Aku berbalik, menoleh kepada laki-laki paruh baya yang baru saja menginstruksikanku untuk langsung menaiki tangga rumah, sebab alih-alih terus berjalan, aku justru terdiam. Lelaki paruh baya tersebut adalah Ayahku, orang yang telah membeli rumah panggung itu seminggu yang lalu. Awalnya Ayah tinggal di mess karyawan tambang batu bara ENC, tapi kehadiranku membuat ia harus tinggal di luar mess. Entah terpaksa atau tidak, tetapi kini tanggung jawabnya bertambah karena harus menjaga putri semata wayang tinggal bersamanya.

Aku sedikit takut, kalau-kalau kehadiranku akan menambah beban Ayah. Terlebih ada perasaan canggung karena aku sudah lama tidak tinggal serumah dengannya. Ayah dan Ibuku berpisah saat usiaku tujuh tahun. Sepuluh tahun setelahnya, aku tinggal bersama Ibu. Sampai akhirnya Sang Pencipta berkehendak lain. Ibuku harus terlebih dulu meninggalkan dunia sebulan yang lalu.

Tiga puluh hari belum menghilangkan rasa dukaku sama sekali. Aku masih saja teringat kenangan tentang Ibu dari hal terkecil. Susu dan sarapan yang selalu ia siapkan sebelum aku berangkat sekolah, kejutan bekal yang ia selipkan dalam tas, kamar tidurku yang tiba-tiba rapih saat aku lelah, dan banyak lagi. Tak akan habis bila kusebutkan.

"Hara? Ayo!" ajak Ayah seraya membawa koper hitam serta tas jinjing mendahuluiku menaiki anak tangga. Kemudian, kulihat Ayah menoleh ke kiri, mengangguk dan memberi senyum kepada keluarga rumah cat putih yang tadi menatapku tajam, dan aku enggan memastikan keluarga itu membalas senyum Ayah atau tidak.

Masih berdiri di tempat, kutatap wajah Ayah yang berjanggut tipis dengan pandangan heran. Menurutku dia laki-laki yang baik. Ketika melihat teman-temanku tertawa bahagia bersama keluarganya yang lengkap, kadang aku tidak bisa mengerti alasan dulu Ibuku meminta Ayah untuk bercerai. Pernah aku bertanya perihal alasannya, tetapi sejak mereka bilang itu urusan orang dewasa, aku tidak pernah bertanya lagi.

Menaiki tangga, aku berdiri di samping tubuh tinggi tegap Ayah, mengamati kebingungannya yang sedang merogoh tas selempang.

"Ah, di mana kuncinya, ya?" gumam Ayah kepada dirinya sendiri.

Merasa tidak mampu memberi jawaban yang membantu, aku hanya diam. Lalu, iseng menyentuh kayu-kayu cokelat kehitaman yang disusun vertikal di hadapanku. Ternyata jika diperhatikan, dinding yang tersusun dari kayu itu lumayan indah. Dari indera perabaku, bisa kurasakan kayu-kayu tersebut berkualitas baik. Mungkin harganya tidaklah murah.

"Itu namanya kayu besi," terang Ayah tanpa kutanya.

"Kayu besi?" ulangku, beralih menatapnya.

Ayah tersenyum. "Ya. Penduduk Neilborn menyebutnya begitu."

Aku mengangguk-angguk paham. "Hmmm... indah."

"Tentu. Harga kayu itu akan mahal jika dijual di pulau lain. Makanya, sekarang banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab melakukan penebangan liar," kata Ayah, membenarkan dugaanku bahwa kayu tersebut memang tidak murah.

Wajah Ayah melega setelah berhasil menemukan kunci. Sementara dia membuka pintu, otakku memproses kalimat Ayah tentang penebangan liar. Aku ingat, pernah begitu tertarik menulis artikel mading tentang isu tindakan ilegal tersebut semester kemarin. Namun, meski sebenarnya bahasan itu masih membuatku tertarik, aku tidak melontarkan tanggapan, karena ada yang lebih menyita perhatianku sekarang.

Ternyata suasana dalam rumah itu tak seburuk yang aku bayangkan. Ruang tamu ukuran tiga kali empat meter itu sangat bersih, dengan kayu-kayu yang mengkilap. Bahkan aku mengakui kalau ornamen kayunya menciptakan kesan elegan. Vas putih berhias tiruan bunga lily melengkapi dua kursi kayu yang saling berhadapan di pojok sana.

Aku segera tertarik menelusur lebih jauh, mencari ruang yang akan menjadi kamarku. Lorong pendek menyambutku usai meninggalkan ruang tamu. Ada dua kamar di sisi kanan kirinya. Salah satu kamar di sebelah kanan pintunya bercat pink.

When the Shadows FallМесто, где живут истории. Откройте их для себя