JDML 2

11 1 0
                                    

"Kamu dari mana, Sekar?" tanya Nisa, ibunda Sekar.

"Dari taman, Bun. Ketemuan sama Samudra," jawab Sekar sambil mencium tangan bundanya dengan takzim.

"Bagaimana reaksinya?"

Sekar duduk di samping bundanya. "Ya ... gitu deh."

"Kamu yakin dengan pernikahan ini, Nak?" tanya Nisa sambil mengusap kepala Sekar yang tidur di pangkuannya.

"Yakin. Insya Allah, semuanya sesuai dengan hasil istikarah yang Sekar lakukan, Bun."

"Bunda hanya bisa mendukung dan mendoakanmu, semoga kamu bahagia bersama pasanganmu nanti."

"Aamiin, ayah mana, Bun?"

"Udah berangkat ke masjid. Katanya ada musyawarah antar pengurus, mungkin laporan keuangan. Sekarang, kan, akhir bulan," jelas Nisa.

"Hmmm ...."

"Buruan wudhu sana, udah azan tuh."

"Sendiko dawuh, Bunda." Sekar bangun dari posisinya dan bergegas menuju kamar mandi yang ada di samping dapur.

🍁🍁🍁

Sementara itu, di tempat lain.
Samudra meletakkan undangan dari Sekar di meja belajar. Tepat di samping sebingkai foto sepasang remaja yang sedang berpose di depan gerbang sekolah saat menjadi peserta MOS. Mengenakan seragam biru putih, khas murid SMP, keduanya mengenakan topi yang di buat dari bola plastik dan diikat menggunakan tali rafia. Tak lupa tas kresek berwarna merah menggantikan fungsi tas selempang, menggantung di sisi kiri keduanya. Keduanya tampak bahagia, terlihat dari ekspresi keduanya yang tertawa lepas. Foto yang diambil oleh ayah Samudra saat sang putra memasuki jenjang pendidikan SMA bersama sahabatnya, Sekar.

Pintu kamar terbuka ketika Samudra merebahkan tubuhnya di kasur.

"Maghrib, jangan tidur!"

"Iya, Ma," jawab Samudra sambil bangun dari tempat tidur yang dilapisi seprei bergambar klub sepak bola favoritnya. Real Madrid.

"Jadi ketemu sama Sekar?" tanya Amira, Mama Samudra.

"Jadi, tapi ... dia mau nikah, Ma," ujar Samudra dengan nada lesu.

"Oh ya?"

Pria dua puluh empat tahun itu mengangguk, tangannya menunjuk ke arah tempat ia menaruh undangan biru dari Sekar. "Tuh, undangannya. Tiga bulan lagi dia nikah."

Amira melihat sekilas undangan yang masih bersampul plastik itu, sepertinya belum dibuka oleh Samudara. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya sudah ikhlasin saja. Sekarang kamu buruan ke masjid. Udah azan."

"Ma, apa Sam tidak bisa bersama Sekar lagi?"

"Semuanya sudah digariskan, Sam. Kita hanya menjalani skenario yang sudah ditetapkan. Berdoa saja, agar kamu juga segera mendapat jodoh yang salihah."

"Tapi aku maunya Sekar, Ma," rajuk Samudra. Persis seperti anak kecil yang menginginkan mainan yang menjadi incarannya. Sulit sekali mengalihkannya.

"Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Kenapa tidak minta langsung saja sama yang Maha segalanya?"

Samudra bangkit dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Sementara Amira keluar dan bersiap menjalankan kewajiban tiga rakaatnya. Tak berapa lama kemudian, Samudra keluar dari kamar mandi. Wajahnya tampak segar setelah berwudhu. Pemuda itu segera mengganti pakaiannya dengan baju koko putih, sarung kotak-kotak perpaduan warna biru muda dan putih. Songkok warna hitam melengkapi penampilannya. Ia bergegas menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak sekitar dua puluh lima meter saja.

Janji di Masa LaluUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum