Ketika Kuchisake Onna Jatuh Cinta [ Part B ]

Bắt đầu từ đầu
                                    

"Baiklah, besok pagi jam delapan kutunggu di halte biasa ya." Kalau dulu dia mencium tangan Chisa, kali ini dia membelai kepalanya sembari meluruskan rambut panjangnya yang memang selalu terlihat sedikit berantakan.

-Aku akan datang untukmu, pangeranku- ujar Chisa membatin.

***

Minggu pagi pukul 8.00

Ada sedikit perbedaan dalam penampilan Chisa hari itu. Rambut panjangnya yang semula kusam dan acak-acakan, kini tergerai lurus dan rapi. Pakaiannya, biasanya ia memakai jas lebar berwarna cokelat, kini ia memakai kemeja pink ketat berlengan pendek dan rok mini selutut, mempelihatkan lekuk tubuh langsingnya yang benar-benar memukau, bak model yang biasa berjalan diatas catwalk. Sangat berbeda dengan penampilan biasanya yang terlihat horror.

Chisa berjalan melintasi jalan kecil tempat ia pertama kalinya bertemu dengan pria berjaket putih itu. Dari kejauhan, pria berjaket putih melambaikan tangan kearahnya. Padahal mereka berjanji untuk ketemuan di halte yang biasa. Mereka tidak mengira akan bertemu di sini.

"Nona cantik, kau baru sampai. Kukira kau sudah lama menungguku di halte."

"Emmm," jawab Chisa pelan sembari menggelengkan kepala.

"Aku berusaha datang secepat yang kubisa agar kau tidak perlu menungguku terlalu lama," lanjutnya lagi pada pria itu.

"Kalau begitu ayo kita ke halte." Lagi-lagi tak disangka, pria itu menggandeng tangan Chisa seolah mereka benar-benar sudah pacaran. Chisa sendiri wajahnya semakin memerah dan hatinya semakin berdebar-debar.

Mereka pun berjalan menuju halte untuk naik bus. Dan saat itu, munculah enam anak SD yang berpapasan dengan mereka. Refleks, Chisa memeluk lengan kiri pria itu dan menyembunyikan wajahnya. Si pria menatapnya heran ketika didengarnya anak-anak itu berbisik-bisik sembari menatap sinis kearah Chisa.

"Kau baik-baik saja? Apa kau mengenal mereka?" mendengar pertanyaan itu Chisa menjawab singkat.

"Tidak, mereka anak-anak yang dulu pernah mengejekku."

"Begitu ya?"

Mereka pun tiba di halte dan langsung menaiki bus menuju karnaval. Perjalanan selama dua puluh menit pun mereka habiskan sembari membahas seputar wahana yang akan mereka mainkan.

Tiba di karnaval, mereka pun bersenang-senang menikmati ragam wahana. Mulai dari roller coaster yang melesat cepat, komidi putar yang berputar lembut, serta kesukaan si pria yaitu bianglala super tinggi. Chisa pun terkagum-kagum melihat pemandangan dari ketinggian tersebut, sementara si pria berjaket putih tersenyum melihat ekspresi riang Chisa.

***

"Kau memang tipe wanita introvert ya, dari pertama kita berjumpa kau sedikit sekali berbicara," tanya si pria. Saat itu mereka tengah duduk di kursi santai sembari menikmati es krim. Chisa sendiri memperhatikan orang-orang yang lewat sembari menghisap sedotan dari minuman kotaknya. Ia meminum minumannya tanpa melepas maskernya agar ia tetap bisa menyembunyikan bekas luka itu.

"Ya, aku memang kurang terbuka pada siapapun. Aku selalu merasa risih dengan penampilanku yang seperti ini. Aku khawatir aku tidak akan punya teman dengan bekas luka robek ini," tuturnya.

"Itu sebabnya kau selalu bertanya 'apakah aku cantik' pada siapapun?" Pria itu bertanya sembari melucu dengan menirukan gaya khas Chisa. Gadis itu tertawa melihatnya.

"Begitulah, aku selalu membenci siapapun yang memandang rendah orang lain dari tampilan fisiknya. Padahal fisik itu bukan segalanya."

"Yap, aku setuju denganmu. Jika kau jadikan ucapanmu tadi sebagai quote untuk instagram, pasti kau akan dapat ratusan like." Pria itu mencoba melawak lagi agar bisa melihat senyum ceria Chisa dari balik maskernya. Chisa hanya menutup maskernya, mencoba menahan tawa.

"Ngomong-ngomong siapa yang menabrakmu, dan apa dia memberimu ganti rugi?" lanjut si pria.

"Tidak, ini bukan karena kecelakaan jika itu maksud pertanyaanmu."

"Memangnya apa yang terjadi sebelumnya?" mendengar pertanyaan itu, Chisa menatap kosong kearah puncak bianglala di depannya. Ingatannya memutar kembali rekaman kenangan buruk yang menimpanya di masa lalu.

"Saat kecil aku pernah jadi gadis populer di SD-ku. Setiap siswa selalu berusaha untuk mendekatiku, membuat begitu banyak siswi-siswi lainnya yang iri dan dengki padaku. Tidak jarang aku menerima perlakuan buruk dari mereka, sementara para siswa menolongku hanya karena ada maunya saja. Selalu seperti itu hingga aku SMA, bahkan lebih buruk lagi. Aku pernah difitnah sebagai penyebar gosip buruk seputar cowok-cowok klub basket. Akibatnya, mereka yang kesal padaku langsung menyiksaku dan memperkosaku dibelakang sekolah. Setelah selesai, mereka menyayat bibirku dengan cutter sebagai peringatan."

"Kenapa tidak kau adukan pada polisi?" sela si pria jaket putih dengan wajah serius.

"Sudah kulakukan, namun mereka tidak menuntaskan penyelidikan. Ada yang bilang bahwa orang tua dari mereka yang menyakitiku membayar uang sogok pada para polisi, entahlah."

"Bagaimana orang tuamu?"

"Aku tidak punya orang tua, sejak kecil aku tinggal bersama pamanku yang menyebalkan. Saat dia tahu keadaanku seperti ini, dia malah mengusirku." Chisa menceritakan semuanya sembari meremas kuat kotak minumannya. Terlihat dendam dan kesedihan itu masih belum memudar.

"Saat aku melintasi orang, banyak dari mereka yang menggosipiku dari kejauhan. Dan saat kutanya apa aku cantik mereka menjawab seolah tidak ikhlas, dan jujur itulah yang kubenci dari mereka," lanjutnya lagi. Begitu tersentuhnya batin si pria, sampai-sampai dia merangkul bahu Chisa, berusaha menenangkannya.

"Setidaknya kau masih selamat sekarang, dan itu yang terpenting," ujar pria itu.

"Iya, aku senang bisa bertemu denganmu," ucap Chisa sembari memperlihatkan ekspresi senyumnya di balik masker itu. Si pria hanya tersenyum dengan tatapan haru melihat mata putih pucat Chisa yang berkaca-kaca.

***

Sore harinya mereka memilih untuk pulang dengan menaiki kereta bawah tanah. Chisa merasa puas dan bahagia sudah bisa jalan-jalan bersama pria idamannya. Minggu ini adalah minggu yang akan ia kenang selamanya. Namun berbeda dengan Chisa, si pria malah terlihat murung.

"Kau baik-baik saja?" tanya Chisa. yang ditanya malah cepat-cepat merubah ekspresinya.

"Eh iya aku tidak apa-apa. Aku senang bisa mengajakmu jalan-jalan menikmati akhir pekan cerah ini."

Tak beberapa lama, kereta pun tiba di stasiun pemberhentian untuk si pria berjaket putih. Sebelum kereta berhenti, Chisa menyampaikan ucapan terima kasihnya pada pria itu.

"Terima kasih sudah mau mengajakku, kau orang pertama yang begitu baik padaku sejak aku bermasalah dengan wajah ini." Kali ini, si pria menggenggam kedua tangan Chisa dan menatapnya dengan muram.

"Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu, kebersamaan ini akan menjadi kenangan yang akan selalu kuingat selamanya. Jika suatu hari nanti keadaanmu sudah lebih baik, aku ingin kau selalu mengingat tentang hari ini, tentang kita." Tatapan si pria terlihat serius kali ini.

Dengan lembut, diangkatnya sedikit masker Chisa dan dikecupnya bibir robek itu.

Terasa ada yang mengganjal di hati Chisa. Entah kenapa kalimat itu terdengar seperti ucapan perpisahan. Dalam kebimbangannya, ditatapnya pria itu yang berlalu melewati pintu kereta bersama penumpang lainnya yang akan turun. Chisa menatapnya yang tengah memandanginya dengan ekspresi sedih dari dalam kereta yang perlahan melaju kembali.

-Selamat tinggal, nona cantik.- Tak sempat dia ucapkan kalimat itu padanya.


BERSAMBUNG KE PART C

CLEMENTINE'S ONE SHORT STORYNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ