Aku tentu saja mengerjap dan menatap Pak Atma yang serius di balik kemudinya. Ini sudah mau sampai di rumah sakit, tapi Pak Atma memang sejak tadi diam saja. Aku sendiri juga canggung, bagaimanapun dia kan bosku.

"Gak suka?"

Dia menoleh ke arahku dan memandangku seperti kesal, aku langsung menggelengkan kepala. Kayak gitu dia galak banget. Masa aku mau dijodohin sama dia? Kalau rumus matematika itu logaritma ketemu sama desimal. Gak nyambung sedikitpun.

"Bukan gitu pak, tapi kan.."

Aku bingung mau bilang apalagi. Toh semua ini masih membingungkanku. Dalam kurun kurang dari 48 jam hidupku benar-benar berubah. Dari yang tidak kenal sedikitpun dengan bos satu ini, sekarang malah aku mau dilamar. Ibu juga tidak menanyakan apapun lagi kepadaku. Apa aku setuju atau tidak.

 "Di sini?"

Suara Atma membuyarkan lamunanku. AKu melirik kaca mobil dan memang sudah memasuki halaman rumah sakit.

"Iya pak."

Akhirnya Pak Atma memarkirkan mobilnya. Aku sendiri sudah turun dari mobil, tapi saat mau melangkah, tiba-tiba Pak Atma ada di sampingku. Dia seperti mengenakan sarung tangan dan tanpa di duga tangan yang memakai sarung tangan itu menggandengku. Ya Allah ini apa?

"Nanti pingsan."

Dia hanya bilang seperti itu dan menarikku untuk melangkah ke lobi. Jadi dia menggandeng tanganku dengan sarung tangan? Jantungku tentu saja berdegup dengan kencang. 

"Eh pak, poliklinik masih buka pak.."

Aku menghentikan langkahnya yang malah akan membawaku ke IGD. Emang aku sakit gawat apa?

Tapi Pak Atma kini menggelengkan kepala. 

"Kamu butuh pertolongan cepat. Wajah udah pucat gitu."

Eh..

Tentu saja aku berhenti begitu saja, membuat Pak Atma akhirnya menoleh ke arahku dan tangan yang digenggamnya terlepas.

"Pak, saya ini cuma pusing. Gak korban tabrak lari."

Mendengar ucapanku malah Pak Atma langsung mendekat ke arahku. Otomatis aku melangkah mundur.

"Jangan sembarangan ngomong."

Aduh salah lagi aku. Akhirnya kuhela nafasku "Saya cuma pusing bapak. Ke polikilinik saja."

Akhirnya Pak Atma menganggukkan kepala, lalu menggandengku lagi dan membawaku ke poliklinik.

***** 

Aku tuh malu, semalu-malunya. Akhirnya aku diperiksain di polilklinik. Tapi sejak mendaftar sampai masuk ke ruangan dokter untuk diperiksa, Pak Atma ikut masuk. Kan dokternya bingung, 'ini yang sakit siapa?' aku jawablah 'saya dok' tentu saja dokternya langsung tersenyum dan bilang 'owh suaminya setia ya'

Pak Atma cuma menganggukkan kepala, selebihnya wajahnya tetap datar, tidak ada senyum satu kalipun. Aku beneran malu sama dokternya yang ramah banget padahal. Nah giliran aku dikasih resep, Pak Atma baru nanyain macam-macam. Aku sakit apalah, obatnya apalah, harus makan apa dan istirahat berapa hari. Itu dokternya malah tersenyum geli, ampun deh aku jadi kayak punya suami yang bener-bener kaku.

"Minum!"

Pak Atma menyodorkan satu botol air mineral kepadaku. Dia memaksaku makan bubur yang dibelikanya di depan rumah sakit. Makannya di dalam mobil karena buburnya dibungkus, setelah itu dia memaksaku minum obat.

"Udah pak."

Obatnya pahit banget, padahal aku gak suka minum obat dengan air, sukanya pake pisang. Tapi mana bisa aku, takut sama pelototan matanya dan alis tebalnya yang bertaut. Serem.

"Tidurlah."

Setelah mengatakan itu, dia memberesi bungkus bubur, lalu membuangnya di tempat sampah. Dia masuk ke dalam mobil dan segera melajukan mobil. Mana bisa aku tidur, kalau semua pertanyaan belum terjawab.

Maka aku putuskan untuk bersandar di jok mobil dan duduk menghadap ke arahnya.

"Pak.."

Diam. Tidak ada jawaban. Duh aku harus memulai bagaimana?

Aku masih menatapnya yang tidak melirikku sedikitpun. Dia ini aslinya ikhlas gak sih nganterin aku? Dari tadi wajahnya kayak kesal gitu.

"Pak, saya kan belum ijin sama Pak Amir."

Kali ini membuatnya menoleh ke arahku "Udah beres."

Hanya itu saja jawabannya lalu kembali ke depan.

"Saya juga belum setuju dilamar bapak."

Duh mulutku. Aku langsung menepuk mulutku sendiri, tapi seketika Pak Atma menoleh ke arahku.

"Jangan sakiti bibirmu."

Eh...

Dia mengambil tisu, dan kini malah mengusap bibirku yang habis kena tanganku. Tentu saja aku memundurkan tubuhku, membuat alis Pak Atma terangkat. Tapi kemudian dia fokus lagi ke depan.

"Pak, kok bapak mau dijodohkan sama saya? Lha saya ini wong cilik loh pak. Gak pantas kan buat bapak."

Ucapanku tidak mendapat jawaban lagi. Mumet aku kalau seperti ini. Aku akhirnya berbalik dan menyandarkanku di di dekat pintu mobil.Rasa kantuk sudah menderaku. Mungkin efek obat yang aku minum. Sampai akhirnya aku terseret ke alam tidur, tapi aku sayup-sayup mendengar 

"Aku sayang kamu."

Hanya saja aku tidak yakin itu mimpi, halusinasi atau nyata.

BERSAMBUNG

 

I LOVE YOU , MR. ICEजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें