DUA

85 8 0
                                    

Gladys membantingkan tubuhnya pada kursi kayu kelas sembari membuang nafas kasar.

"Kenapa?" Tanya Salsa, sahabatnya.

"Arul." Gladys menyebutkan satu nama.

"Seriusan dia yang dateng?!" Tanya Salsa kaget.

"Duarius. Gue pun ga percaya. " Gladys menjawab kembali.

"Terus gimana?" Tanya Salsa lagi.

"Emang Lo pernah tau Gue lari dari masalah? Gue mencoba bertahan walau berat." Kata Gladys lirih. Ia seakan kehilangan tenaganya.

"Every little things gonna be alright." Ucap Salsa sambil memeluk Gladys.

"Big thanks." Gladys membalas pelukannya.

-Kembali pada Genggamku-

Senja bahagia itu bersembunyi dibalik gelap gempita awan mendung bak kekecewaan yang jelas tersirat atas wajahmu.

"Makasih udah dateng." Arul tersenyum tipis. Dia orang yang cukup tampan di masa mudanya. Rahang yang tegas, rambut belah pinggir disisir ke belakang dilapisi pomade masih melekat di kepalanya. Tak hilang dari 6 tahun yang lalu.

Gladys hanya merespon dengan senyum tipis.

"Kamu perlu tau, dulu saya nggak pernah selingk-"

"Diem!" Gladys tegas.

"Seharian gue berkutat dengan kimia, fisika, math, pulang-pulang bilangin kek ginian?" Tanya Gladys cepat. Menandakan emosi nya ikut naik. Ia memalingkan mukanya.

"Saya nggak bermaksud seperti itu." Kemudian dia menunduk. Mengepalkan tangannya. Tangan yang sama. Tangan yang masih sekekar dulu. Gladys menatap genggaman itu lekat lekat.

Tetes air mata yang masih sama, padahal nyaris sewindu Gladys tak pernah lagi melihatnya.

Matanya memerah. Frekuensi gurat kekecewaan itu bertambah.

"Tapi kamu perlu tau, kami nggak pernah ada hubungan apa-apa." Dia kembali bersuara, mendangakkan kepala.

"Nggak pernah ya? Tapi bukti-buktinya kuat banget. Lo nggak akan pernah bisa ngelak lagi. Sekarang kami udah tenang. Lo mau ganggu apa lagi?" Jawab Gladys.

"Saya hanya mau meluruskan." Katanya lagi.

"Nggak usah bertele-tele." Gladys menjawab tegas.

"Sebenarnya, 6 tahun yang lalu, mereka berdua sama-sama mempunyai kecurigaan yang sama. Papa kamu juga 'main', kan?" Katanya sambil memberikan beberapa foto, "bukti" katanya.

Air mata Gladys meleleh saat melihat foto-foto itu.

"Itu gimmick!" Katanya sambil menggebrak meja. Perhatian pengunjung lain langsung teralih. Di depannya, Arul tertawa meremehkan.

"Gue denger Papa merencanakan itu di rumah. Papa waktu itu udah jengah, muak dengan semuanya. Agar dia bisa mengambil alasan kuat karena Lo yang selalu mengelak." Sergah Gladys sembari mendangakkan kepala. Tangisnya yang hampir pecah reda teredam kepuasan.

"Namanya Fita. Tante gue. Lo nggak tau, kan? Makanya jangan sedangkal itu pemikiran. Sia-sia kan strategi lo," lanjut Gladys sembari mengeluarkan sebuah foto keluarga. Mata Arul bergerak ke kiri dan kanan. Di kiri, ada keluarga Tante Fita, sisi kanan ada Gladys dan orang tuanya. Ekspresi Arul tak lebih dari kaget.

"Fyi aja sih, foto lo sama nyokap gue gandengan di depan Amplaz masih ada. Senja itu, sesaat sebelum malamnya, orang tua gue bertengkar hebat. Nama lo beberapa kali kesebut. Mau ga mau, gue harus denger dan tahu di umur gue sekecil itu. Anak kelas 4 SD tau apa sih?" Tatapan Gladys berubah menjadi sinis.

Kembali pada GenggamkuWhere stories live. Discover now