LOOK WHAT YOU'VE DONE

De jennyannissa

100K 7.6K 143

"I want my life back as usual. A senior editor at Bookable, twenty-nine-years old, handsome, well-established... Mai multe

DUA
TIGA
EMPAT
EXTRA PART
EXTRA PART II

SATU

28.3K 1.4K 17
De jennyannissa


EMBUSAN angin pagi menyapa wajah Emyr Atmadjaya, meniup kecil helaian rambutnya, tepat ketika dia membuka jendela kaca yang berada persis di belakang meja kerjanya. Emyr yakin dia telah melakukan keputusan yang tepat dengan menjauh sejenak dari rutinitas, berdiri di tempat ini, sembari membiarkan angin segar mengisi paru-parunya.

Pandangannya menyapu pada keruwetan Jakarta pagi hari. Namun, itu tak berlangsung lama, tepat ketika dia berbalik, mendapati sebuah majalah yang tergeletak di atas meja kerjanya, Emyr kembali gelisah.

Berengsek!

Refleks, kedua tangan laki-laki itu mencengkeram tepian jendela, hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Dia benci perasaan ini. Perasaan yang tak bisa dinalar dengan logika. Perasaan yang tak seharusnya ada. Terlebih sejak mereka sepakat berpisah tujuh bulan lalu.

Sungguh, Emyr tak sedikit pun menyangka pagi indahnya akan rusak hanya dengan sebuah majalah yang dibawa Pak Jef—atasannya. Dengan wajah tak bersalah, pria berusia di akhir tiga puluhan itu mengangsurkan majalah dengan sepasang model yang tengah berpose cukup mesra di bagian sampulnya.

Dadanya kembali terasa sesak. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi, mengingat angin pagi ini begitu menyejukkan. Emyr meringis. Namun, dalam hati dia tertawa. Menertawakan dirinya.

Kejadian itu sudah lama berlalu. Kisah mereka sudah lama usai. Kenapa baru sekarang perasaan aneh ini singgah di hatinya?


***


"MAS Emyr?"

Mendengar panggilan dan sentuhan di bahu kanannya, Emyr tersentak. Pandangannya mengedar, dan betapa terkejutnya laki-laki itu saat menyadari dirinya masih berada di ruang rapat. Dengan segera dia memperbaiki posisi duduknya, berdeham, lalu mengeluarkan sepenggal kata, "Ya?" pada siapa pun yang tadi memanggilnya.

Beberapa orang peserta rapat tertawa ringan—menertawakan sikap kikuk Emyr, membuat laki-laki itu menghela napas dengan tangan mengusap bagian belakang kepalanya. Sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya bila dihadapkan pada situasi tak nyaman seperti ini.

"Pergilah keluar sebentar. Cuci wajahmu. Segarkan pikiranmu dari apa pun itu yang membuat konsentrasimu terganggu," ucap Pak Jef dari tempatnya duduk—tepat di ujung meja berbentuk oval yang selalu menjadi saksi bisu dalam setiap rapat bulanan yang diadakan Bookable.

Emyr menghela napas. Ada segumpal kata yang ingin dia muntahkan, berkaitan dengan kalimat yang diucapkan Pak Jef barusan. Di mana pria itu seakan tahu mengapa Emyr terlihat tak seperti Emyr Atmadjaya biasanya. Namun, dia memutuskan untuk menelan sendiri kalimatnya, dan memilih meminta maaf pada para peserta rapat, lalu undur diri secepat mungkin.

Dengan langkah gontai, laki-laki itu beranjak menuju pantry. Diikutinya instruksi Pak Jef untuk mencuci wajah, dengan harapan bayang-bayang perempuan itu lenyap. Namun, bahkan hingga Emyr mengeringkan wajahnya dengan berlembar-lembar tisu yang dia tarik secara kasar, profil perempuan itu justru semakin lekat dalam ingatannya.

"Mas Emyr, mau saya buatkan kopi?"

Emyr mendongak. Didapatinya Zaenal—officeboy  termuda di Bookable tengah menatapnya dengan wajah takut-takut. Sial, hanya karena perempuan itu seseorang terlihat setakut ini padaku.

"Boleh," sahutnya, lalu beringsut ke meja kecil, dan menyandarkan bagian belakang tubuhnya di sana.

Sepasang matanya terarah pada Zaenal yang tengah sibuk membuat kopi. Namun, tanpa diketahui siapa pun, sebenarnya pikiran Emyr melayang jauh, lebih jauh dari sekadar ruang sempit berukuran 2×3 meter ini.

"Ada apa, Mas?" tanya Zaenal, sembari meletakkan secangkir kopi di meja berbentuk lingkaran.

Sekali lagi, Emyr tersentak. Entah sudah kali keberapa hari ini tubuhnya bereaksi demikian. Saat dilihatnya Zaenal sudah duduk di salah satu kursi dari empat kursi yang disediakan, Emyr pun menarik satu kursi—persis berseberangan dengan Zaenal.

"Kamu nggak buat juga?"

Laki-laki muda itu menggeleng. "Tadi pagi sudah, Mas. Kalau dalam sehari minum dua cangkir, bisa-bisa nanti malam nggak tidur. Mana besok saya ada Ujian Akhir Semester."

Emyr tersenyum mendengar jawaban Zaenal. Sejak awal laki-laki itu bergabung di kantor penerbitan ini, Emyr bisa melihat semangat yang berkobar di matanya. Orangtuanya hanya buruh lepas, dia pun bahkan tak memiliki pekerjaan lain selain sebagai officeboy  di tempat ini, tapi Zaenal tak pantang menyerah dan tak kenal malu melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.

"Saya doakan semoga sukses ujiannya," kata Emyr tulus.

Zaenal dengan segera mengaminkan ucapan laki-laki yang telah dianggapnya sebagai abangnya sendiri. Meskipun Emyr adalah senior editor  di tempat ini, laki-laki itu tak pernah berlaku seenaknya pada bawahan seperti dirinya.

"Mas Emyr..., kenapa?" ragu-ragu Zaenal menyuarakan rasa penasaran yang sejak tadi sebisa mungkin dia tahan.

Emyr tersenyum kecut. Seterlihat itukah? batinnya. "Apa yang harus saya lakukan saat melihat masa lalu saya terlihat begitu bahagia dengan kehidupannya saat ini, Nal?"

Zaenal sedikit gelagapan, tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu. Namun, dengan segera laki-laki itu menguasai dirinya, lalu ditatapnya Emyr lurus-lurus. "Mas Emyr masih mencintai Mbak Janina?" katanya, sepelan mungkin.

Mendengar nama perempuan itu disebut, Emyr mengangkat wajah. Ada kilat emosi di matanya, yang dengan segera ditangkap Zaenal. Membuat laki-laki itu sangat menyesal sudah mengungkit-ungkit nama mantan istri Emyr.

Saat Zaenal menyuarakan kata maaf dengan begitu lirih, Pak Jef muncul di ambang pintu. Dengan nada bijaksana pria itu berkata, "Temuilah dia. Mungkin kamu akan menemukan jawabannya."


***


"GOOD, Janina. Once again."

Perempuan cantik yang diberi arahan dari fotografer di hadapannya itu, tersenyum lebar sekali lagi. Tak diragukan lagi, siapa pun yang melihat Janina Yusuf saat tengah berpose di hadapan kamera dengan beberapa pencahayaan di kanan kirinya, pastilah tahu betapa perempuan itu begitu mencintai pekerjaannya.

"Okay, Jan. Enough for today," kata sang fotografer lagi, sembari mengacungkan jempol kanannya pada Janina.

Di kejauhan telah ada seorang laki-laki seusia Janina yang segera menyambut perempuan itu. Dengan senyum manis, dia melangkah mendekati Janina yang juga melangkah ke arahnya. Keduanya bertemu di tengah-tengah ruangan.

"Kamu cantik banget," puji Zafiro.

"Thank you," balas Janina, sama ramahnya. "Apa itu artinya sebuah lunch  lagi, Zaf?"

Bukannya merasa tersinggung, laki-laki yang berdiri di hadapannya itu justru merangkul pinggang Janina dengan begitu santai. "Ah, sepertinya aku harus menggunakan taktik yang lain, ya?"

Perempuan itu mendengus. "Yep. Taktikmu yang satu itu sudah sangat terbaca, Tuan Zafiro."

Sekali lagi Zafiro tergelak. Blak-blakan. Inilah yang dia sukai dari seorang Janina Yusuf—model yang namanya kembali melambung setelah memutuskan untuk berpisah dari seorang senior editor  sebuah kantor penerbitan. Janda Atmadjaya ini bahkan tak pernah sepi dari ajakan lunch  atau dinner, entah dari laki-laki yang masih bujangan, atau dari para hidung belang.

"Jan... Janina..." Deny, asistennya yang kemayu itu setengah berlari menghampirinya. "Ponsel lo dari tadi bunyi, nih."

"Siapa?"

"Nggak tau. Lo nggak save gitu."

Dengan kening mengernyit dalam, Janina memerhatikan sederet angka yang tertera di layar ponselnya, di bagian panggilan tak terjawab. Napasnya tertahan saat ingatan menyadarkannya.

...

...

...

Panggilan tak terjawab sebanyak dua kali itu datang dari Emyr Atmadjaya. Mantan suaminya.


***


"DEN...." panggil Janina—dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki. Entah bagaimana, saat mengetahui Emyr menghubunginya, perempuan itu merasa seperti ada yang merenggut paksa udara di sekitarnya.

Emyr, kah? batin Deny. Dengan segera laki-laki kemayu itu merangkul lengan kanan Janina, menjauhkannya dari Zafiro yang memandanginya dengan raut penasaran dan sepertinya telah siap menumpahkan ribuan pertanyaan. Tidak peduli bahwa Janina tak akan mampu menjawab satu pun pertanyaan itu.

"Zaf...," panggil Deny. "Gue pinjem Janina bentar, ye. Lo di sini aja. Nggak usah ikut-ikutan."

Keduanya lalu melangkah menuju ruang ganti. Sesampainya di sana, Janina langsung menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi yang berada persis di depan meja rias. Dipijatnya pelipisnya—yang tiba-tiba saja terasa pusing.

Berengsek kamu, Emyr!

"Jan."

"Stop, Den!" sergah Janina. "Lo ngomong pun gue nggak akan paham, jadi mending lo simpan apa pun yang ingin lo sampaikan."

Tanpa banyak komentar lagi, Deny mengunci mulutnya rapat-rapat. Jelaslah sudah sekarang. Ini pasti Emyr! Karena Janina hanya akan bersikap sedefensif dan sesensitif ini bila ada hubungannya dengan mantan suaminya itu.

Dering tanda pesan masuk membuat Deny berjengit kaget, terlebih Janina yang jaraknya lebih dekat dengan benda tersebut. Takut-takut, perempuan itu mendekatkan wajahnya, mencoba memandang layar ponsel dari jarak yang lebih dekat. Saat mengetahui si pengirim pesan adalah orang yang sama, jantung Janina seakan berhenti hanya demi berdetak semakin cepat.


'Janina, let's meet today. Five o'clock. At Saturday Coffee.'


[].

Continuă lectura

O să-ți placă și

1.3K 159 1
Jendral Vesperine, pemimpin Pasukan Emas, unit pengamanan elit yang tugas utamanya melindungi Presiden menerima mandat dari Republik untuk menikah la...
33K 5K 17
Amiya Chairani (24) harus segera move on! Hubungan gelapnya dengan Raditya Putera (28) harus segera berakhir. Ketika Amiya dihadapkan dengan hubungan...
47.4K 8K 18
Berteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitm...
3.5M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...