SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

Door SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta Meer

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

18

3.2K 386 12
Door SophieAntoni

***Hi..hi...sorry updatenya cukup lama karena kehidupan nyata lagi hectic banget...harap maklum ya....be careful dengan typonya :)

Ava Argani

Tidak ada hal di dunia ini yang dapat mengganggumu sebanyak pikiranmu sendiri. Begitulah yang terjadi padaku. Pandanganku nanar ke depan menembus kaca mobil ke arah jalanan Jakarta yang begitu padat di siang ini. Aku tidak mengerti kenapa aku begitu ingin lari dan menghindar dari Rama ketika aku tahu dia sedang dalam perjalanan ke rumahku. Ini salah, Rama harusnya bukan menjadi sesuatu yang traumatis buatku. Aku memainkan jariku dengan gelisah.

"Kamu tahu ada pepatah yang mengatakan bahwa diam itu emas? Tapi kamu tahu nggak kalau manusia nggak tahan terhadap kesunyian selama lebih dari 45 menit. Dan hal ini sudah dibuktikan dengan rekor yang dibuat oleh sebuah labrotarium di Amerika." Mataku mengerjap seolah baru saja disadarkan oleh seorang penghinoptis saat aku mendengar suara laki-laki di sebelahku mulai berbicara panjang lebar. "Dan sepertinya kita bisa mengalahkan rekor itu." Dia sekilas melirik jam di pergelangan tangannya. "Yup, 50 menit." Sambungnya lagi sambil menoleh ke arahku.

"Maaf." Responsku pendek dengan kepala setengah menunduk.

"Siapa yang kamu hindari?" pertanyaannya tidak mengubah posisi kepalaku karena saat ini aku menyadari bahwa aku sudah membawa diriku untuk masuk ke dalam masalah yang sudah sejak awal ingin kuhindari. Berada berdua lagi dengan Erick.

"Kamu bisa mengantarku pulang?" kataku lirih dengan sedikit ragu memandangnya. "Maaf aku sedang nggak berpikir jernih." Ucapku lagi. Aku bisa melihatnya membuang napas dengan ekspresi tak percaya.

"Kamu tadi bilang mau mendengarkan apa yang ingin aku katakan. Aku ke rumahmu karena aku bertujuan untuk mencarimu dan menanyakan satu hal sama kamu. Kamu lupa yang sudah kamu omongkan satu jam yang lalu?"

"Baiklah." Aku kembali berkata dengan nada sedikit menyesal. Aku benar-benar kacau saat ini. "Kamu bisa berhenti di mana saja dan kita bisa bicara." Aku meliriknya. Lebih baik aku tuntaskan masalah apapun yang sudah tidak sengaja aku ciptakan dengannya lalu kembali ke rumah dan mulai belajar berpikir jernih.

"Oke."

Dan ia mengarahkan mobilnya masuk ke sebuah jalanan yang tidak teralu ramai kemudian berhenti di sebuah restoran yang dari luar tidak terlihat begitu ramai, hanya ada dua buah mobil yang terparkir di halamannya yang cukup luas. Setelah turun dari mobil, Erick berjalan selangkah lebih dulu dariku. Aku mengekorinya dari belakang.

"Aku yakin sekali kamu belum makan siang kan?" katanya saat menarik kursi di meja yang letaknya tidak jauh dari jendela kaca besar restoran ini. Dengan gerakan kepalanya dia sedang mempersilahkan aku duduk saat aku mengira ia sedang menarik kursi itu untuk dirinya sendiri. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menempati kursi itu dan Erick sendiri mengambil tempat di depanku. Dan aku sempat, dalam beberapa detik, menyapu pandanganku pada sosok di depanku ini. Aku kemudian menyadari laki-laki ini biasanya ada dalam liga yang sama dengan Tania. Aku tidak bisa mengabaikan begitu saja ketertarikan Desi waktu itu ketika dia mengaku dia bisa saja jatuh cinta dengan playboy ini. Lalu kenapa laki-laki ini justru ada di sini bersamaku? Jantungku berdebar pelan saat matanya menangkap basah apa yang sedang kulakukan. Secepat kilat aku mengalihkan pandanganku dan berharap dia tidak sedang membaca pikiranku. Seorang pelayan datang membawakan buku menu dan memberikannya pada kami dan hal ini membuatku mampu menarik napas lega. Namun jujur saja aku tidak punya selera makan saat ini karena itu aku juga tidak serius membaca barisan menu yang tercetak di buku. Aku malah memberanikan diri untuk melirik lagi laki-laki di depanku dari balik buku menu di tanganku berusaha agar ia tidak menangkap basahku lagi. Wajahnya terlihat serius meski hanya untuk memilih menu dan aku sendiri tidak mengerti kenapa aku tidak berhenti berusaha untuk terus memandangnya dengan diam-diam seperti ini.

"Kenapa?" dia tiba-tiba bertanya tanpa melihat ke arahku hingga membuatku sedikit terkejut dan kembali mengalihkan mataku pada setiap menu yang ditawarkan. "Kamu nggak pernah menyangka akan makan siang denganku kan?" dia meletakkan buku menu di depannya dan aku bisa merasakan pandangannya sedang ia arahkan padaku. Pelayan mendekati meja kami dan Erick menyebutkan menu pesanannya sedangkan aku hanya menyebut satu nama minuman. Aku bisa melihat Eick mengerutkan alisnya saat aku menjawab 'tidak' saat si pelayan menanyakan menu tambahanku.

"Kita bisa bicara sekarang kan?" aku berusaha membawanya segera ke inti pertemuan kami.

"Kamu nggak nyaman bersamaku?" Dia tersenyum dengan sedikit menarik salah satu ujung bibirnya.

Aku terdiam namun dia kemudian tertawa kecil di depanku.

"Oke beberapa hari terakhir ini aku terus memikirkan kata-katamu malam itu." Pandangannya menyambangi mataku dan untuk beberapa detik bertahan di sana. Aku meneguk ludah berusaha lari dari matanya. "Apa maksud kamu saat kamu bilang yang kamu takutkan adalah kalau aku menyukai kamu?"

Aku mencoba tertawa menutup gugupku dengan pertanyaan ini.

"Itu hanya kata-kata yang keluar begitu saja. Aku juga tahu itu nggak akan mungkin terjadi." Kataku sambil menggeleng untuk meyakinkan dia kalau aku sungguh-sungguh.

"Kenapa kamu begitu yakin bahwa itu nggak akan pernah terjadi?"

"Ya, karena itu nggak mungkin saja."

"Kamu tahu nggak kata katamu malahan menyadarkanku kalau aku...." Dia menahan kata-katanya sedangkan aku cukup tegang di kursiku. "Aku merasa aku mulai menyukaimu." Dia kembali mengurungku dengan tatapan matanya.

"Bagaimana mungkin?" suaraku agak meninggi karena ekspresi dari rasa tidak percaya yang besar.

"Kenapa nggak mungkin?" balasnya.

"Kita...kita....berapa kali kita bertemu? Dan..." aku tidak bisa meneruskan kata-kataku karena ini benar-benar jauh dari teori bagaimana seharusnya dua orang saling menyukai atau setidaknya satu orang saja.

"Nggak perlu bertemu berkali-kali untuk membuatmu menyukai seseorang. Bicara denganmu di telepon dan menyadari bahwa ada hal unik yang terjadi diantara kita berdua membuatku punya alasan untuk terus memikirkanmu." Aku tidak berani memandang matanya karena itu aku lebih fokus pada gerak bibirnya saat mengatakan segala teorinya tentang kami. "Ketika kamu terus memikirkan satu orang maka mungkin saja kan kamu berakhir menyukainya."

"Mungkin saja?" aku balik bertanya mencoba mematahkan teorinya saat dia sendiri terdengar ragu dengan menggunakan kata ini.

"Apa kamu sedang mempertanyakan keseriusanku?" dia membuatku mati kutu dengan kata-katanya. "Aku serius menyukaimu." Sambungnya lagi dan membuat lidahku kelu. Pelayan datang menyelamatkan perasaanku saat ini. Ia menghidangkan pesanan kami.

"Ava, sekarang katakan apa yang kamu takutkan kalau aku menyukaimu." Aku tidak menjawab pertanyaannya. "Apa karena kamu sudah menyukai orang lain?" aku mendongak memandangnya. "Mungkin saja dia yang tadi sedang kamu hindari?"

Aku berdecak kecil kemudian menyesap minuman dinginku.

"Tania mengatakan kamu jatuh cinta pada dokter itu. Aku bisa menduga kalau itu dokter yang sama menjawab teleponku saat kamu masih di Ende kan?"

Aku masih diam dan dalam hati aku bertanya-tanya sebarapa banyak hal tentang diriku yang Tania ceritakan pada Erick?

"Kalau memang itu benar ketakutanmu, kamu nggak perlu khawatir. Kalau aku mengatakan aku menyukaimu bukan berarti aku menuntut kamu untuk juga menyukaiku. Aku mengatakannya sekadar agar kamu tahu perasaanku saat kamu sedang berhadapan denganku." Dia tersenyum sambil memotong daging steak di depannya dengan sikap tubuh yang begitu santai. Berbanding terbalik dengan keadaanku sekarang. Ini seperti kisah yang terbalik. Seharusnya aku yang bersikap santai dan dia yang harusnya gugup di hadapanku.

"Aku jarang mengatakan suka pada seorang perempuan." Dia menyesap minumannya. "Dan aku juga nggak pernah menyesal mengatakan rasaku meski aku tahu aku hanya bertepuk sebelah tangan." Dia menjilat bibirnya pelan dan kembali mengunyahkan potongan daging yang baru masuk ke mulutnya. Apakah dia serius menyukaiku? Atau dia hanya sedang menjalankan salah satu langkah dalam buku manual playboynya.

"Kamu aneh." Kataku samar bahkan hampir tak tertangkap oleh pendengaranku sendiri. Aku bisa melihat alisnya berkerut mencoba menangkap apa yang baru saja kuucapkan. Restoran ini bukan tempat yang ramai karena hanya ada tiga meja yang terisi, justru yang mendominasi suara di ruangan ini berasal dari sebuah TV layar datar yang di gantung tidak jauh dari meja kami. Aku yakin Erick hanya asal memilih tempat ini tadi karena tidak mau membuang waktu lebih lama di tengah kemacetan Jakarta. '

"Aku aneh?" ternyata dia menangkap kata-kataku dengan jelas. "Kenapa?"

"Apa yang kamu lihat dari aku? Hanya sekadar hubungan unik yang terjadi di antara kita? Bukannya itu terlalu...ummm semacam film begitu? Serendipity atau apalah..." kataku asal-asalan. Aku sebagai perempuan yang menjadi target rasa sukanya tentu saja harus mempertanyakan alasannya. Aku tidak mau menjadi tipikal cewek geek di film-film remaja yang tiba-tiba dunianya berubah saat tahu cowok popular di sekolah memilihnya di antara cewek-cewek lain untuk menjadikan pasangannya di prom night namun berakhir hanya untuk dipermalukan.

"Hubungan yang unik di antara kita memang adalah alasannya tapi kamu nggak bisa mencari alasan yang lebih tepat hanya untuk menjelaskan rasa suka yang muncul itu karena itu sulit banget, Va. Kamu bisa bertanya itu sama diri kamu sendiri saat kamu menyukai si dokter."

Kata-katanya membuatku merenung sesaat. Bukankah aku juga menyukai Rama karena sepotong kenangan kami yang terjadi tiga belas tahun lalu dan hampir kulupakan? Tapi aku juga merasakan debar saat bersama Rama, reaksi tubuh yang terjadi saat kamu sedang menyukai seseorang. Itu juga alasan kita jatuh cinta bukan?

"Apa ada alasan lain selain dokter itu?"

"Maksud kamu?" keningku mengernyit tidak mengerti.

"Ah...maksudku alasan kamu takut kalau aku mnyukaimu." Dia seperti menangkap kebingunganku karena kami baru saja membahas tentang alasan untuk hal yang lain.

"Kamu tahu kan Kak Tania menyukaimu?" Aku lihat dia mengangguk kecil. "Bagaimana mungkin orang yang dia sukai malah menyukai adiknya sendiri?" aku mengakhiri kata-kataku dengan desir yang berbeda di dalam dadaku.

Dia berdehem.

"Oke Ava, aku tahu posisimu. Aku nggak pernah berpikir sejauh ini maafkan aku. Seharusnya juga kita tidak perlu lagi membahas hal ini sejak aku tahu kamu menyukai orang lain." Dia menandaskan minumannya dan kembali memandangku.

"Kamu mau berteman denganku?" dia cukup lama memandangku dan itu artinya aku cukup lama berpikir hanya untuk menjawab pertanyaannya.

"Baiklah." Aku tersenyum tipis karena jujur laki-laki ini selalu memberi kejutan untukku sejak aku mengenalnya. Saat ini aku kembali membatin dan menyadari bahwa hubungan unik yang terjadi di antara kami bukanlah sesuatu yang tidak berarti. Pertemuan terakhir kami sudah membuat pikiranku terpecah. Aku mulai memikirkan segala 'kebetulan' yang terasa begitu membingungkan yang terjadi antara aku dan Erick bahkan sejak tiga tahun lalu. Kami pernah bertemu bahkan berbicara di saat kami belum saling mengenal. Buku Siddharta bahkan menjadi tali penghubung kami selama tiga tahun hingga akhirnya Kak Tania bertemu dengannya dan menganggapnya seorang malaikat dan Desi, sahabatku, justru mengungkapkan sosoknya yang sangat bertolak belakang dengan anggapan Tania, dia seorang playboy yang pantas untuk dijauhi.

"Jadi kamu....pilot?" aku mencoba memulai obrolan.

"Ya. Apa mungkin kamu pernah naik pesawatku? Ah bukan pesawatku..." Dia tertawa.

"Sepertinya..." aku berkata di sela tawanya. "Kamu ingat kan sewaktu di Bali aku pernah bilang kalau aku sering mendengar nama Erick dan salah satunya saat pilot pesawatku dari Jakarta ke Bali memperkenalkan diri dengan nama Erick. Aku rasa itu kamu." Kata-kataku sudah tidak terasa berat lagi karena canggung, aku mulai bisa mengimbangi perasaan Erick yang begitu santai meski disaat dia tau rasa sukanya baru saja tidak mendapatkan balasan.

"Ahhh...iya sepertinya itu aku." Dia tertawa kecil sehingga kedua kelopak matanya menyipit dan dia memang sangat tampan dengan ciri khas ini. Ada rasa malu yang dengan cepat membias ke kulit wajahku saat aku menyadari kalau aku baru saja memuji laki-laki di depanku.

Setelah tidak tahu lagi apa yang akan aku tanyakan, keheningan yang kembali terasa canggung tercipta di antara kami. Erick sudah menandaskan isi piringnya dan dia bahkan meminta pelayan membawakan minuman tambahan. Dia sempat menawarkan kepadaku namun aku menolak karena aku merasa perutku sudah mulai kembung dengan satu gelas besar orange juice. Sebenarnya perutku sudah mulai minta untuk diisi.

"Aku antar kamu pulang." Suara Erick menggugah diamku karena beberapa detik yang lalu aku sedang berfokus dengan suara TV yang tidak jauh dari kami. Aku melihat seorang pelayan baru saja membawakan bon tagihan dan Erick baru saja membayarnya. Perlahan kepalaku menoleh ke benda yang terpasang hanya berjarak satu meja dari kami. Narasi yang terdengar dari sebuah acara gossip itu mendadak membuatku kepalaku berputar dan jantungku berdebar pelan.

"Ava." Panggil Erick saat melihatku terpaku dengan layar TV. "Are you okay?" katanya lagi dan di saat itu kedua kakiku seperti kehilangan daya saat aku melihat Rama sedang 'dipaksa' wawancara oleh beberapa orang reporter. Oke aku sedikit lega saat melihat itu tidak terjadi di lobi RS tapi entah dimana, berarti ini bukan kejadian beberapa jam lalu.

Aku menoleh cepat ke arah Erick yang saat ini juga ikut terpaku pada layar TV, mungkin ia sedang mencari tahu apa yang menarik di sana sehingga membuatku sampai kehilangan fokus padanya.

"Kita pulang." Kataku bangkit dari kursi kemudian melangkah tergesa keluar. Erick melihatku sekilas tanpa bertanya dan mengikutiku dari belakang. Mobil sudah meninggalkan parkiran restoran dan aku masih berusaha untuk menenangkan debar jantungku. Ternyata wartawan sudah mulai meneror Rama dan bahkan berani mendatangi tempat kerjanya. Apa yang mereka ingin tahu lagi? Bukankah Rama seharusnya tidak lagi dikaitkan dengan Ayana? Ataukah karena postingan Ayana di instagram itukah yang memberikan pesan ambigu tentang hubungan mereka yang sebenarnya, sehingga memicu rasa ingin tahu semua orang yang mengaguminya? Sebaiknya memang aku mendengarkan kata-kata Dian sejak awal, hidupku nggak harus dibuat ribet dengan persoalan orang lain.

"Kamu sepertinya begitu kaget dengan berita tadi." Erik berkata di sebelahku. "Aku butuh beberapa menit untuk menyimpulkan satu hal di sini." Dia menoleh sebentar ke arahku. "Dokter itu. Dia yang sedang dikejar wartawan tadi kan?" Erick kembali menoleh ke arahku untuk meminta jawaban. Namun sebenarnya diamku adalah sebuah jawaban yang sangat jelas baginya. Dan aku bisa melihat Erick mengangguk samar.

"Wow..." dia hanya berujar pendek dan aku bisa menangkap senyum kecil yang tercipta di sana. Entah apa maksud ekspresinya itu? Apakah dia begitu takjub dengan seorang Ava yang mampu berdiri di antara seorang dokter tampan dan seorang penyanyi cantik terkenal di tanah air ini? Apakah mulai sekarang aku boleh sedikit jumawa di depan Erick dan berhenti mengecilkan arti diriku dengan selalu membanding-bandingkan keadaanku dengan Tania, Desi atau perempuan manapun yang pernah ia kencani?

"Aku rasa Jakarta bukan kota yang tepat buat kamu. Dua kali aku bertemu denganmu di kota ini, kamu terlihat so messed up. Sorry." Dia melirikku sebentar. "Aku ingat waktu aku ketemu denganmu di Bali. You looked different. Good different." Tekannya.

"Ya, kota ini sudah nggak cocok denganku sejak sepuluh tahun lalu. Aku sedang berpikir untuk pergi dari sini." Aku lega karena Erick bukan tipe laki-laki yang sedang memaksaku untuk terbuka padanya khususnya tentang masalah yang baru saja dia ketahui beberapa saat lalu. Aku senang dia mengalihkan topik pembicaraan kami.

"Oh ya?"

"Aku sedang berusaha untuk mendapatkan kesempatan residen di Jerman sekaligus sekolah spesialis di sana."

"Jerman?" Erick tersenyum kecil.

"Ya."

"Das klingt gut!"

"You speak German?" aku sedikit terkejut dengan ucapan pendek Erick dalam bahasa Jerman. Itu kalimat sederhana yang aku juga bisa paham, artinya it sounds good. Perlahan bibirku menciptakan senyum tipis dengan kebetulan ini.

"Ya, sejak kecil." Ia menjawabku dengan senyumnya. "Aku lahir di Magdeburg sebuah kota di Jerman dan ketika usia enam tahun aku kembali ke Jakarta. Kakekku yang asli Jerman menikahi nenekku yang asli Manado dan lahirlah Papaku. Papa dan Mamaku juga bertemu dan menikah di sana."

"Wow..."

Kami sama-sama tertawa dan aku sejenak melupakan gelisahku. Sebenarnya kalimat pendekku tadi lebih kepada rasa takjubku akan sebuah kebetulan lagi yang sedang terjadi di antara kami. Dia baru saja mengatakan Magdeburg kan? Ah...aku memejamkan mataku dan dalam hati aku mengucap doa mempertanyakan pada Tuhan kenapa aku dipertemukan dengan laki-laki ini. He is not what I am asking for...God! Bukan! But why?

"Berarti kamu bisa bahasa Jerman, dong." Ia melirikku.

"Aku pernah mengambil kursus Jerman waktu kuliah lumayan sampai kelas intermediate. Sekarang aku sedang ingin melanjutkan ke kelas advanced."

"Aku bersedia jadi gurumu." Aku berdesis tak percaya dengan kata-katanya.

"Jangan becanda. Emang pilot punya waktu sebanyak apa?"

"Ummm...kamu bisa ikut terbang kok sama aku." Dia melirikku dengan senyum konyolnya dan entah kenapa justru membuat aku tersipu. Ah ini gila! Aku mencoba menyembunyikan semburat hangat yang kembali menjalar di wajahku.

"Aku suka melihat kamu yang seperti ini. Ava yang tersenyum dan tertawa."

Aku menggigit kecil bibirku dan dalam hatiku aku ingin menjerit jangan terlalu baik padaku karena kadang perempuan tidak bisa membedakan perbuatan baik dan memberi harapan. Karena kalau aku punya harapan itu sama kamu, kamu bukan kasus yang mudah, Rick. Kasusmu besar bahkan jauh lebih besar dari Rama. Hidup ternyata tidak selalu mudah untukku. Aku melirik laki-laki di sebelahku yang asyik bercerita tentang masa kecil yang masih ia ingat saat di Magderburg. Ya, Magderburg, kota yang akan menjadi tujuanku.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

766K 74.1K 24
Warning! Bacalah saat benar-benar luang! Cerita ini hanya fiksi. 🍂🍂🍂 Diana dipaksa takdir untuk menelan pil pahit saat ayah yang begitu disayangin...
1M 102K 34
[Tersedia di Google Playbook] [Sekuel After We Don't Talk Anymore] Setelah hubungan jarak jauh dan penantian yang terasa begitu lama Nina justru meme...
3.2M 24.8K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
6.3K 176 2
Tentang musim dingin, luka, dan kesempatan kedua.