobil.

Kakiku melangkah ke depan pagar bersamaan dengan suara bising klakson mobil Agaz yang berlalu meninggalkan kontrakan Anya. Aku langsung membuka pintu setelah mendorong pagar ke samping.

Perempuan dengan celana pendek di atas lutut dan kaos oblong ketat telah duduk santai di atas sofa dengan perhatian sepenuhnya ke ponsel. Langkah kakiku menarik perhatiannya dari ponsel ke arahku.

"Tumben loe ke sini?" tanya Anya begitu aku duduk di sampingnya.

Aku langsung memamerkan senyuman lebar kepadanya. Tanganku kiriku terangkat ke depannya. "Guees what, please." mintaku dengan nada merajuk.

Anya melirikku, kemudian melirik ke tanganku yang bergerak terus di depannya. "Agaz ngelamar loe?!" pekik Anya tertahan dengan ponsel telah terbuang dari tangannya, yang jatuh ke pangkuannya.

Aku memiringkan kepalaku, tersenyum lebar dengan kedua akis terangkat-angkat. "We have to celebrate my happines, Nya!"

"Kalau jam segini cuma daerah Jaksel clubbing buka, Echa sayang." timpal Anya lalu kembali menekan ponselnya.

"No. Just drinking without party." sanggahku cepat

"Ngebar?"

Aku mengangguk antusias. "Bertiga, ya? Kalau Pak Bos mau ajak istrinya ya nggak masalah."

Anya menjawabnya dengan anggukan, lalu kembali menekan layar ponselnya.

"Jadi, apa yang kita omongin dulu ngebuka pintu hati loe, ya, Cha?"

Aku mengerutkan keningku setelah kami memilih diam beberapa menit.

"Jangan sok nggak tahu lagi, ya, Cha, kalau loe lupa dulu pernah bilang Agaz itu makanan basi yang nggak layak dimakan." Anya tersenyum meledek.

Aku menggigit bibir bawahku, mencari alasan untuk membantu kekekianku sendiri. "Dulu, ya dulu. Sekarang, ya sekarang."

Anya tersenyum lebar. "Yang penting, Agaz udah berhasil buat lunturin penyakit keras kepala loe. That's more important, sweatheart."

Sudut bibirku terangkat. "Agaz itu udah lunturin semuanya. Semuanyaa."

Anya mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian, dia kembali tergelak saat mengetahui maksudku. "Itu kodrat mereka kali."

###

"Loe dilamar di kuburan, heh?!" pekiknya tertahan setelah menyesap sparkling wine, kemudian meletakkannya di meja bar.

Aku mengangguk kalem, kembali menyesap minumanku.

"Romantis darimana itu, ya?" ledek Anya, lalu meneguk winenya kembali. "For your information, ya, Echa. Seaneh-anehnya dilamar sama laki, nggak ada laki yang ngelamar wanitanya di kuburan. Yang ngelakuin itu, ada dua alasan. Pertama, takut ditolak, jadi pilihannya, dukun bertindak. Yang kedua, dia mau ngajak loe mati bareng!"

Aku masih tersenyum kalem mendengar ledekan Anya. Jemariku sejak tadi berada di bibir gelas, memainkannya sembari menikmati alunan musik klasik dari bar di Jakarta Selatan.

"Ya tuhan, loe jatuh cinta jadi bikin nggak waras!" geram Anya gemas dengan responsku.

"Anya, Sayang. Jatuh cinta itu emang warasnya cuma 10%, sensasinya 90%. Dan walaupun tempatnya nggak jelas, yang penting niatnya Agaz." jelasku kalem dengan memandang cincin di jemari manisku.

"Karena niat Agaz buat ngajak loe nikah, atau ngasih loe batu permata yang segede itu?" sindir Anya sebal dengan melirik jari manisku yang sejak tadi kugerakkan.

"Both of them lah. Gue perempuan yang masih pake logika, ya? Ngarep dapet cincin yang harganya segede gue beli rumah." jelasku dengan menyilangkan kaki di atas kursi.

"Kelen lama nunggunya?" Suara tinggi itu terdengar tiba-tiba di antara kami. Pria tambun dengan keringat di dahinya telah mengambil duduk di sampingku. Dia melepas jaket army yang sebesar badannya ke samping kursi kosong. "Ada berita apa kau? Awas kalau tak penting. Terus, jangan lupa kau urus itu freight forwarder barang klien. Tugas kau besok numpuk. Lembur!"

Kalau kayak gini, mending aku tidak mencetuskan ide untuk mengajak pria tambun ini. Tapi, ya, yang namanya kerja, dan tadi memang aku masuk hanya setengah hari, jadi mau nggak mau, tanggungan bakal numpuk di akhir.

"Pak Bos udah selesai perintahnya?"

Pria tambun ini mengangguk. "Jadi, kelen kenapa undang awak kemari?"

Aku tersenyum dengan mengangkat jemariku, menggerakan jari manisku di depan Pak Bos. "Guess what dong, Pak Bos?"

Tangan besar itu langsung menangkup jemariku, mengamatinya dari dekat, menyentuh cincin dan batu permatanya. Lalu memekik histeris sama seperti Anya tadi. "Awak nggak nyangka! Akhirnya kau mau making a love sama making a life bareng Agaz!"

Aku tersenyum. Beruntungnya juga, pekikan Pak Bos tenggelam dengan keramaian di dalam bar ini.

"Alamak tak sangka awak kau bisa beruntung. Sekali nggak jomlo langsung diajak kawin sama nikah, sama orang lumayan tenar lagi!"

Aku hanya mengulas senyum kalem di samping pria tambun ini. "Depend on tuhan dong Pak Bos. Kan gue selalu doa. Doa gue lengkap!"

"Loe 'kan benci sama Agaz, kok loe selalu doa tentang dia?" Anya menyahut di sanping kiriku.

Aku kembali menelengkan kepalaku lurus, menatap puluhan botol wine berjejer di peyangga kayu yang terpancang di dinding. "Karena saking bencinya gue sama dia, Gue doain dia supaya dapat yang terbaik."

"Gimana sih? Gue nggak paham?"

Pak Bos menyahut kemudian. "Yang terbaiknya Agaz itu Echa. Gitu maksud kau?"

Aku menelengkan kepalaku ke Pak Bos, mengangguk mantap di sampingnya. "Tuhan itu selalu punya rencana. Kadang nggak setipe sama kita, tapi percaya deh, Tuhan bakal ngabulin doa yang nggak jauh dari apa yang kita ucapkan.
Kayak ini, gue doa, buat dia jauh, sejauh mungkin, kalau bisa, gue doain dia dapet somebody love him and he can let me go. But, God choose me to be somebody that he loved, Nya. Sederhana, 'kan? Ya gitu, Tuhan kasih kisah ke kita dengan penuh intrik yang menyenangkan."

Terdengar tepuk tangan menggema di sampingku. Pak Bos tengah menggeleng takjub dengan menatapku. "Dewasa pulak ya kau. Nah ini, awak suka dari cewek yang lagi jatuh cinta. Lupa sama ego, dan jadi dewasa dua kali lipat."

"Jatuh cinta itu menyenangkan, Pak Bos."

"Lalu kenapa kau munak sejak dulu?"

"Karena dulu gue terlalu takut mencinta masa lalu yang gue tahu punya rekaman buruk di pikiran gue." jawabku dengan helaan nafas berat.

"Nggak masalah. Karena kita cewek yang punya fair lebih tinggi untuk mencoba kembali. Beda dengan pria." Anya ikut menambahi.

Pak Bos mengangguk. Aku memilih mengamati cincin di jari manisku. Anya ikut bergeming dengan sesekali menyesap minuman winenya yang telah tandas dua slot gelas kecil. Kami membiarkan waktu menuntun kami tenggelam dengan pemikiran kami sendiri-sendiri. Entah apa yang dipikirkan Anya atau Pak Bos, tapi cincin di jari manisku masih terasa janggal di jemariku. Seakan-akan dia lebih pantas untuk orang lain ketimbang aku.

"Gue masih nggak nyangka Agaz ngelabuhin cincin ini di jari gue." sahutku tiba-tiba.

"Yang lebih nggak nyangka lagi, loe mau ngakuin perasaan loe, Cha." Anya menimpalinya. Suara gelas beradu dengan meja bar terdengar berdenting pelan.

"Yang bikin kami gemas pulak lihat kau terus berkilah. Cem mana, kelen itu cocok. Sayang, kau terlalu takut bilang iya."

Aku tersenyum, ikut tergelak kemudian bersama dengan mereka. Alunan musik klasik itu berganti menjadi alunan musik hip hop. Kami membahas beberapa hal dari Pak Bos yang mulai membuat persiapan menyambut anak angkatnya setelah menikah selama 10 tahun tanpa dikaruniai anak. Kemudian berlanjut dengan Anya yang memberitahu kami telah menandaskan hubungan dengan bule dari Eropanya.

Kami memilih tertawa, menghabiskan waktu seharian untuk menghapus kepenatan, membagi kebahagiaan. Pertemananku dengan mereka tidak akan bisa menjadi tolak ukur berapa lama kami bertemu. Karena rasanya, dua orang ini, dua orang yang berbeda usia, berbeda status, dan berbeda masalah, seakan hal itulah yang membuat perbedaan membaur menjadi yang namanya kata sahabat.

if you know story about Heidi and Clara, i will tell you how Heidi made Clara can walk with her feet.

And how Pak Bos and Anya made me walking with my own story to know i'm in love with Agaz.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

6.6M 226K 34
"What a disappointment it's going to be for all of them to learn you are married." He looked up at me. "Rebecca-I didn't tell them-" "Stop." I smiled...
116K 729 43
Cerita Dewasa
282K 1.1K 59
Kumpulan Cerita Panas buatan Roberto Gonzales. Khusus 21 tahun ke atas.
His Ignored Wife Da StrangeOutcast

Romanzi rosa / ChickLit

4.7M 157K 48
When strangers from completely different backgrounds get married... -- Shifting as the cool breeze toyed with my senses, I sighed at my husband stand...