A Little Thing Called : QUERE...

Od ayuusaa

97.9K 11.5K 4K

[ Family, Brothership, Sicklit ] Biru tidak pernah akan berhenti menyebut keluarganya sebagai sumber bahagia... Viac

01. Home
02. Sneak Away and Meet Someone
03. Drop
04. Fear of Something
05. Sorry, Biru
06. Theodore is Back
07. Second Meizie
08. The Tale of Natalie
09. Nightmare & Decision
10. Meizie School
11. Begging For Something
12. Bad Feeling
13. Sick and Bad News
14. Grief, Cardiac Arrest, and ICU
15. Slightly Better
16. A Different Side of Jonathan
17. One Day with Papa
18. Someone is Coming
19. Ameera and Her Grandson
20. Feeling Lonely
21. The Meaning of Querencia
22. A Trap
23. Beginning of Disintegration
24. Divorce
25. Broken Querencia
26. Tears of Solitude
28. Anxiety
29. Help Me, Pa. I Need You.
30. Restlessness
31. Bad Condition
32. Comeback
33. Towards Happiness?
34. When The Time Stops [End]
[Bon Chap ] Florenz Side Story : Hiraeth

27. Ruined Heart

2K 330 149
Od ayuusaa

Suara rintik hujan terdengar sejak dua jam lalu, tepat ketika Biru terbangun dari tidurnya. Tidak terjadi untuk yang pertama kali, sebab hari-hari sebelumnya pun Biru dibangunkan oleh fenomena alam tersebut, seolah mewakili tangisnya yang tak lagi keluar karena lelah.

Entah sejak kapan, Biru jadi terbiasa dengan suhu dingin, tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang rentan. Ia hanya perlu sesuatu yang menenangkan dan salah satunya adalah menikmati hujan dari balkon, seperti yang dilakukannya sekarang. Bermodal pakaian tipis, Biru nekat berdiam diri di tengah-tengah embusan angin yang berlomba memasuki kamarnya.

Pandangannya tertuju pada gerbang utama yang berada beberapa meter dari mansion. Lama memantau, harapan Biru untuk melihat gerbangnya terbuka tidak juga terjadi. Terakhir kali, gerbangnya terbuka ketika Biru pulang dari rumah sakit, memasuki mansion hanya untuk mengetahui kalau ia akan ditinggalkan sendiri. Setelah itu, Biru sama sekali belum pernah meninggalkan mansion barang sejengkal pun. Selain karena hujan terus datang, Biru juga tidak ingin melewati momen melihat keluarganya pulang, meskipun sampai saat ini masih menjadi angan-angan semata.

"Kamu nggak ikut main, Biru?"

Biru menatap tangannya yang kini digenggam oleh seseorang. Kala menoleh untuk melihat siapa yang datang, Biru hanya bisa tersenyum dan bergumam pelan, "Enggak, Grandpa."

Biru kemudian menoleh ke halaman depan, terbayang akan momen di mana keluarganya bermain golf di bawah sana, sementara ia hanya bisa melihat dan ditemani oleh mendiang kakeknya. Mengingat jawaban yang diberi Theodore ketika bertanya mengapa beliau tidak ikut bergabung dengan yang lain, Biru berhasil dibuat sesak.

"Ada hal lain yang lebih Grandpa suka dibanding main golf, Biru."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Menemani kamu. Grandpa nggak bisa biarin kamu sendiri di sini."

Biru mengusap tangannya sendiri, merasakan genggaman yang terasa nyata meskipun hanya berupa khayalan. Pandangnya kembali ke tempat di mana keluarganya bermain. Biru tidak tahu apakah momen itu bisa diulang kembali atau tidak. Biru juga tidak tahu sampai kapan ia akan berlayar dalam kesendirian.

Merasa sudah mencapai batasnya, Biru mengambil langkah untuk mundur, kembali ke kamar dan menutup rapat-rapat pintu balkon. Sempat terdiam sebentar, pandangan Biru mulai teralih pada buku-buku yang ada di meja belajar. Biru sudah lupa, kapan terakhir kali ia sekolah.

Tidak bisa terus menerus larut dalam sedih, Biru mulai berpikir untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa. Ia pun bergerak untuk memilah buku yang biasa ia gunakan untuk sekolah. Biru harus membuktikan pada Jonathan bahwa ia bisa bertahan dalam kesendirian yang direncanakan olehnya.

Kala fokus membereskan meja belajarnya, Biru seketika berhenti bergerak kala mendengar suara yang tak asing. Biru tahu betul bagaimana suara tawa kedua adiknya, juga nada marah yang dilemparkan Julian ketika diganggu oleh mereka. Suara-suara yang terdengar dekat itu membuat fokus Biru teralih. Maka dengan gerakan cepat, Biru langsung keluar dari kamar untuk mencari keberadaan mereka.

"Athalla, Haidar!"

Dengan tak sabaran, Biru berlari sampai ujung tangga hanya untuk mendapati dirinya seorang diri. Kala menyadari kalau ia lagi-lagi berkhayal, Biru seketika menghentikan langkahnya. Perlahan, ia menjambak rambutnya sendiri, menyesali diri kenapa masih juga terkecoh oleh suara-suara yang datang tanpa diundang.

"Kak Biru, tolong aku! Kak Julian mau tenggelamin aku juga Athalla!"

Biru mulai menutup kedua telinganya saat mendengar suara Haidar menyapa telinga. Jantungnya berdegup kencang karena kembali dihampiri rasa takut.

"Biru, istirahat. Kakak bilang jangan dulu keluar!"

"Kak, Kendra pukul aku lagi. Bisa tolong obatin?"

Biru perlahan mundur dan terseok-seok hingga berakhir terjatuh, menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas lantai dua. Suara-suara yang menghampiri seolah memaksanya untuk terus berkhayal kalau keluarganya masih ada.

"Tolong, p-pergi," cicit Biru, masih dengan kedua tangan menutup telinganya. Matanya bahkan terpejam, takut suara-suara itu berubah jadi bayangan manusia.

Menjadi seseorang yang terus dikelilingi oleh banyak orang dengan perhatian yang begitu besar membuat Biru tidak pernah berpikir akan berada di posisi seperti ini. Tiba-tiba saja, suara lainnya mulai bermunculan seolah mendesak Biru agar jatuh ke dalam jurang depresi.

Kamu memang nggak berguna, Biru. Karena itu yang lain pergi tinggalin kamu sendiri. Kamu sendirian.

Biru menggeleng, semakin mengeratkan jambakan bersamaan dengan gumaman penolakan.

Semua orang pergi. Semuanya pergi karena kamu memang pantas ditinggalkan.

"Berhenti, tolong." Biru menggelengkan kepalanya cepat, berkata dengan lirih disusul air mata yang berlomba-lomba untuk keluar.

Lebih baik kamu menyerah.

Kamu nggak berguna.

Kamu nggak berguna.

Kamu pantas sendirian.

Biru tidak tahan lagi. Ia pun melepas alat bantu dengarnya, lalu berteriak sekencang mungkin. Mansion yang tadinya sepi mulai dipenuhi oleh isakan yang tidak kunjung berhenti, diikuti oleh permintaannya agar suara-suara itu pergi.

Biru mulai ragu dengan ucapannya sendiri yang akan membuktikan pada Jonathan kalau ia mampu bertahan hidup sendiri. Biru tidak bisa. Biru tersiksa.

***

"Ken? Kendra?!"

Kendra perlahan membuka mata kala merasakan goyangan kecil di bahu. Dengan muka bantalnya, ia mulai bangun dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, baru sadar kalau ia masih di sekolah dan tak sengaja tertidur.

"Udah jam istirahat. Enggak akan ke kantin?" tanya Giselle, satu-satunya penghuni kelas yang berani mengajaknya bicara dengan santai.

Kendra mengusap wajahnya kasar, berusaha mengusir kantuk yang akhir-akhir ini selalu datang. Ia hanya menanggapi pertanyaan Giselle dengan gelengan kepala. Gadis itu tidak banyak bertanya, lekas pergi dengan teman-temannya dan membiarkan Kendra sendirian.

Sembari menguap, Kendra melihat ke arah jendela, mendapati hujan yang masih belum juga berhenti sejak pagi. Anehnya, dibanding dingin, Kendra malah merasa gerah dan berakhir membuka vest merahnya. Tidak terbiasa diam di kelas, Kendra pun memutuskan untuk ke luar tanpa tujuan.

Kala berjalan di lorong dan melewati beberapa tempat, pandangan Kendra tak luput dari orang-orang yang berlalu lalang dan berkumpul di satu tempat, mengobrol dan melayangkan candaan satu sama lain. Kendra memalingkan wajahnya dan berakhir menunduk. Dalam langkahnya, ia menyadari hari-harinya di sekolah sekarang sama persis ketika Jaffin dan Brandon belum datang dulu. Kendra pernah sendiri dan tidak mengenal apa yang namanya teman.

Setelah semua yang terjadi--perdamaian antara Florenz juga perginya Brandon dan Jaffin--Kendra hanya fokus belajar, cenderung abai dengan sekitarnya dan tidak tertarik untuk bersosialisasi. Sendiri bukan hal buruk. Setidaknya lebih baik dibanding menjalin pertemanan yang tidak bisa dipercaya seutuhnya.

Namun, tidak bisa dipungkiri hari-harinya di sekolah benar-benar membosankan. Ini bahkan baru menginjak hari ke-tiga semenjak ia kembali ke sekolah setelah sebelumnya berlibur bersama Jericho, menghabiskan waktu bersama untuk mengganti hari yang pernah disia-siakan. Hubungannya dengan Jericho sudah lebih baik dan semakin mendekat. Karenanya, Kendra merindukan kakaknya sekarang. Sayangnya, Jericho belum pulang dan masih mendekam di luar kota untuk pekerjaannya.

Selama tiga hari ini, Jericho tidak ada dan Kendra cukup malas untuk langsung pulang ke mansion yang hanya diisi oleh para pekerja.

Tersadar dari lamunan, Kendra langsung menghentikan langkahnya kala sampai di ujung. Benar-benar definisi berjalan tanpa arah sampai-sampai tidak sadar jaraknya dengan kelas sudah cukup jauh. Kendra hendak berbalik untuk kembali. Namun, sebuah tempat menarik perhatiannya. Vending machine dan kursi yang berada tepat di depan matanya membawa Kendra pada ingatan masa lalu. Kendra ingat betul apa yang pernah dilakukannya di tempat itu.

Biru. Kendra pernah membuatnya tersedak, membiarkan Jaffin dan Brandon membicarakan tentang kekurangannya. Kendra hanya bisa menyesali diri karena pernah melakukan hal bodoh dan tak bermoral.

Teringat kejadian itu, Kendra dibuat penasaran dengannya. Sudah cukup lama ia tidak bertemu dengan Biru, pun dengan si kembar Florenz. Terakhir kali setelah insiden Biru dengan Brandon dan Jaffin, Athalla dan Haidar sempat meminta maaf padanya dan Jericho, tetapi setelah itu mereka menghilang.

Kendra pun tidak lagi berinteraksi karena Jericho memintanya untuk melupakan masalah tersebut dan mengajaknya berlibur. Melihat vending machine di depannya, Kendra sontak mengeluarkan kartu untuk mengambil beberapa minuman. Tidak butuh waktu lama bagi Kendra untuk sampai di kelas lain yang hanya berjarak lima ruangan dari kelasnya. Matanya mengintip lewat jendela hanya untuk menemukan wajah-wajah yang tidak dikenalnya.

"Cari siapa, Ken?"

Seseorang bertanya dari ambang pintu. Kendra tidak mengenalnya, tetapi tidak heran mengapa orang itu tahu namanya. Siapapun tahu kalau Kendra merupakan adik dari Jericho Meizie, juga terkenal karena masalahnya dengan Florenz.

"Kak Biru ada? Athalla juga Haidar? Mereka pergi ke mana?" Kendra bertanya, sembari melihat name tag yang tertera pada vest siswa di depannya, Ankara.

"Loh, kamu nggak tahu? Athalla juga Haidar, kan, udah pindah."

Kendra memaku kala mendengar kabar itu. Ankara melanjutkan perkataannya. "Kalau Kak Biru, dia udah lama nggak masuk. Kami sekelas nggak ada yang tahu kenapa dia absen lama. Wali kelas cuma kasih kabar soal mereka berdua. Terakhir kali dengar soal Kak Biru, bukannya dia sakit karena kasus Brandon juga Jaffin? Mungkin dia masih sakit? Semua orang juga tahu, kan, kalau dia punya ...."

Ankara tidak melanjutkan perkataannya sebab yakin kalau Kendra pasti tahu apa yang ia maksud.

"Soal Biru, kami nggak tahu banyak karena kami nggak dekat. Terlebih Biru terhitung anak baru. Kalau pun memang sakit, kami masih sungkan buat jenguk dia."

Kendra memandang beberapa minuman yang ia beli. Tadinya, ia mau membagikan minuman itu pada mereka bertiga, hendak mengawali hubungan yang baik sebagai saudara. "Aiko Gayatri, Kak Biru dekat sama dia. Dia nggak tahu?" Kendra bertanya setelah teringat akan gadis yang selalu berada di sisi Biru.

"Aiko juga pergi sejak dua minggu lalu sama anak kelas sebelah, Ryu. Ada pertukaran pelajar ke Jepang. Mereka mungkin nggak tahu kabar soal Florenz."

Ankara meletakkan kedua tangannya di dada, menatap heran Kendra yang terlihat berbeda semenjak kepergian Brandon dan Jaffin. "Kalau kamu penasaran kenapa nggak tanya Pak Jericho? Dia pasti tahu. Kami juga penasaran kenapa dua kembar itu pindah sementara Kak Biru nggak ada kabar."

Kendra menggeleng pelan. Jericho tidak mungkin tahu karena ia masih berada di luar kota. Urusan sekolah dipercayakan pada orang lain. Kendra akhirnya mundur dan memilih untuk kembali ke kelas.

"Omong-omong, sejak kapan kamu peduli? Bukannya dari dulu kamu selalu ganggu mereka, ya?"

Nada yang dilontarkan Ankara seolah mengejeknya sebagai mantan pembuat masalah. Namun, Kendra tidak begitu terpengaruh dan tetap berjalan menuju kelasnya. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah Biru. Di mana kakak sepupunya itu berada sekarang?

***

Siang itu, Jericho baru saja kembali dari acara rapatnya dengan klien. Memasuki kamar hotelnya, Jericho mulai melepas dasi yang semula terpasang di kerah kemejanya. Tangannya kemudian bergerak untuk meraih ponsel, berencana untuk menelepon Kendra, sekadar bertanya bagaimana sekolahnya.

Namun, Jericho dibuat mengernyit kala mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari nomor asing. Jericho tidak ingat siapa pemilik nomor tersebut. Mengenyampingkan tujuan utamanya, Jericho memilih untuk menghubungi balik nomor tersebut, takut-takut ada hal penting soal pekerjaannya.

Tak lama, panggilan tersambung. "Halo?" Jericho memulai sapaan. Untuk beberapa detik, Jericho tidak mendapat jawaban. Begitu hendak berbicara, Jericho dibuat terkejut oleh suara yang keluar.

"Saya ingat kamu pernah berusaha buat dapatin maaf saya."

Jericho masih terkejut, tak menyangka seorang Julian akan menghubunginya.

"Meskipun saya udah terima maaf kamu, bukan berarti semuanya selesai. Saya masih ada rasa benci sama Meizie."

Jericho tidak tahu harus menanggapinya seperti apa karena merasa yang terjadi sekarang terlalu tiba-tiba. Ia tidak menangkap maksud Julian yang menghubunginya hanya untuk membahas hal yang sudah berlalu. "Kamu mau Kakak lakuin apa?" Jericho bertanya langsung pada intinya.

Di sisi lain, Julian terdiam kala Jericho menyebut dirinya dengan panggilan Kakak. Jujur saja, Julian tidak suka akan hal itu, tetapi ia tidak bisa mengutarakannya sekarang. Ada hal lain yang lebih penting untuk disampaikan.

"Kamu mau saya hapus rasa benci itu?"

Jericho menghela napas dibuatnya. Dengan tenang ia menjawab, "Itu terserah kamu. Kakak nggak akan maksa kamu hapus rasa benci itu, karena Kakak tahu apa yang Kakak lakukan di masa lalu salah. Kamu berhak benci." Perkataan Jericho mampu membungkam Julian. "Kakak tahu ada yang kamu mau. Cukup bilang apa yang kamu mau, Julian. Kakak nggak akan keberatan, apa pun itu. Sebagai balasan karena kamu udah terima maaf Kakak sebelumnya."

Julian masih terdiam di sana, sementara Jericho setia menunggu jawaban. "Julian?"

"Temani Biru."

Jericho mengernyit heran. "Temani Biru?"

"Tolong jaga Biru, anak itu sendiri sekarang."

Jericho semakin bingung dibuatnya. Sebenarnya apa yang terjadi dan kenapa Biru bisa sendiri? Jericho hampir menanyakan hal itu pada Julian sebelum akhirnya ia menerima jawabannya lebih awal.

"Keluarga Florenz hancur."

***

Mansion Florenz kosong.

Setelah pulang sekolah, Kendra memutuskan untuk pergi ke sana hanya untuk mendapati fakta tersebut. Sebelumnya, Kendra sempat mengunjungi rumah sakit tempat Biru dirawat, tetapi yang didapat hanyalah info kalau Biru sudah lama keluar dari sana.

Berulang kali mengetuk pintu dan berteriak memanggil Biru, Kendra tidak mendapat jawaban. Ketika berkunjung, biasanya ada pekerja yang akan menyambut dan menyuruhnya menunggu, tetapi kali ini Kendra tidak menemukan siapa pun di sana. Mansion terasa mencekam karena terlampau sepi tanpa suara sedikit pun.

Kendra kembali melirik ponselnya, menatap beberapa panggilan yang ia tujukan untuk Biru berakhir tidak ada jawaban. Sama halnya dengan Athalla dan Haidar.

Mulai menyerah, Kendra pun tak lagi mengetuk pintu dan berbalik. Ia kembali memakai helm dan mulai melajukan motornya, melewati gerbang Florenz yang sejak awal tidak dalam kondisi terkunci. Ia mulai membelah jalanan dan menjauhi mansion.

Dalam perjalanan pulang, entah kenapa perasaan Kendra mendadak tidak enak. Ia mulai memikirkan bagaimana jika Biru ternyata ada di mansion dan dalam kondisi buruk. Kendra merutuki dirinya sendiri karena tidak terpikirkan hal itu sejak awal, menyesal karena tidak mencoba menerobos masuk bagaimana pun caranya.

Kendra akhirnya putar balik dan kembali menuju mansion Florenz. Masih jauh dari tujuan, tetapi Kendra mendadak menepikan motornya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena yang dicari sudah berada di depan mata. Kendra tidak menyangka akan menemukan Biru yang baru saja turun dari taksi. Dilihatnya, Biru mulai berjalan seorang diri dengan langkah yang amat pelan.

Kendra mengedarkan pandangannya, baru sadar kalau ia menepi tepat di depan pemakaman. Melihat Biru yang memasuki tempat itu, Kendra pun segera menyusulnya.

***

Hujan sudah berhenti, sementara mendung masih betah membuat bumi gelap. Gemuruh terdengar sesekali, menandakan hujan masih bisa datang kapan saja. Mencari tujuan untuk meninggalkan mansion yang tak berhenti menyiksanya, Biru pun berakhir di depan makam Fransiska.

Di tengah embusan angin yang menjatuhkan embun yang singgah di dedaunan, Biru yang semula menunduk untuk berdoa mulai mengangkat wajahnya, menatap dalam nama yang terukir pada nisan. Biru menarik napas pelan, lantas mulai berbicara untuk menumpahkan isi hati.

"Ma, Grandpa pernah bilang kalau orang bisa berubah kapan aja. Biru percaya, tapi Biru sama sekali nggak pernah menyangka kalau Biru bakal alami hal itu. Biru pikir, orang-orang yang selama ini ada buat Biru nggak akan pernah berubah dan balik arah buat pergi."

Biru terdiam sejenak, menahan sesak yang datang. "Biru salah kira. Selama ini, hubungan mereka buruk. Mama Vanya sakit hati. Di pengadilan sewaktu Papa juga Mama Vanya cerai, Kak Julian juga Kak Setya sama sekali nggak ragu buat tinggalin Biru. Sementara Papa, dari awal Papa memang nggak pernah berubah."

Biru mulai berlutut di samping makamnya, kembali bercerita. "Perkataan Grandpa mungkin bisa dibilang udah terbukti, tapi ... boleh, kan, kalau Biru masih berharap?" Biru mengusap nisannya lembut. "Biru masih mau nunggu mereka buat kembali pulang. Biru mau nunggu, sampai kapan pun."

Biru tidak berbohong dengan ucapannya. Jika memang demikian keluarganya tidak tulus, setidaknya dari beribu perhatian yang mereka beri, pasti ada ketulusan meskipun sekecil kerikil. Biru hanya harus yakin kalau mereka akan kembali. Biru putus asa, ia tidak bisa hidup tanpa mereka.

Melihat langit yang terus bergemuruh, Biru kembali berdiri, memutuskan untuk kembali. "Ma, Biru tinggal, ya. Mungkin, nanti ada saatnya Biru datang temani Mama. Bukan cuma sekadar singgah, tapi ... temani Mama selamanya."

Sementara itu, Kendra masih betah memantau Biru di balik pohon. Posisinya yang cukup jauh membuat Kendra tidak bisa mendengar dengan jelas apa saja yang Biru ucapkan pada mendiang ibunya.

Kala melihat Biru berdiri dan mulai meninggalkan makam, Kendra akhirnya keluar dari persembunyiannya. Ia berencana mengikuti Biru dan memastikannya pulang dengan selamat sampai mansion. Kendra tidak tahu dari mana datangnya keinginan untuk memastikan Biru baik-baik saja, yang jelas ia benar-benar tidak keberatan melakukan hal ini. Terlebih, ia butuh petunjuk soal keluarga Florenz yang bak hilang ditelan bumi.

Merasakan ponselnya bergetar, Kendra memelankan langkahnya untuk menjaga jarak dengan Biru yang berada di depannya. Jericho menghubunginya. "Di mana? Kakak dapat kabar kalau kamu belum di mansion."

Sembari mengikuti Biru, Kendra mulai mencari alasan lain. "Aku ada tugas bareng teman, Kak. Sebentar lagi aku pulang. Kenapa?"

Mata Kendra membulat saat melihat Biru yang sempat terhuyung. Tidak sampai terjatuh tetapi berhasil membuat Kendra cemas. Dilihat dari wajahnya saja, Kendra sudah tahu kalau Biru tidak sedang dalam kondisi yang baik. Kendra menahan keinginannya untuk menghampiri, membiarkan Biru kembali berjalan seorang diri.

"Ken, waktu di sekolah kamu lihat Biru?"

Kendra mengernyit heran kala Jericho tiba-tiba menanyakan soal Biru. Namun, tak lama ia pun mengerti. Mungkin saja sang kakak sudah tahu soal apa yang terjadi pada keluarga Florenz. "Kak Biru nggak sekolah. Ada yang mau Kakak kasih tahu?" Jericho tidak langsung menjawab dan diamnya membuat Kendra mati penasaran. "Kak?"

"Mereka cerai, Ken."

Kendra seketika menghentikan langkahnya. Tubuhnya mendadak kaku, terlalu terkejut dengan pernyataan yang baru saja didengarnya. Ia bahkan tidak mampu membalas Jericho yang memberinya jawaban atas kosongnya Mansion Florenz.

"Tuan Jonathan sama Nyonya Silvanya udah cerai, delapan hari lalu. Kakak baru tahu kabar ini dari Julian. Dia minta Kakak buat jaga Biru karena sekarang dia sendiri. Semua orang tinggalin dia."

Melihat Biru yang mulai menjauh, Kendra kembali mengikutinya. Kendra tidak tahu ke mana Biru akan pergi. Dilihatnya, Biru seperti orang yang kehilangan arah. Entah karena tidak kuat berjalan atau apa, Biru tiba-tiba menghentikan sebuah taksi dan memasukinya. Tidak ingin ketinggalan, Kendra pun segera mundur untuk menghampiri motornya.

"Ken, kalau kamu nggak keberatan, Kakak mau ajak Biru ke mansion. Kita--"

"Tanpa Kakak minta pun aku bakal bawa dia!" Kendra membalas dengan penuh penekanan. Setelah mendengar kabar buruk soal Florenz, perasaan Kendra menjadi buruk soal Biru.

***

"Nak, sudah sampai."

Sopir taksi yang mengantar Biru menoleh ke belakang, mendapati Biru yang hanya melamun. "Nak," panggilnya sembari menyentuh kaki Biru guna menyadarkan anak itu. "Sudah sampai."

Biru yang tertangkap basah melamun menjadi tak enak. Ia pun langsung keluar dan mengucapkan terima kasih. Sepeninggal taksinya, Biru mulai merasakan dingin yang menyapa tubuhnya. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, kini tubuh Biru mulai bereaksi. Biru terlalu memaksakan diri untuk melawan dingin sejak kemarin.

Biru memijat kepalanya sejenak kala pusing mendera. Kala menyentuh lehernya, Biru bisa merasakan hawa panas yang menyengat. Biru sadar ia tengah diserang demam, tetapi hal itu tak menjadi penghalang untuknya mengunjungi tempat yang ia tuju.

Di depannya, sebuah pantai menunjukkan keindahannya meskipun langit masih gelap. Sayangnya, sore ini pantai sepi karena hujan deras membuat volume air laut menjadi lebih tinggi dari biasanya. Meskipun tidak ada larangan untuk pergi ke sana, peringatan akan ombak besar tetap berlaku dan orang-orang memilih tidak datang.

Bersama angin yang masih berembus, Biru mulai menginjak pasir pantai dan berjalan seorang diri, berdiri di tepian yang teraih ombak. Biru memejamkan matanya sejenak seraya menghirup udara segar, menikmati suasana sepi. Berbeda dengan mansion, sepi yang Biru rasakan di sini terasa menenangkan. Pikirnya, haruskah ia menetap di sini demi menjauhi suara juga bayangan-bayangan yang menghantui di mansion?

Biru kemudian merogoh saku celananya, mengambil satu botol obat yang ada. Obat utama yang selama ini menjadi penyelamat hidupnya. Sejujurnya, selain obat, ada hal lain yang membuat Biru bertahan sampai sekarang. Sayangnya, mereka yang menjadi alasan Biru hidup telah pergi.

Jonathan adalah satu-satunya yang Biru beri tahu soal bertahannya Biru di tengah penderitaan sakitnya. Di Montreal kala itu, di mana Biru menghabiskan waktunya bersama Jonathan seharian penuh, Biru tanpa ragu memberi tahu keinginannya untuk hidup lebih lama. Sederhana, yakni ingin kembali menghabiskan waktu bersama Jonathan.

Biru tidak ingin mati. Ia masih bertahan dan menunggu momen itu kembali datang. Akan tetapi, Jonathan tampaknya menganggap hal itu sepele dan tidak begitu penting. Perceraian yang terjadi juga mengetahui soal Jonathan yang hanya memanfaatkannya demi mengingat Fransiska membuat Biru harus mengubur keinginannya.

Biru mengusap air matanya yang berjatuhan. Saat fokus menatap botol obatnya, Biru merasa kakinya dihantam ombak. Biru pun beralih menatap lautan di depannya. Lagi, ombak yang lebih besar berhasil membuatnya terhuyung. Entah kenapa, Biru merasa terhibur dengan datangnya ombak-ombak yang silih bergantian menyerangnya. Tangisnya dalam sekejap berganti dengan senyuman. Merasa tak nyaman dengan sepatunya yang basah, Biru pun membukanya, mulai menapaki pasir dengan kaki telanjang. Ia lagi-lagi tersenyum kala ombak menghantam kakinya.

Awan yang mendung perlahan mulai menurunkan rintik-rintik kecil. Biru mendongak, membiarkan wajahnya basah karena gerimis yang datang. Bukan lagi tersenyum, kali ini Biru tertawa seorang diri. Ketika ombak mulai menjauh dan kembali ke tengah-tengah, Biru seolah kehilangan euforianya. Tanpa berpikir panjang, ia mulai mengikuti air laut yang menyurut, tanpa sadar berjalan menjauhi bibir pantai.

Melihat ombak yang lebih besar datang, Biru bersiap menyambutnya tanpa rasa takut. Meskipun terlihat tenang, Biru tahu ombak itu melaju dengan cepat. Benar saja, kali ini ombaknya berhasil membuat Biru terjatuh dan basah kuyup. Merasa tidak puas, Biru semakin berjalan ke tengah, menganggap ombak-ombak itu sebagai temannya. Setengah tubuhnya bahkan sudah berendam di air laut sekarang.

"Kak, jangan pergi terlalu jauh!"

Samar-samar, Biru mendengar teriakan seseorang. Tidak begitu jelas sebab alat bantu pendengaran yang digunakan tidak ia pasang dengan baik. Alat itu cukup menganggu, tetapi Biru tidak ingin melepaskannya karena ingin mendengar deru ombak yang berdatangan.

"Kak Biru! Jangan diam di sana!"

Kali ini, teriakannya lebih kencang. Biru perlahan berbalik, melihat seseorang berlari ke arahnya. Bukan hanya suara yang terasa samar, kali ini penglihatan Biru pun memburam. Biru tidak tahu siapa yang datang.

Di saat kaki Biru melemas, detik itu juga ombak terbesar menghantamnya, menyeret tubuhnya yang mendadak kehilangan kendali. Biru menahan napas kala merasa terombang-ambing di dalam air dan perlahan tenggelam. Biru yang tidak sempat bersiap mulai kehilangan pasokan oksigen. Biru tidak bisa menahan napasnya lebih lama hingga akhirnya membiarkan air masuk ke dalam tubuh sehingga kesadarannya terenggut saat itu juga.

***

"Kak Biru! Kak!"

Kendra basah kuyup. Selain karena terjun ke laut untuk membawa Biru yang terseret, gerimis juga tidak kunjung berhenti. Setelah memergoki Biru cukup lama, Kendra akhirnya berani keluar kala merasa ada yang salah dengan Biru yang terus berjalan menuju tengah laut. Kendra salah langkah. Dibanding memunculkan diri dan menemani Biru sebagai teman bercerita, Kendra malah membiarkan Biru sendiri dengan dalih ingin menyendiri. Kendra tidak berpikiran panjang soal seseorang yang tengah hancur rentan untuk melakukan hal-hal buruk.

Kendra bersyukur ia bisa membawa Biru kembali ke darat dan menemukannya masih bernapas. Sebuah keberuntungan Biru tidak tenggelam untuk waktu yang lama. Kendra masih berusaha mengembalikan kesadaran Biru dengan cara apa pun.

Usahanya tidak sia-sia. Sadarnya Biru ditandai oleh suara batuk yang berulang, disusul batuk terakhir yang mengeluarkan seteguk air. Biru akhirnya bangun dan merespons dengan kedipan mata.

Kendra menghela napas lega. Tadinya, ia hendak marah karena mengira Biru melakukan percobaan bunuh diri. Akan tetapi, setelah melihat tatapan Biru yang sendu, Kendra mendadak melunak. "Kak?" Kendra memanggil dengan lembut.

Biru selesai mencerna soal apa yang baru saja terjadi. Biru pikir ia akan mati, tetapi ternyata Tuhan masih membiarkannya hidup lewat Kendra. Biru terkekeh pelan, berpikir bahwa ia benar-benar harus bersabar menunggu keluarganya kembali.

Kendra tidak tahu apa yang tengah Biru pikirkan. Meskipun Biru tersenyum, wajah pucatnya yang kentara berhasil membuat Kendra khawatir. "Kak, aku antar pulang ke mansion."

Biru seketika melunturkan senyumnya. "J-jangan pulang," ujarnya dengan gigi yang mulai bergemetuk, menggigil kedinginan.

"Kenapa?" Kendra sengaja bertanya, ingin memastikan Biru akan menjawabnya dengan jujur atau tidak. "Aku nggak takut dimarahi Kak Julian atau Kak Setya."

Biru menggeleng perlahan. "Bukan itu. Mansion sepi, Ken."

"Ke mana yang lain pergi?"

"Mereka ... mereka pergi liburan."

Kendra mengepalkan tangannya, menahan sesak yang datang karena tahu Biru berbohong. Kendra benci itu. "Semua orang pergi?"

Biru mengangguk lemah. "Mereka cuma pergi sebentar. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kakak di sini nunggu. Sejak kemarin Kakak selalu nunggu." Biru kembali tersenyum, tetapi matanya mulai berkaca-kaca. "Kakak selalu tunggu, tapi ... mereka nggak pulang. Mereka nggak pulang, Ken. Mereka--"

Biru tidak selesai berbicara karena Kendra menghentikannya dengan sebuah pelukan. "Aku tahu," gumam Kendra, mengundang keterkejutan dari Biru. "Aku tahu, Kak. Jangan bohong lagi."

Pada akhirnya, Biru tak lagi menahan tangisnya.
Kendra membiarkan Biru melampiaskan emosinya. Meskipun tubuhnya sama-sama basah, Kendra berharap pelukannya bisa menghangatkan Biru yang kedinginan. Kendra tertegun mendengar tangisan Biru. Selama ini, Biru tidak pernah menampakkan kerapuhannya dan hari ini, Kendra bisa melihat dengan jelas bagaimana hancurnya Biru yang disebabkan oleh keluarganya sendiri. Biru memperlihatkan kesedihannya yang begitu mendalam. Kendra tidak menyangka, bagaimana bisa Biru yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya kini sendiri dan hampir mati terseret ombak karena frustrasi.

"Kak, ayo kita pulang." Kendra kembali mengajak Biru pulang. "Aku nggak akan bawa Kakak ke Mansion Florenz." Tangisan Biru sudah berhenti, sementara Kendra masih melanjutkan ucapannya. "Tawaran itu, aku masih bisa ambil, kan? Aku mau jadi adik Kakak. Ayo kita pulang ke Mansion Meizie."

Kendra masih menunggu jawaban pasti, tetapi Biru belum juga bersuara. Kendra tak bisa menyembunyikan paniknya, mulai melepas pelukannya hanya untuk mendapati Biru yang sudah tak sadarkan diri. Suhu tubuhnya tidak lagi dingin, tetapi berganti dengan panas yang menyengat.

Sembari mengontrol paniknya, Kendra menyusut darah yang mendadak keluar dari hidung Biru. Ia pun membawa Biru dalam gedongan, berencana membawanya ke tempat teraman agar keadaannya membaik.

"Jangan takut, Kak. Ada aku juga Kak Jericho. Kak Biru nggak sendiri."

[ B E R S A M B U N G ]

***

Capek juga ngetik angst.

Besok-besok aku bikin
karakter komedi kayak
Budi aja gimana😭

Sekarang bisa tenang ya,
Biru bakal ditemenin

Kendra juga Jericho.

Senang akhirnya bisa
update satu minggu
sekali seperti awal mula.

Jangan bosen-bosen, ya.
Biru sebentar lagi tamat, kok.
Gwenchana, kan?

Sampai jumpa di
chapter berikutnya.

***

Beberapa foto untuk chapter kali ini

[ Biru - Kendra - Jericho]

***

A Little Thing Called
Q U E R E N C I A
2023

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

1.1K 177 5
[ Family & Brothership ] Rahesha Aksara is the owner of the story because Pusat Arsaloka is him. *** Written by @ruiranava Copyright 2023
68.3K 9.6K 32
Reynar Raksa Nugraha hanya punya satu keinginan yaitu dia tak ingin merasakan kehilangan, namun kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Mau tidak ma...
27.8K 2.8K 24
(Selesai) ✔ Gejala aneh itu membuat hidup Bima berantakan dan tidak teratur, terlebih dirinya menjadi sulit fokus. Hidup dikelilingi orang-orang suks...
Aksara Semesta Od Naa Rin♡

Tínedžerská beletria

5.7K 820 11
Tentang dia yang tidak bisa memilih takdir. ✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏ brothership-family story, bukan bl atau sejenisnya. meskipun cerita ini masih amburadul...