Geliat kehidupan malam mulai tercipta. Jakarta kota yang tidak pernah sepi. Temaram jalanan justru menjadi tempat untuk mengais rezeki. Sepanjang jalan trotoar berubah menjadi surga untuk para penjual makanan kaki lima. Soledad memutuskan untuk makan nasi goreng kambing di daerah Kebon Sirih. Tempat kuliner yang cukup terkenal dan murah. Tak perlu lama mengantri, satu piring nasi goreng hangat dengan keharuman rempah yang khas disertai air minum mineral telah terhidang di depan mata.

****

Beberapa pasang mata genit menatapnya. Soledad tidak peduli. Saat itu baginya bukan waktu yang tepat untuk menebarkan pesona. Kehidupan pribadi tidak bisa dicampuradukkan dengan pekerjaan. Hawa malam terasa dingin. Sedingin hati Soledad. Lampu-lampu metropolitan mulai menampakkan kecantikan yang fana. Aroma kehidupan malam begitu kental tercium.

Setelah selesai makan, gadis itu beranjak menuju parkiran mobil. Suasana di sekitar Kebon Sirih setiap malam selalu ramai. Apalagi warung nasi goreng kambing ini selalu berhasil membius dan menarik para pembeli untuk singgah ke tempatnya. Harganya pun ramah di kantong.

"Kak, mau beli tisunya? Murah kok, cuma lima ribu aja."

Terdangar suara lirih di samping Soledad. Gadis itu menoleh. Seraut wajah mungil dengan jilbab menutupi kepala tengah memandangnya polos. Di tangan kiri terdapat kantong hitam besar dan tangan kanannya memegang tisu kemasan pelastik sedang. Wajah itu berharap Soledad sudi membeli jualannya.

"Mau beli, Kak?" pertanyaan itu berulang.

"Boleh, bawa sini!" perintah Soledad sambil tersenyum.

Gadis kecil itu tertawa senang. Walaupun keadaan sedikit gelap, Soledad bisa menangkap sekilas pendar bahagia di mata anak itu. Senang karena jualannya semakin berkurang dan uang uang yang didapat bertambah.

"Kakak mau ambil berapa?"

"Tisu kamu di kantong ada berapa lagi?" Soledad balik bertanya.

"Bentar ya, Kak!"

Tangan mungil itu gesit membuka kantong hitam. Lalu dihitungnya dengan cepat. Soledad memandang penutup kepala yang dipakai anak penjual tisu. Jilbab langsung berwarna pink itu terbuat dari kaos. Ada sedikit bercak di bagian depannya. Lusuh dan tipis. Mata Soledad seolah terkunci saat anak itu tiba-tiba mengangkat wajah dan menatapnya.

"Ada dua belas tisu lagi, Kak."

"Ya udah, Kakak ambil semuanya, ya! Eh, nama kamu siapa?"

Paras mungil itu tersenyum lebar. Rasa senang di hatinya menjalar hingga ke permukaan wajahnya dan mengirimkan binar-binar tulus ke hadapan Soledad. Rasa suka dan ingin tahu menyeruak dalam dadanya.

"Arni!"

Sebuah nama singkat dan sederhana terucap dari bibir mungil gadis kecil bermata bulat. Usianya sekitar tujuh tahun. Soledad mengambil selembar uang berwarna merah lalu menyerahkannya pada Arni. Gadis kecil itu menerimanya, tetapi wajahnya sedikit berkerut.

"Kakak engga punya uang pas? Aku enggak ada uang kembaliannya. Cuma ada segini."

Tangan mungil itu membuka genggamannya. Ada dua lembar uang lima ribuan yang sudah lecek dan lusuh. Mungkin itu hasil penjualan sebelumnya. Soledad terenyuh. Dia hendak mengatakan jika uang itu tidak perlu dibalikkan, tetapi gadis kecil itu sudah memutuskan sesuatu.

"Kakak tunggu di sini ya! Aku mau tukerin dulu." Arni berlari menuju arah lain.

Mata Soledad mengikuti kepergian gadis kecil itu. Seorang anak laki-laki pengamen berusia lebih tua darinya menjadi tujuan. Tak lama kemudian Arni datang kembali sambil berlari dengan napas yang tersengal-segal. Keringat membasahi dahi. Empat lembar uang lima ribuan dan sepuluh lembar dua ribuan diserahkannya pada Soledad.

Gadis itu menggeleng. Dia merasakan ada perjuangan berat di balik uang-uang kumal yang ada di tangan Arni. Irisan perih menyapa bilik kalbunya. Diajaknya Arni duduk di trotoar samping jalan.

"Ambil saja kembaliannya buat Arni. Buat nambahin uang jajan ya! Eh, Arni udah makan belum?"

Mata Arni menatapnya. Ada keraguan yang membisu. Tak lama kemudian sebuah gelengan kepala pelan tertangkap pandangan. Soledad mengerti.

"Tunggu di sini ya! Kakak mau beli dulu nasi goreng. Arni mau 'kan nasi goreng?" Arni mengangguk.

Soledad kembali ke warung tenda nasi goreng kambing. Setelah membayar dan menunggu sebentar, tiga bungkus nasi beserta satu porsi sate sudah di tangannya. Soledad kembali menuju parkiran mobil. Arni masih ada di sana. Wajahnya menunduk. Di sampingnya ada anak laki-laki pengamen yang tadi di datangi.

"Kak, ini Kak Epan. Kakak Arni." Arni memperkenalkan anak laki-laki di sampingnya.

Anak berkulit hitam itu mengangguk sopan. Usianya sekitar sepuluh tahun. Badan gempal dengan rambut kaku. Di tangannya terdapat gitar kecil yang biasa dipakai para pengamen jalanan. Dari gestur tubuhnya Epan menjadi seorang pelindung buat adiknya.

"Epan, bawa pulang Arni ya! Udah malam. Nih, bawa makanan. Engga perlu jualan atau ngamen lagi malam ini. Tuh dengar, udah ada suara geledek. Bentar lagi mau hujan."

Setelah memberikan bungkusan nasi, Soledad merogoh dompet di dalam tasnya. Beberapa lembar uang berwarna biru dijejalkan ke tangan Arni. Gadis kecil itu dan Epan terkejut lalu saling memandang. Epan seolah menjadi penentu keadaan. Dia kemudian mengangguk. Arni menyodorkan kembali uang itu pada Soledad. Mata Soledad terbelalak. Heran dan tidak mengerti.

"Maaf, Kak. Kami enggak biasa nerima uang dari orang yang baru kenal. Emak enggak ngebolehin. Kecuali uang hasil kerja jualan tisu atau ngamen. Nah, uang dari Kakak 'kan bukan hasil kerja. Emak bilang, kalau kami enggak kerja belum bisa dapetin upah." Epan bersuara. Arni menganggukkan kepalanya, tetapi bibirnya mengerucut.

Soledad terpana. Nyeri membalut hati. Bukan karena tersinggung, tetapi dia merasakan sebuah kepatuhan dan kejujuran dari ucapan mereka. Begitu kuat nasihat seorang ibu tertancap di relung jiwa.

"Bagaimana kalau uang ini kalian terima, tapi kalian harus ngerjain sesuatu. Gimana?" Epan dan Arni menatapnya dengan bingung.

"Gimana kalau kalian menemani Kakak ngobrol di sini? Udah lama Kakak enggak ketemu sama keluarga di kampung," tawar Soledad, Epan mengalihkan pandangan ke arah adiknya.

Akhirnya, setelah dibujuk, mereka berdua setuju. Agar lebih enak suasananya, Soledad kemudian mengajak keduanya ke sebuah taman. Penerangan di tempat itu cukup terang. Kini Soledad bisa melihat jelas wajah Arni dan Epan. Dua anak yang harus merasakan kerasnya kehidupan Jakarta.

Dari kedua mulut bocah itu pula Soledad mendengar banyak kegetiran hidup yang mereka nikmati dengan penuh kesabaran. Terkadang sambil tertawa Epan bercerita pergi ke sekolah dengan sepatu yang sudah koyak atau Arni yang mencuci baju seragam dua hari sekali karena hanya memiliki satu setel saja. Hanya jilbab yang cukup banyak dimiliki--ada enam potong--karena setiap hari selalu dikenakannya.

Soledad merasakan sebuah cerita baru dengan irama yang berbeda dari kehidupannya. Dia pernah merasakan hal yang pahit dulu. Setelah dunia berada di tangan, dia kembali merindukan masa yang telah lewat. Arni dan Epan telah membawanya kembali ke lorong waktu itu. Ada rasa malu menyelusup ke dalam jiwa. Anak-anak polos itu mau berjuang dengan cara yang baik. Berbeda dengan jalan yang dipilihnya saat ini. Soledad merasa malu dan tertampar.

*** Bersambung ***

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Where stories live. Discover now