Gadis yang Terbelenggu

Da YuliTriyuliani

1.3K 188 132

Gadis mana yang mau hidup dengan beban begitu berat? Aku yakin, tak akan pernah ada. Tapi jika semua memang t... Altro

Teka-Teki Kehidupan
Aku Tak Sendiri
Takdir Dalam Seminggu
Keputusan Terbesar
Aku, Si Gadis Malang
Zen Amar
Aku Tak Percaya
Zen dan Sakti
Kado?
Fatal
Penelepon Rahasia
Surat 'Kematian'
Pernyataan Sakti
Ibu, Kau Kembali?
Tak Bisa Dipaksakan
Tanya tak Berjawab
Ketukan dan Jejak Sepatu

Kembali Pulang

72 14 12
Da YuliTriyuliani

Setelah melakukan 'negoisasi' dengan pihak rumah sakit, akhirnya aku bisa membawa ibu pulang. Sekitar jam satu siang, kami tiba di rumah.
.
Sakti masih saja menemaniku, dengan seragam dokter yang disewanya dari sebuah butik. Seluruh ucapan terima kasih seolah tertumpah padanya. Ah ... Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Sakti masih mendorong kursi roda ibu ke dalam rumah. Karena aku sibuk dengan barang-barang bawaan.

"Entah," kataku singkat.

Jujur saja, aku belum memikirkan apa yang akan dilakukan setelah ini. Yang pasti, aku akan keluar dari tempat bekerjaku--restoran dan warung Bu Tinah.

"Pikirkan baik-baik apa yang akan kau lakukan setelah ini. Jangan lupa tujuanmu untuk menyembuhkan Ibu," ingat Sakti masih memegang kursi roda.

Dari mata ibu, aku melihat ada binar-binar kebahagiaan. Mungkin karena sudah hampir 4 tahun lamanya dia tak menginjakkan kaki di sini. Rumah yang menjadi saksi bisu segala hal yang terjadi di dalam keluargaku.
.
Sakti menyandarkan tubuhnya di sofa. Sedangkan ibu, aku mengajaknya mengganti pakaian. Rambut panjang yang disisir rapi saat di rumah sakit tadi, masih memancarkan kecantikan ibu seperti dahulu.
.
Ibu memang senang berdandan. Setiap satu bulan sekali, dia mengajakku turut serta bersamanya ke salon. Walau hanya sekadar creambath. Begitu bahagianya kehidupanku dahulu.

"Re?" panggil ibu.

"Iya, Bu? Apa Ibu mau sesuatu?" tanyaku bersimpuh di hadapannya.

"Tidak. Ayah mana, Re?" Lagi-lagi, pertanyaan itu menembus telingaku. Sedalam ini ibu merasa terpukul karena kepergian ayah.

"Kapan Ayah dan Kakakmu pulang?" lanjutnya masih mengenai orang-orang terkasih itu.

"Sebentar lagi, Bu."

Aku terpaksa membohongi ibu agar dia merasa tenang. Meskipun aku tak tahu sampai kapan harus menutupi kenyataan yang sebenarnya.

"Re, aku pulang dulu ya. Ibuku sudah menghubungi." Tiba-tiba Sakti sudah berdiri di belakangku.

"Tante, cepet sembuh." Sakti bersimpuh di hadapan ibu, tapi tak ada respon apa-apa untuknya.

Tatapan ibu hanya tertuju ke luar jendela. Seperti sedang menerawang sesuatu yang tak kupahami. Lantas, mata hitam Sakti membidik ke arahku. Aku tersenyum simpul melihat ekspresinya.

***

Beberapa dus berukuran besar diturunkan dari mobil truk. Sekarang, aku sudah resmi keluar dari pekerjaanku. Dan dus-dus besar yang diantar oleh truk itu adalah pekerjaan baruku.
.
Bukan seorang kuli panggul atau pengepul barang bekas. Melainkan, seorang pemilik kios kecil. Ya, pesangon yang didapatkan dari restoran, kugunakan untuk membeli barang-barang ini. Sisanya, ditabungkan untuk bekal hidup bersama ibu.
.
Satu per satu isi dari dus-dus itu dikeluarkan. Kemudian, aku menatanya dengan rapi pada sebuah etalase bekas yang kudapatkan dari teman Sakti.
.
Tak ada hujan yang akan selamanya jatuh ke bumi. Begitu pun dengan kesulitan. Tak akan selamanya kesulitan itu datang dalam sebuah kehidupan. Semua ada masanya, dan ada pengaturnya.
.
"Kau jadi penjaga kios?"

Suara dengan nada seperti mencibir itu menghentikan kegiatanku. Aku melirik ke belakang dan mendapati seorang pemuda--cukup tampan--tengah berdiri memerhatikanku.

"Zen?"

Mata ini seolah terbuka lebar saat menyadari siapa yang datang dengan suara mencibir itu. Zen, seorang pemuda yang kukenal di restoran tempo hari kini tengah berdiri tegap di belakang.

"Lama tidak bertemu," kata Zen. Lantas, dia duduk pada kursi kayu di samping jendela. Dari caranya duduk, aku sudah bisa menebak seperti apa watak asli pemuda itu.
.
Awalnya, aku mengira jika dia berhati malaikat. Tapi sepertinya saat ini, perkiraanku akan meleset. Hm ... Entahlah, kita lihat saja nanti.

"Aku sudah tidak bekerja di restoran," ujarku kembali membereskan barang-barang dari dalam dus.

"Karena Ibumu gila?"

Ada yang memanah hatiku secepat kilat, saat kata-kata itu menerobos ke dalam telinga. Aku terbelalak mendengar apa yang dikatakannya. Karena seingatku, tak pernah ada pembahasan mengenai ibu dengannya.

"Kenapa diam? Tidak perlu malu, Re," cibirnya seenak jidat.

"Kau ke sini hanya untuk menghina Ibu? Kalau hanya untuk itu, lebih baik kau pulang!" bentakku tak dapat menahan emosi.

Amarah ini seperti akan meledak saat itu juga. Dengan terang-terangan, Zen seolah menghina keadaan ibu. Aku mengakui tentang kejiwaan ibu yang terganggu. Tapi bukan berarti aku akan diam pada hinaan yang ditujukan untuknya. Tidak!

"Tidak perlu emosi, Re. Aku tak sejahat itu." Alisnya yang tebal dimainkan seperti sebuah lelucon.

"Terus apa? Tidak usah bertele-tele!" Telunjukku menunjuknya tepat di bagian wajah. Aku geram dengan pemuda ini.

"Uh ... Jangan tunjuk-tunjuk segala. Aku di sini ingin membantumu." Tangannya menepis telunjukku.

"Bantu apa? Aku tak butuh bantuanmu!"

"Gadis tak tahu diri!" pekik Zen.

Braaak!!!

Suara pintu rumah kubanting cukup hebat. Engselnya bahkan akan lepas. Hati ini terlalu sakit mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Zen. Datang dengan tiba-tiba, menghina ibu, dengan alasan menawarkan pekerjaan padaku.
.
Entah apa yang ada di otaknya. Aku tak mengerti dengan perubahaan sikapnya yang begitu drastis. Padahal, saat kami bertemu di restoran itu, sikapnya sangat manis dan lembut. Tapi sekarang? Cih!

"Re! Aresha ... Keluar kau!" Dia menggedor pintu rumah dengan begitu bengis.

Aku memilih untuk tak menemuinya. Berlari menuju kamar ibu dan mendekapnya dengan perasaan kalut. Air mata ini kembali terjatuh. Apa yang diinginkan pemuda itu dari gadis menyedihkan sepertiku?

***

Rasa kalut masih terus menyelimuti hati, semenjak kejadian kemarin. Aku berharap, Zen tak pernah menemuiku lagi. Karena rasanya percuma saja. Aku tak akan menerima tawaran pekerjaan apa pun darinya.
.
Kios kecil yang kudirikan, akan menjadi ladang mencari penghidupan. Walaupum mungkin hasilnya tak seberapa, tapi aku akan tetap berusaha mengumpulkan rupiah demi rupiah. Semua kulakukan demi ibu.
.
Seandainya ibu tak bisa disembuhkan, aku akan tetap bersamanya. Menemani setiap detik luka yang membekas di dalam relung nuraninya. Aku tak akan meninggalkannya seorang diri. Karena seperti apa pun, dia adalah ibuku. Wanita yang telah membuatku melihat dunia yang ramai dengan segala persoalannya.

Prang!!!

Aku terkesiap mendengar bunyi keras yang berasal dari kamar ibu. Pekerjaan di kios kutinggalkan cepat. Berlari menemuinya di kamar.
.
Pecahan-pecahan piring telah berserakan di lantai. Ibu terjatuh dari kursi roda. Darah segar mengucur dari betisnya. Sebisa mungkin, aku mengangkat ibu kembali duduk di tempatnya semula.
.
Pipinya berair, matanya kosong, rambutnya pun acak-acakan. Aku memeluknya hangat, setelah mengobati luka di betisnya. Menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya yang lelah.

"Ibu ... Ibu kenapa?" tanyaku sesenggukan.

"Ayah dibunuh! Ayah diracun! Dunia ini jahat!" kata ibu.

Dia berontak sekuat tenaga. Suaranya melengking berteriak-teriak mengisi seantero kamar. Aku mencoba terus mendekapnya. Menenangkan kekalutan jiwanya. Tapi semua usahaku sia-sia.
.
Badanku terjungkal setelah ibu mendorong dan mengacak-acak tempat tidur. Kegaduhan semakin nyata di telinga. Aku menangis, sekuat tenaga menenangkan ibu yang mengamuk.

"Saktiii ... Cepat ke rumah! Aku membutuhkanmu!" Suara panik kusampaikan saat menelepon Sakti.

"Aku segera ke sana," serunya tanpa menolak.

Bunyi gemelatuk gigi yang berasal dariku semakin keras. Aku meringkuk memeluk lutut di atas tempat tidur setelah mematikan sambungan telepon. Sedangkan ibu, dia menghancurkan barang-barang yang ada di kamarnya. Kemudian tak lama setelah itu, dia kembali menangis dan terkulai.

"Bu ... Ini Aresha, Bu ...," bisikku pada ibu. Tak ada respon apa-apa darinya. Isakannya semakin menjadi-jadi.

"Aresha?" panggil ibu tiba-tiba. Aku mengangguk-anggukkan kepala, meski wajahku penuh dengan keringat dan air mata.

"Ibu menyayangimu," kata ibu membuatku menangis memeluknya.

Baru kali ini aku mendengar kata-kata itu lagi. Ucapan sayang dari seorang ibu yang telah lama kubiarkan sendiri, mendekam di balik kokohnya benteng rumah sakit jiwa.

"A-Aresha juga menyayangi Ibu." Aku mengecup pipi dan keningnya penuh kasih.

Senyuman lemah dilempar padaku. Dengan tenaga sisa, aku mengangkat tubuh ibu kembali ke kursi roda. Tapi dia menolak dan lebih memilih tempat tidur.

"Aresha ... Kau tidak apa ...."
Kalimat itu terpotong saat Sakti membuka pintu kamar. Menyaksikan kekacauan di depan matanya sendiri. Dari ranjang, aku tersenyum melihat kedatangannya.
.
Sakti duduk di samping. Matanya menatap nanar pada kami. Mungkin di dalam hatinya berkecamuk segala rasa tentang yang dilihatnya saat ini. Entahlah ...

***

"Maaf, aku selalu merepotkanmu," ujarku menutup pintu kamar setelah ibu sudah bisa tenang dan tertidur. Sakti membidik tajam, seolah sedang mencari sesuatu dari raut wajahku.

"Kau hebat," kata Sakti tiba-tiba.

"Maksudmu?"

"Kau hebat, Re. Mengendalikan Ibumu seorang diri, meski kurasa kau sangat ketakutan," sambungnya.

"Lebih baik, kau kembali ke tempat kerja. Aku akan baik-baik saja," titahku sembari melirik jam.

Sakti mengangguk dan berpamitan. Motor besarnya dinyalakan, lantas meninggalkan halaman rumah. Aku kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti karena ibu.
.
Peluh yang menuruni kening, kuanggap sebagai bukti kasih sayang pada ibu. Tak seberapa, memang. Jika dibandingkan dengan peluh pengorbanan yang telah menetes deras darinya untukku. Anak gadis yang kini dirundung pilu.
.
Seandainya saja aku memiliki banyak uang untuk membawa ibu kembali ke rumah sakit jiwa. Mungkin dua atau tiga tahun ke depan kejiwaannya akan sembuh. Mungkin.

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

DANCE WITH THE DEVIL Da riris

Romanzi rosa / ChickLit

97.6K 17.6K 31
COMING SOON...
JEJU Couple (End) Da idha salmin

Romanzi rosa / ChickLit

45.2K 4.9K 27
Juwita pernah menaruh hati pada Jeremy, namun terpaksa ia pendam karena sahabatnya Serena memiliki perasaan yang sama dan berbalas. Bertahun-tahun ia...
201K 10.3K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
576K 54.9K 123
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...