The Sorcery : SKY Academy [Te...

Από PrythaLize

2M 153K 29.8K

[Fantasy & Romance] SEQUEL of The Sorcery: Little Magacal Piya [published] Temukan cerita ini secara lengkap... Περισσότερα

PROLOG
One and Half Years Later*1
You've Been Invited!*2
Forced *3
The Intensione*4
A Little Thought *5
Noctis *6
Blue Blanket *7
Realized *8
Aversum *9
Welcome to SKY's Hostel! *10
Spring Night *11
Reunion *12
Illusioned Melody *13
Throw All The Fears Out! *14
First School Day (I)*15
First School Day (II) *16
First School Day (III) *17
Schyorizone *18
I Will Protect You *20
Ampelux *21
Saturday Incident*22
Someone in Night*23
One Trouble Day*24
Rain, Storm, and Pain *25
Undesired Feeling *26
Intruder (I)*27
Intruder (II) *28
Intruder (III) *29
[Pemberitahuan]
[Answer]
Extra Part - White Lies
[PENGUMUMAN]

Part of Past *19

51.4K 4.3K 709
Από PrythaLize

LMP is now on not available. I unpublished it. I found a website that copying the plot. I'll try to contact the website owner and do a come back quickly. Relax, the website only copying mine, and its also hasn't finish yet. It's ok, It'll be fine so soon.

Forget it. I'll repost when everything normal.

BTW, happy reading.

Jangan galau sama judulnya, ini tidak seperti kedengarannya kok, hehe.

***

Aku mengerucutkan bibirku, memilin ujung rokku saat Kayaka bercerita panjang lebar sambil memperhatikan kertasnya yang berisi beberapa gambar. Pipinya yang chubby terlihat jelas saat dia melengkungkan senyum amat bahagia.

"...Papamu kan tidak ada di rumah, bagaimana kau bisa selesai?" tanyaku sedikit kesal. Aku kira, Kayaka akan menjadi orang yang paling tertinggal dalam mengisi kertas itu, sebab Papanya sangat jarang pulang kerumah. Rupanya, akulah yang tertinggal.

"Aku telepon Papaku, aku langsung tanya deh. Ada beberapa yang aku tanya dari Mama." Balasnya, masih tersenyum amat senang melihat kertas ditangannya.

Salah satu tanganku mengepal kuat, aku kesal, kesal, kesal! Aku kesal, bukan dengan Kayaka, tapi dengan Papa.

Padahal Papa pulang seminggu sekali, tapi kertasku masih kosong.

"Coba tanya Mama-mu, apa kesukaan Papa-mu, Mama-mu pasti tahu." Usul Kayaka begitu melihat larut wajahku yang sepertinya mulai berubah dan terlihat benar-benar kesal.

"Yah, mungkin..." gumamku pelan, mulai menimang-nimang apakah aku harus menanyakan hal ini pada Mama. Tapi Sensei kan, memintaku untuk menanyakannya pada Papa? Apa tidak apa-apa?

Sepulangnya, Mama yang sedang memeriksa catatan yang biasanya dia baca pun menoleh ke arah pintu. Wajah seriusnya yang sempat kulihat tadi, berubah menjadi senyuman membinar bahagia menyambut kepulanganku.

"Lho, lho, Rin kenapa mukanya kusut begitu?" tanya Mama seraya menghampiriku, "Duh, untung manis," gumamnya sambil mencubit sebelah pipiku pelan.

"Ma, Papa paling suka apa di dunia ini?" tanyaku langsung.

Mama sempat terdiam untuk beberapa saat, "Papa...hm, Papa paling suka..., rokok, kare...," Kening Mama mengerut bingung, "Rin butuh berapa?"

"Lima," balasku sambil menunjukan kertasku.

"Papa suka Ice Skating!" sahut Mama setelah beberapa saat berpikir, "Lalu...,"

Aku melirik Mama gelisah, ayolah, Ma, tinggal dua. Kalau Mama tidak tahu, mungkin aku harus telepon Papa seperti yang dilakukan Kayaka.

Mama tersenyum lebar dan mengelus pelan kepalaku, "Papa suka Rin dan Mama,"

Jawaban itu membuatku menatap Mama untuk beberapa saat, bibirku gemetaran tanpa sadar. "Benarkah?"

"Iya!" balas Mama semangat, "Ini PR Rin ya? Aduh, Mama sampai bingung tadi, PR anak TK kok susah ya?" tanyanya sambil mengelus tengkuknya.

Aku mendongkak, "...Memangnya PR Mama tidak susah?"

Mama tertawa, "PR Mama tidak sesusah punya Rin, mungkin."

"Berarti Rin sudah bisa kuliah ya?" tanyaku dengan mata membinar-binar. Mama tertawa, lalu menepuk-nepuk bahuku.

"Rin makan yang banyak, ya, biar cepat besar." Gumam Mama, "Mama kan ingin cerita ke Rin..."

Aku tersenyum lebar. "Cerita saja, Rin dengarin kok!"

Mama tersenyum tipis. "Nanti saja, saat Rin sudah besar dan mengerti semuanya, yah?"

.

.

"Piyorin, bangun!"

Samar-samar terdengar suara di pendengaranku. Pikiranku memintaku membuka mataku, namun mataku terasa begitu berat sampai-sampai aku harus memaksa diri melakukannya. Tanganku yang kaku tiba-tiba saja mampu digerakkan, dan suara dari tenggorokanku memaksa dirinya keluar, membuatku bergumam hal yang bahkan kusendiri tak tahu apa.

"Ah, akhirnya kau bangun. Kau tidak apa-apa?" Aku langsung beradu pandang dengan Kayaka begitu mataku terbuka lebar, "...Kau ingat aku?"

Kali ini wajah Kayaka tak lagi se-chubby tadi, maksudku... Tunggu. Apa itu tadi?

Aku memejamkan mataku lantaran kepalaku merasakan pusing, "...Kok Kayaka nanya gitu?" tanyaku yang membuatnya menghela nafas lega.

"Syukurlah," gumamnya.

Aku pelan-pelan bangkit dari tiduranku di kaki Kayaka dan langsung menyentuh kepalaku. Aku ingat, aku jatuh beberapa saat yang lalu. Sungguh, rasa sakitnya masih benar-benar terasa jelas.

"...Kemana yang lain?" tanyaku saat menyadari bahwa hanya tersisa aku dan Kayaka di area kolam berenang.

Kami bahkan sudah keluar dari kolam, aku pasti sudah merepotkan banyak orang saat mereka membopongku naik ke atas.

"Raia ke kamarnya, katanya mau ngambil bahan-bahan buat bikin Health potion tingkat tinggi biar kau cepat sadar, mereka berempat memburu Schyorizone yang menyerangmu tadi."

Aku terdiam, "...jadi yang tadi itu Schyorizone? Mereka benar-benar iseng ya." Sahutku geram.

"Iya, Schyorizone kekuatan lumut. Tadi udah sempat tertangkap dan nyaris dibakar hidup-hidup oleh Tazu sih, Aquane langsung cepat-cepat mengendalikan air ke tubuhnya dan Hize mencoba memadamkan api dengan caranya sendiri. Harusnya sih, Schyorizone itu tidak jauh dari sini, soalnya seperempat sayapnya sudah terbakar."

"Itu kan enggak boleh, kalau perang dimensi nanti, bagaimana?" aku mengerutkan keningku.

Kayaka berdecak, "Makanya itu, begitu Tazu menyadari itu, Schyorizone-nya langsung refleks dilepasin."

Aku menarik nafas panjang, "Tazu masih tidak bisa mengontrol emosinya, ya."

Kayaka menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, "...tapi jujur ya, Rin, kalau aku menjadi Tazu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Kau itu kan, sahabatku yang berharga."

Aku tertawa, "Aduh, Kayaka, terima kasih lho. Aku terharu, jadinya."

"...Rin, aku sudah ngasih kode terang-terangan lho." Ucapnya dengan tatapan datar. "Kau memang tidak peka ya?"

"Kayaka jahat! Padahal sendirinya juga sama!" seruku sambil melipat kedua tanganku, "...Aku tidurnya berapa lama, tadi?"

"Limabelas menit," balas Kayaka. "Kita kembali ke kamar saja, yuk?"

"Mereka bagaimana?"

Kayaka nampak berpikir sejenak, "Aku langsung teleport ke Raia saja begitu kau sudah di kamar, lalu sisanya..., mereka bakalan ngerti lah, kenapa kita ke kamar duluan."

"Benaran tidak apa-apa?" tanyaku ragu.

"Iya, benaran."

"Yasudah, ayo."

*

Author's POV

Invi hampir saja berdecak saat melewati kelas Bumi pagi buta begini. Kelasnya yang berada di kelas Saturnus membuatnya harus melewati lima planet yang dekat dengan matahari terlebih dahulu. Jelas, Invi jelas bukan berdecak karena jarak, tapi karena dia tahu, seseorang akan mengaduk-adukan isi hatinya seperti bagaimana orang itu mengaduk bumbu masakannya.

Invisible Transparant tidak akan mempan, bagaimanapun Invi mencoba menghilangkan diri, dia tahu kalau lelaki itu tetap akan bisa melihatnya.

Maka dari itu, sebelum hatinya teracak-acak, sebaiknya dia segera melewati kelas Bumi dengan cepat. Oke, jangan menghadap ke pintu Bumi sama sekali!

"...Invi,"

Seolah terhipnotis, langkahnya yang buru-buru itu terhenti secara tiba-tiba, dan kepalanya reflek berbalik ke belakang. Butuh dua detik bagi Invi untuk menyesali apa yang terjadi barusan, kelalaiannya yang membuat pendiriannya tadi, menghilang secepat cahaya.

Tanpa berkata apa-apa, lelaki itu melangkah mendekat. Senyuman tipis darinya membuat Invi mengangkat alisnya.

"Tumben kau datang pagi-pagi, mau membantuku membuat sarapan di cafeteria, ya?"

Sebenarnya Invi hampir saja memamerkan perlototannya yang selebar-lebarnya, namun dia masih saja mencoba mengontrol emosinya seperti biasa. "Niat pun, tidak."

"Mana ada orang yang datang ke sekolah jam 4 pagi?"

Kali ini Invi melotot, keinginannya untuk jaga image hilang entah kemana, "Kau sendiri, datang ke sekolah jam 4 pagi!" ucap Invi sambil menunjuknya dengan tidak senang.

"Berarti hanya ada kita berdua di gedung ini?" tanya Hize. Hampir saja dia tertawa melihat wajah Invi yang menegang.

Invi yang merasa bahwa Hize tengah mengolok-olok dirinya pun lekas berjalan cepat ke kelas Saturnus. Rencananya, dia akan masuk ke dalam sana dan secepatnya mengunci pintu kelasnya.

"Bagaimana kalau..., daripada kau menganggur, kau bantu aku?" tawar Hize sambil mengikuti langkah Invi dari belakang, hanya mempercepat langkahnya beberapa langkah saja, dia sudah dapat menyeimbangi langkah Invi yang sengaja dicepatkan.

"Omong-omong, aku tidak sedang menganggur. Aku ada alasan datang pagi-pagi begini," sahut Invi dengan malas. "Bagaimana kalau begini, daripada kau terlambat menyiapkan sarapan nanti, kau duluan saja ke cafeteria."

Hize mengangguk, "Oke, kau akan menyusul, kan?"

Malas berlama-lama dengan Hize yang membuat dirinya risih, Invi mengiyakan tanpa berpikir panjang, "Iya."

Disepanjang perjalanannya menuju kelas Saturnus, Invi tak bisa untuk tidak bertahan dalam posisi kepalanya menghadap ke depan. Dia mencoba menerawang pikiran lelaki itu. Tadi, Invi sempat berpikir bahwa dia akan berada di gedung cadangan seorang diri, sebab seharusnya Hize berada di cafeteria asrama, bukannya di cafeteria cadangan.

Invi membalikan kepalanya, menghadap ke Hize yang tersenyum saat melihatnya berbalik—seolah sudah tahu kalau Invi akan melakukannya. "Darimana kau tahu kalau aku akan kemari?" tanya Invi langsung, tanpa berbasa-basi.

"Feeling," balasnya.

"Kau tidak takut, sarapanmu tak sempat?"

Hize menggeleng, "Aku hanya membantu team dapur, itu bukan kewajibanku."

"Aku juga bukan kewajibanmu." Balas Invi sedatar mungkin, "Tapi sepertinya aku mengerti maksudmu, mungkin kau harus ke dapur sekarang." Belum sempat Hize membalas perkataannya, Invi memotong lagi. "Aku akan menyusul."

Hize menatap kepergian Invi dengan tatapan tenang. Saat punggungnya mulai menjauh, Hize mengelus tengkuknya bingung.

...Bertemu sepagi ini secara kebetulan?

Jangan bilang tujuan mereka datang kemari pagi ini juga sama?

*

Piya bisa jadi adalah penyihir ternekat yang menyelinap keluar pagi-pagi, masih dengan setelan piyamanya. Pagi ini sangat dingin, nyaman untuk diajak tidur kembali. Kepalanya yang berat secara ajaibnya bisa menyadarkannya untuk bangun dan berjalan ke cafeteria tanpa berpikir panjang.

Tujuannya jelas bukan untuk mengincar antrian pertama pagi ini, kalau iya, dia sudah pasti akan membangunkan Kazie. Saat bangun tadi, Ryoka juga sudah tidak ada di ranjangnya. Ranjangnya bahkan sudah dirapikan, tanda bahwa saat ia kembali ke kamar nanti, ia tidak akan tiduran lagi disana.

Setelah memperhatikan kiri-kanan dan situasi aman, Piya baru memberanikan diri masuk ke dalam dapur.

Di dalam sana, Piya bisa melihat beberapa team dapur yang sedang memanggang waffle, menatapnya dengan kerutan bingung.

"Piya ngapain kemari?" tanya Vilia—Lucky Fortune—dengan nada tidak suka. Saat itu pula, Piya dalam hati merasa tahu, Vilia nampaknya tidak suka jika ada orang asing yang memasuki wilayahnya.

Hubungannya dengan Vilia baik-baik saja, hanya saja, Vilia bisa menjadi orang yang paling mengesalkan selama beberapa waktu.

"Aku boleh minta sesuatu?" tanya Piya.

Dari belakang, Hize melangkah maju dengan kerutan yang amat bingung di keningnya. Piya hampir tidak pernah nampak pagi-pagi begini karena Kazie yang sering membawa menunya untuk Piya. Kazie memang sahabat yang ajaib, dia seolah tahu kapan menu di dapur akan selesai, karena dia akan menjadi orang pertama yang mengantri nanti.

"Minta apa?" tanya Hize mencoba ramah dengan caranya sendiri.

Piya menunjuk sayuran yang ada di dalam kantung plastik putih di depannya, "Itu."

Hize menoleh, lalu mengangguk mengerti meski dia masih bingung alasannya. "Mau direbus dulu?"

Piya menggeleng cepat, "Tidak, aku tidak mau merepotkanmu. Lagipula, sepertinya dia suka makan langsung."

Hize berpikir panjang, langsung tahu bahwa yang dimaksud Piya bukanlah Tuannya. Tazu memang punya mata dan tubuh yang sehat, tapi itu karena dia selalu dipaksa mengkosumsi sayuran. Hize disini, bertanggung jawab atas pola makannya. Semoga saja Tazu tidak menyembunyikan manisan apapun di lemarinya. Mungkin Hize harus memeriksanya nanti.

"Boleh kan?" tanya Piya.

Hize mengangguk cepat, "Boleh," Hize mengambil kantung plastik itu dan langsung menyerahkannya ke Piya. "Tinggal dua, kurasa kau harus mengambil keduanya."

Mata Piya nampak membinar senang, "Terima kasih, ya!"

"Kepalamu sudah tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, kok. Sekali lagi, terima kasih." Piya membungkukan badannya 90 derajat, yang malah membuat Hize merasa terganggu.

Setelah itu, Piya pergi. Membawa kantung plastik berisi wortel yang entah akan diberikan kepada siapa. Seharusnya Invi ada disini, jadi Hize tak perlu menerka-nerka lagi.

.

.

.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Tazu setelah keheningan yang lumayan lama. Bukan karena ia bermaksud melakukannya, tapi karena Piya yang sedaritadi serius menekuni buku yang penuh dengan sandi dan beberapa lambang yang sebenarnya tak disukai olehnya.

Piya menoleh singkat ke arahnya, "Aku tidak apa-apa."

Kebetulan kelas Venus memang masih sepi, hanya ada beberapa orang yang ada di depan kelas. Piya harus bersyukur, mereka bukan orang-orang yang akan mencampuri urusannya disetiap patah katanya.

"...Kau seharusnya tidak melukai peri itu." Gumam Piya. "Perang antar dimensi..." Piya terdiam. "Aku tidak mau ada peperangan lagi."

Tazu pun sebenarnya telah menyesali itu dari kemarin. "Maaf,"

"Kau pandai membaca terjemahan mantra kan?" tanya Piya mengalihkan pembicaraan, sebenarnya kurang suka dengan situasi tadi. "Bantu aku terjemahkan ini, kalau kau ingin tambah pesan juga tidak apa-apa!"

Tazu membaca pesan itu dalam diam.

Hai! Maaf karena baru mengirim pesan untukmu, aku tidak bisa menulis sandi. Aku rajin meletakan wortel karena setiap aku memeriksanya, wortelnya hilang. Jadi kuanggap kau memang menyukainya.

Bagaimana keadaan di dunia sihir? Apa kalian hidup tenang disana?

Bagaimana keadaan Sensei-Sensei? Aku titip salam ya.

Apa salah satu Door Connection disana sudah tertutup? Disini, ada satu Door Connection lain yang terbuka. Dimensi Schyorizone, aku kurang mengerti, ingin menyuruhmu menjelaskan, tapi aku tak bisa membaca sandi.

Oh, lalu...Apa ada manusia yang masih tertinggal disana? Aku hanya ingin tahu.

Tazu menatap Piya dengan tatapan dalam. Dia mulai menebak apa yang sebenarnya dipikirkan Piya. Gadis itu...

"Bisa kan?" tanya Piya penuh harap.

Tazu langsung menatapnya datar, "Kepanjangan," balasnya yang membuat pundak gadis itu melesu. Dia menggeser tempat duduknya, mendekat ke Piya.

Piya menerjapkan matanya, "Kenapa?"

"Sini," Tazu mengulurkan tangannya, menunjuk pena yang dipegang oleh Piya dengan matanya.

"O-oh," Piya menyerahkan pena-nya dengan buru-buru.

Setelah beberapa saat menulis, Tazu menyerahkan kertas itu ke Piya.

Wuah, rapi sekali, pikir Piya sedikit kagum.

"Kau menambahkan apa?" tanya Piya saat menyadari tulisan tambahan di barisan paling bawah.

"Sedikit pesan untuk Pritalize," balasnya pendek. "Yaa-Chi pasti bisa menerjemahkan itu untuknya."

Piya melafalkan mantra pada Give Pocket sebelum akhirnya memasukan kertas itu ke dalamnya.

"Kalau kau butuh bantuan untuk menerjemah, aku bisa membantumu."

"Oke, terima kasih."

Tazu menyandarkan punggungnya pada sandaran di belakangnya. "Kau yakin kepalamu tidak apa-apa?" tanyanya sekali lagi.

Piya menghela nafas lelah, "Baik-baik saja kok, sungguh. Kenapa? Kau takut aku lupa padamu lagi ya?" tanyanya asal, setengah mengandung candaan untuk situasi yang sedikit terasa aneh untuknya.

Tazu menatapnya dalam, sangat dalam sampai-sampai Piya tak mampu berkedip sekalipun. "Ya, mungkin kau benar." Balasnya sambil menghela nafas. "Kau tidak boleh melakukannya."

Tubuh gadis itu menegang sejenak, ditariknya nafas sedalam-dalamnya dan beberapa detik yang ada, dipergunakannya untuk menenangkan jantungnya yang berpacu cepat karena terlalu shock dengan jawaban yang tak disangka olehnya.

"Aku juga tidak berniat melakukannya."

Bukan karena keduanya terlalu larut dalam pembicaraan mereka sampai-sampai mereka melupakan apa yang tengah terjadi di kelas mereka. Saat ini keduanya tengah menjadi pusat perhatian, mungkin karena posisi duduk lelaki itu yang dinilai amat dekat dengan gadis itu? Atau mungkin karena wajah Piya yang sedikit tersipu?

Yang jelas, begitu menyadari hal itu, keduanya langsung duduk menjauh dan larut kembali dalam pemikiran masing-masing saat itu.

Sialnya, Piya tidak tahu, pikirannya bercampur aduk karena terbentur kemarin atau hal lain.

***TBC***

30 November 2016, Rabu.

A/N

Ini saya tau, kalian masih ada yang lagi UAS, maaf ya kalau update-an ini mengganggu. 

Yang masih nyimpan LMP diperpus, boleh remove yak, soalnya saya mau repost lagi nanti. Alasannya ada di note atas. Saya gapapa, hehe. I'm not father, lol.

Yang besok UAS atau lagi UAS atau bentar lagi UAS kayak saya, yang semangat yaak! Kita perang! Yuhu.

*

SKY CORNER

Tipe pacar idaman kalian, seperti apa? #GirlSide

1. Yanda
"Aku sih tidak berharap banyak. Asalkan dia sayang aku, bisa memaklumi sifat-sifat burukku, aku oke aja. Oh, apalagi kalau dia pandai memimpin, tampan, pintar dan humoris. Sebenarnya aku paling suka tipe romantis sih, tapi kalau tidak, juga tidak apa-apa."

2. Kazie
"Hm, tipe pacar idaman? Asal dia mampu bertahan dari Kayato-Nii, sebenarnya sih sudah idaman sekali, kan? Kalau kami punya hobi yang sama, itu lebih baik. Soalnya, kata Piyorin, aku sedikit lain, haha. Tapi memangnya ada ya, yang mau dengan gadis tomboy sepertiku? Tidak mungkin. Terkadang aku berpikir untuk tidak menikah, yah, kecuali kalau lelaki itu benar-benar muncul."

3. Rainna
"Sebenarnya aku sangat pemilih, aku ingin punya pasangan yang tidak mengekang pekerjaanku. Lalu, dia harus tahu kapan aku ingin dimanjakan dan kapan aku tidak ingin bicara. Err, lalu..., oh. Semoga saja dia bisa tahan dengan sifat labilku. Dan tentu saja, dia harus menyukaiku!"

4. Invi
"...Aku tahu apa yang kalian pikirkan, tapi perkiraan kalian sedikit meleset. Aku bukan menyukai laki-laki yang bisa memasak, jadi ini tidak direferensikan untuk siapapun. Laki-lakiku harus menyayangiku, pekerja keras, jujur, setia dan tentu saja harus bersedia menghadapi sifat tak pedulianku. Ini benar-benar tidak direferensikan untuk siapapun. Kalau kalian berpikir begitu, kalian sudah pasti salah!"

5. Ryoka
"Aku ingin berkata jujur, sebenarnya aku lebih suka laki-laki yang hanya menyukaiku seumur hidupnya. Hanya itu, tidak lebih."

6. Piya
"Haha, punyaku mungkin akan terdengar sedikit mustahil, jangan tertawa ya. Aku ingin menikah dengan orang yang menjadi cinta pertamaku. Dia harus menyukaiku sebesar aku menyukainya, laluu..., hehe, sebenarnya aku pernah ingin menjadi putri yang memiliki ksatria disisinya setiap waktu, jadi ksatria akan melindunginya. Tapi yah..., sudah kubilang, punyaku memang mustahil. Oh, satu lagi, ini yang paling penting! Dia hanya akan mengingatku, setiap aku sedang tidak ada. Ya, ya, aku tahu ini memang mustahil. Silahkan tertawa sepuasnya."

Kamu tipe mana?

Kusepertinya tipe Invi, hahaha.

See you next chappie

Cindyana H

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

AQUA World Από Cindyana H

Φαντασίας

1.2M 167K 26
[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan menenggelamkan satu persatu pulau di dataran...
REFLECTION [END] Από piwa

Μυστήριο / Τρόμου/ Θρίλερ

575 76 30
Pada beberapa kejadian, terkadang mimpi adalah sebuah dunia lain yang sebenarnya berdampingan dengan dunia nyata. Setiap pingsan, Tera akan menjalan...
199K 12.5K 22
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
Mommy? Από yuzii

Φαντασίας

679K 62.6K 30
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...