Wulfer : The Black Snout [Lea...

By ashwonders

1K 148 187

Gelora kekuatan. Gelegak amarah. Hasrat memburu. Wulfer Van Leanders adalah salah satu dari lima bersaudara... More

1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14

8

36 7 4
By ashwonders

"KAU tahu betapa sulitnya mengendalikan kuda-kuda brengsek ini?"

Terdengar gerutuan bercampur umpatan frustasi Rutger dari arah tempat duduk kusir di depan. Beberapa jam yang lalu, Wulfer telah mengizinkan Rutger membersihkan diri dan memberikannya pakaian bersih dan rapi yang membuat penampilannya lebih kelihatan seperti pedagang terhormat alih-alih keparat tukang mabuk asal Vossensteeg. Bahkan Wulfer meminjamkannya kacamata untuk dikenakan. Kini pria besar dan tambun itu bertindak sebagai kusir sekaligus pemilik kereta kuda.

Tak ada pejalan kaki yang dapat melihat isi dari gerobak tertutup di belakangnya selama kereta kuda itu membelah malam melintasi jalanan berbatu menuju tempat perlelangan gelap Vasser. Alamat yang selalu berbeda-beda, yang hanya diketahui orang-orang tertentu pada waktu penyelenggaraan.

Wulfer dapat merasakan laju kereta yang tidak mulus, juga ringkikan dan derapan kuda-kuda yang gelisah. Bagaimana tidak? Indera penciuman mereka pastilah mengendus aroma predator dari arah kerangkeng besar di dalam gerobak. Sebuah keajaiban mereka belum melarikan diri hingga saat ini. Mungkin karena Wulfer sengaja berada berdekatan dengan kuda-kuda itu sejak kemarin, berusaha membiasakan mereka dengan aromanya. Atau pengaruh rum dan jerami yang diberikannya banyak-banyak sore tadi sebelum berangkat, semacam 'tanda gencatan senjata' sementara.

Wulfer bersandar dalam kerangkeng besinya dalam diam, masih berwujud manusia. Sesungguhnya, dia sendiri merutuki kenekatannya menjalankan rencana ini. Kemungkinan berhasilnya sangat kecil bila dibandingkan resiko dia tertangkap dan dibakar oleh khalayak ramai.

"Masih sulit dipercaya Moncong Hitam yang sedang heboh dibicarakan di koran adalah salah satu putera dari bangsawan terkenal Aldert Van Leanders..." terdengar gumaman Rutger lagi dari arah depan, membuat Wulfer akhirnya memutuskan untuk menanggapi kebawelan pria itu.

"Kau akan terkena serangan jantung bila tahu lebih dari itu soal keluarga Leanders."

"Kemungkinan besarnya aku bakal mati dalam misi gila ini, jadi toh sama saja." pancing Rutger.

Wulfer mendengkus, "Usaha yang bagus."

Rutger berdecak.

Walaupun dia telah melakukan kesepakatan dengan Rutger--dan pria itu cepat menguasai diri terhadap wujud Wulfer, juga sejauh ini menunjukkan sikap kerjasama yang cukup mengesankan--Wulfer tidak bisa mempercayai pria itu begitu saja. Biar bagaimanapun, dia buruh miskin asal Vossensteeg, dan hanya para naif yang dapat menaruh kepercayaan mentah-mentah kepada orang-orang Vossensteeg.

"Kau tidak bohong, kan? Soal emas dan kapal itu?" Rutger menyeletuk.

"Kau merendahkan kemampuan finansial anak-anak Leanders?"

"Yah, tidak... tapi--" Rutger terdiam sejenak. Lalu dia berkata lagi, kali ini nadanya sedikit goyah. "Dan... soal Lijsbet?"

Kalau dipikir-pikir, Wulfer yang bersirobok dengan orang se-berpengetahuan Rutger bukanlah murni atas dasar keberuntungan semata. Sejak awal, Wulfer mempertimbangkan Vossensteeg karena itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang 'tahu banyak'. Apalagi rekam jejak pada data penggeledahan milik Wagner menyatakan bahwa sebagian besar barang lelang ilegal bersumber dari pedagang-pedagang gelap asal Vossensteeg. Karena itu pada interogasi Wulfer saat 'sesi penyekapan' Rutger, Wulfer tidak terlalu terkejut mendapati bahwa Rutger tahu banyak mengenai Bloedsteen.

Tetapi Wulfer belum tahu alasan spesifik Rutger mengetahui tentang batu itu.

"Kau bilang Bloedsteen adalah semacam barang yang dulu 'terkenal' di antara para pekerja kapal. Berbahaya dan sangat kuat." Wulfer memulai.

"Ya, benda terkutuk itu." Rutger berucap dengan nada dipenuhi kebencian.

"Mengapa 'terkenal'? Dan apa hubungannya dengan mantan istrimu, Lijsbet?"

Rutger tak langsung menjawab. Selama beberapa saat yang terdengar hanyalah suara roda-roda kereta yang berputar dan beradu dengan kerikil di jalan, juga suara tapak serta dengusan para kuda.

"Kejadiannya sudah lama, ketika aku masih bekerja di galangan kapal. Gaji yang menjanjikan dan kehidupan berkecukupan." Rutger akhirnya bercerita, "Aku dan Lijsbet bertemu sebagai sesama pekerja kapal, dan kami menikah beberapa tahun setelah saling kenal. Kami memutuskan untuk menabung dan membeli rumah yang lebih besar di Buttervia, karena itu pada bulan-bulan itu kami mengambil pekerjaan ekstra. Aku bekerja lembur di pabrik sementara dia mengambil pekerjaan di bawah beberapa pemilik kapal. Lijsbet pintar, berpengetahuan luas, dan cekatan, karena itu dia menjadi pekerja yang lumayan diandalkan dan sering direkrut.

"Suatu hari, Lijsbet mengatakan padaku bahwa ada seorang pemilik kapal yang menemuinya dan ingin mempekerjakannya untuk membantunya mencari sebuah batu. 'Batu merah yang memiliki nadi', katanya. Pencarian itu harus dilakukan diam-diam dan tanpa ketahuan siapapun. Dan imbalannya sangat mencengangkan. Kami begitu tergiur. Andai saja saat itu aku tahu batu macam apa yang hendak diselidikinya, aku akan membawa Lijsbet keluar dari kota ini secepat yang kubisa.

"Penyelidikan Lijsbet dan si pemilik kapal berlangsung cukup lama, namun tak kunjung membuahkan hasil. Saat itu akupun mencoba membantunya mencari tahu soal batu itu, namun sulit sekali mendapatkan informasi. Hingga suatu hari Lijsbet pulang dan memberitahuku bahwa mereka menemukan petunjuk.

"Lijsbet dan si pemilik kapal berangkat ke suatu tempat dengan kereta kuda, dia tidak diperbolehkan memberitahukan lokasinya kepadaku karena terikat kontrak. Namun lewat beberapa hari dari waktu yang dijanjikan Lijsbet, mereka tak kunjung pulang. Aku tidak mampu lagi membendung kekhawatiran, setiap hari aku selalu mengunjungi rumah si pemilik kapal, bahkan kapal miliknya, namun rumah maupun kapalnya selalu kosong. Tapi suatu malam, akhirnya aku menemukan kereta kuda si pemilik kapal sudah terparkir di depan rumahnya.

"Ketika itu aku menyerbu rumahnya lebih dulu, mengira keduanya sudah masuk ke dalam. Namun lampunya gelap dan pintunya terkunci. Aku menghampiri kereta kuda dan membukanya, menemukan..."

Rutger mengatupkan rahangnya.

"Lijsbet dan si pemilik kapal telah tewas... tubuh mereka sepucat kapur, tergolek di dalam kereta seperti boneka kayu yang sendi-sendinya patah, d-dengan kulit keriput dan menempel ke tulang-tulangnya... seolah... seolah seluruh darah mereka habis disedot sesuatu."

Rutger pastilah menarik tali kekang para kuda terlalu kencang, menyebabkan mereka berderap agak terlalu cepat dari seharusnya. Namun Wulfer tak kuasa memprotes.

"Aku membongkar rumah si pemilik kapal seperti orang gila, dan berhasil menemukan surat perintah resmi dari Raja untuk pencarian batu itu, batu yang mereka sebut sebagai Bloedsteen, juga ciri-cirinya, dan mengetahui bahwa rupanya si pemilik kapal adalah letnan pasukan militer kerajaan yang tengah menyamar demi pencarian itu."

Rutger menarik tali kekang hingga kuda-kuda itu berhenti. Wulfer hanya dapat melihat siluet punggung pria itu dari balik kain penutup gerobak kereta. Di tengah keadaan yang mendadak sunyi tanpa bunyi-bunyian kereta yang melaju, dengan tubuh tetap menghadap ke depan, pria itu berkata kepada Wulfer dengan suara yang gemetar, namun penuh tekad.

"Dengar, aku menghabiskan bertahun-tahun berkubang dalam kesedihanku akan kehilangan Lijsbet, ketakutan akan pihak kerajaan yang mengancamku untuk tutup mulut akan insiden dan keberadaan batu itu... dan sekarang takdir mempertemukanku denganmu. Kau... kau kuat. Aku tidak peduli dengan tujuanmu, benda macam apa sebenarnya batu terkutuk itu... yang jelas bila kau bisa membantuku menemukan pembunuh Lijsbet, aku akan melakukan apapun yang kauinginkan."

Wulfer menggenggam jam sakunya.

"Kita akan keluar dari sana hidup-hidup." Wulfer berkata, untuk pertama kalinya merasa yakin dan percaya diri atas keputusannya malam ini, "Dan aku akan menepati janjiku."

Rutger menelan ludah gugup seraya menarik kembali tali kekang kuda untuk melanjutkan perjalanan mereka, "Dimengerti."

🌒

"Tidak mungkin. Kau menangkapnya?"

"Hidup-hidup dan terkurung dengan aman."

Tiga orang penjaga berseragam serba hitam dan berpenutup mulut tengah memeriksa Rutger dan kereta kudanya sambil memicingkan mata, skeptis akan pengakuan pria tambun besar itu ketika dia mengatakan bahwa dia menangkap bocah monster yang tengah diburu dan membawanya ke sini untuk diikutsertakan ke dalam lelang.

"Di sini yang tertera di sebelah namamu adalah 'pistol antik'..." salah satu penjaga meneliti dokumen di tangannya, sementara dua yang lain memandangi ke arah gerobak tertutup di belakang kursi kusir, "Bukan 'monster'."

"Sudah kukatakan, aku menggantinya dan membawakan sesuatu yang lebih berharga." Rutger mulai kesulitan menutupi kejengkelannya, "Kalian bisa periksa sendiri."

Kain penutup gerobak tersibak.

Salah satu penjaga memanjat naik, mendekati kerangkeng dengan waspada. Dia menaikkan lentera yang dipegangnya lebih tinggi hingga sejajar dengan wajah, berusaha melihat dengan lebih baik.

"Itu hanya... bocah." kata si penjaga, kebingungan.

Wulfer memalingkan wajah ketika cahaya menyilaukan dari lentera itu menyinari matanya. Dia mengerahkan konsentrasi hingga dia dapat merasakan taring-taring panjang membentuk di dalam mulutnya, serta cakar-cakar tajam tumbuh di ujung-ujung jemarinya.

Penjaga itu membelalak, "A-apa yang..."

Wulfer menolehkan wajahnya kembali untuk menatap penjaga itu tepat di matanya, lalu menyeringai.

Wulfer menerjang ke depan sedemikian mendadaknya hingga penjaga itu terjungkal ke belakang dan lentera yang dipegangnya terjatuh dan pecah. Gerobak bergoyang-goyang akibat Wulfer yang berusaha memberontak dari rantai besi yang mengikat kaki serta tangannya. Dia mengeluarkan geraman dan raungan marah.

"AAARGH!" penjaga itu turun dari gerobak dengan panik, "Dia betulan!"

"Apakah aman membawanya masuk ke dalam?!" penjaga yang satunya mengeluarkan senjata api dari sarung pinggangnya.

Rutger buru-buru mengangkat kedua tangannya, "Wah, wah. Sebentar. Dia hanya kesal karena kau menyorong-nyorongkan lentera ke wajahnya..."

Rutger kemudian berjalan menaiki gerobak dan melemparkan daging mentah ke dalam kerangkeng. Kemudian ketika dia keluar lagi dan menutupi gerobaknya dengan kain, keadaan telah kembali sunyi.

"Entahlah, dia... riskan." penjaga yang memegang senjata berkata.

"Kau tahu identitasnya?" penjaga yang membawa dokumen bertanya.

Rutger memutar otaknya cepat, "Aku menemukannya di hutan dan dia tidak bisa bicara! Dengar, aku sudah berkendara ke sini seharian, mempertaruhkan nyawa demi menangkap bocah terkutuk itu... aku tidak peduli mau diapakan dia nantinya, yang jelas aku butuh uang. Kerajaan berani membayar dua juta gulden demi menemukan anak ini, tapi dua juta itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang bisa kudapatkan kalau dia laku malam ini. Bila dia kauloloskan, kita bisa bagi hasil."

Dua penjaga saling bertatapan, sementara si penjaga utama menyipitkan mata.

"Tiga perempat untukku, seperempat untuk kalian. Bagaimana?" tawar Rutger.

Penjaga itu mendekati Rutger dengan perlahan.

"Kami tahu identitasmu." ujarnya pelan, "Kau tidak bisa kabur."

Rutger nyengir lebar, "Jadi, kita sepakat?"

Penjaga itu memandangi Rutger dingin sebelum akhirnya mengangguk. Dia menyerahkan surat izin khusus agar Rutger bisa masuk, lalu berteriak ke arah gerbang, "Buka!"

Tak menghabiskan waktu, Rutger segera menghela kuda-kudanya hingga kereta bergerak maju melewati gerbang besar tempat pemeriksaan barang dilakukan.

"Akting bagus." Rutger menggumam dari sudut bibirnya, yang kedengaran oleh Wulfer.

Dari dalam kerangkeng, Wulfer juga mendengar seruan-seruan para penjaga memerintahkan Rutger untuk menuju tempat tertentu. Dan akhirnya, kereta berhenti. Setelah beberapa saat mencuri dengan pembicaraan Rutger dengan penjaga-penjaga lainnya, kain disibakkan. Rutger memanjat masuk dan mulai berbicara dengan cepat.

"Kau harus turun." bisiknya sambil membuka gembok kerangkeng, "Dan ada sedikit masalah, aku tidak bisa membawamu ke dalam mansion dengan kerangkeng jadi aku harus membawamu ke dalam dan kau akan dipindahkan ke kerangkeng mereka."

"Bukan masalah besar. Aku masih bisa menghapal denah." Wulfer mengamati Rutger berlutut di dekatnya untuk membuka gembok yang mengunci rantai kakinya dengan jeruji bawah kerangkeng. Namun pria itu tidak melepas borgol yang merantai kedua tangan dan lehernya.

"Kalau begitu kau harus melakukannya sambil tutup mata." kata pria itu.

"Mengapa?"

Rutger mengulurkan kedua tangannya, seolah bersiap menggendong Wulfer. "Aku bilang pada mereka aku memberimu obat bius."

"Apa?"

"Tenang saja, aku sudah biasa bawa beban berat."

"Aku bisa menghancurkan rantai sial ini dan mencekikmu kapan saja."

"Aku tahu." Rutger bahkan tak repot-repot menyanggah.

Maka tak lama kemudian, Rutger turun dari gerobak bersama Wulfer di atas salah satu pundaknya. Pria besar itu membopong Wulfer yang berpura-pura tertidur seperti membawa sekarung beras.

Sepanjang perjalanan dengan kawalan empat orang penjaga bersenjata, Wulfer menajamkan pendengaran dan penciumannya. Dia berkonsentrasi, mendengarkan langkah, gaung, aroma. Berapa banyak Rutger membawanya berbelok, berapa kali Rutger mengetukkan jemarinya ke punggung Wulfer untuk menandai pintu-pintu yang mereka lalui, serta menyimak gumaman pria itu tentang penjaga-penjaga yang ditempatkan di sudut-sudut tertentu. Sesekali, Wulfer membuka sedikit celah matanya untuk mengamati sekitar dan berusaha menyerap semuanya dalam waktu singkat. Hingga akhirnya, langkah-langkah itu terhenti dan bunyi gemericing kunci terdengar.

Wulfer merasakan Rutger membawanya memasuki ruangan yang tertutup, dinilai dari betapa senyap keadaan di sekelilingnya. Lalu terdengar bunyi gemericing lagi dan deritan pintu besi, dan pria itu meletakkan Wulfer yang masih berpura-pura tertidur di lantai.

"Kau dan monstermu harus berada di sini sampai kami menjemputmu tiga jam lagi. Ada yang berjaga di luar pintu jadi jangan coba macam-macam."

Setelah semua penjaga meninggalkan ruangan dan mengunci pintu, Wulfer membuka matanya.

Dia telah berada di dalam kerangkeng kecil di tengah sebuah ruangan berdinding batu dengan penerangan remang-remang. Kerangkeng itu memiliki roda di bawahnya, mungkin untuk memudahkan perpindahan ketika lelang berlangsung. Hanya ada sebuah kursi kayu di sudut, nampan berisi makanan dan kendi air, serta bilik kecil berpintu separuh yang  Wulfer duga merupakan kakus.

"Kupikir mereka akan menyimpanmu di ruangan yang sama dengan barang-barang lelang lainnya." kata Rutger, mengamati sekeliling.

"Mereka tidak mau ambil resiko memasukkan monster yang dapat mengacau ke ruangan penuh berisi barang berharga." ujar Wulfer sambil mengamati kerangkengnya. Dia menyentuh salah satu jerujinya dan menyadari itu hanya kerangkeng yang terbuat dari besi biasa. Bagus.

"Kenapa tidak remukkan saja gemboknya? Atau bengkokkan jerujinya?" Rutger mengusulkan, teringat akan kekuatan bocah laki-laki itu dalam wujud monster serigala saat cengkeramannya mengelilingi leher Rutger dan mengangkatnya dari tanah seolah dirinya seringan bulu.

"Gemboknya harus tetap terlihat utuh." gumam Wulfer, menarik lepas engsel tersembunyi pada borgol tangannya dengan menggunakan gigi, lalu melepaskan engsel di borgol lehernya hingga seluruh rantai-rantai berat itu terjatuh dengan berisik ke dasar kerangkeng.

"Masalahnya..." Rutger melepas kacamata yang dikenakannya dan mencopot salah satu gagangnya. Dari dalam gagang itu, dia menarik keluar sebuah jarum panjang dan pipih yang kemudian diserahkannya kepada Wulfer. Tanpa membuang waktu, Wulfer mulai mengutak-atik gembok kerangkeng, "...aku pesimis trik ini bakal berha--"

Clang!

Gemboknya terbuka.

"--sil."

Wulfer mengabaikan Rutger yang menggaruk-garuk belakang lehernya salah tingkah, dia menghampiri pintu ruangan dan mulai mengutak-atik lubang kuncinya dengan jarum yang sama.

Ada untungnya juga menjarah peralatan di dalam kantormu, Vader.

Tak butuh waktu lama hingga pintunya terbuka.

Wulfer dan Rutger sudah bersiap untuk menghadapi penjaga yang menghadang, namun secara mengejutkan, koridor di luar ruangan mereka ternyata kosong melompong.

"Kau bilang pengamanan Vasser luar biasa ketat." ujar Wulfer dengan nada curiga kepada Rutger, yang sama bingungnya.

Keduanya tidak sempat lagi memikirkan apakah ini jebakan atau bukan, karena mereka hanya punya sedikit waktu. Rutger menutup pintu ruangan di belakangnya, "Saatnya berpencar."

"Dengar." Wulfer mencengkeram siku Rutger ketika mereka hendak berpisah jalan, menyebabkan pria itu berjengit kesakitan, "Temukan batunya dan kembali ke sini. Jika kau berkhianat, aku akan memburumu."

Rutger merapatkan rahangnya, "Aku perlu menagih janjimu soal Lijsbet, jadi tak ada gunanya mengadukanmu."

Mereka saling bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya Wulfer melepas cengkeramannya.

"Sampai jumpa tiga jam lagi." Wulfer berkata.

Rutger mengangguk.

"Mari kembali dengan utuh."

🌒

A/N:

Bagaimana pendapatmu tentang Rutger? Bisakah Rutger dipercaya? Akankah dia kembali sesuai perjanjian?

Jangan lupa cek cerita saudara dan saudari Wulfer lainnya!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats by Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout by me :)
3. Eberulf: The Black Fang by Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand by Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell by ZiviaZee






Continue Reading

You'll Also Like

101K 254 6
Khusus 21+ Menceritakan seorang wanita bersuami yang ditiduri oleh banyak laki-laki
349K 19.9K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
77.4K 8.1K 24
Zoana lexy, sebuah karakter piguran dalam sebuah novel, dimana piguran itu baru saja keluar dari hutan, dan mati saat bertemu dengan pemeran utama. ...
888K 76.9K 33
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...