Bab. 12 Bimbang

Depuis le début
                                    

Beberapa jam kemudian tampak dokter keluar dari ruang ICU.

“Bagaimana kondisi kakak saya, Dok? Bolehkah saya melihat keadaannya?” tanyaku khawatir.

“Silakan. Tapi pasien masih belum sadar.” Dokter kemudian berlalu meninggalkanku.

Saat masuk ke ruangan, masyaallah, baru kali ini aku merasa begitu takut melihat kondisi Mas Evin. Khawatir akan kehilangan dia. Keadaannya benar-benar membuatku tidak mampu lagi menahan air mata, membayangkan betapa sakit kepalanya. Segala macam selang di masukkan lewat kepalanya, wallahualam hanya Mas Evin dan Allah yang tahu bagaimana rasanya.
Hatiku terenyuh dan aku menangis tergugu di sampingnya.

Ya Allah … selamatkanlah Mas Evin. Aku menggenggam erat tangannya. Aku memandang wajah Mas Evin. Terlihat sangat pucat.

“Maafkan Citya, Mas. Semua ini gara-gara Citya. Kalau tidak untuk melindungiku, Mas Evin nggak mungkin merasakan sakit.”

Aku menangis tergugu. Oh, Allah … sembuhkan Mas Evin. Semoga dia cepat sadar dan baik-baik saja. Tidak terjadi sesuatu yang berbahaya.

Aku semakin gelisah, karena hingga malam menjelang Mas Evin belum juga sadarkan diri. Aku dan mama menunggu di luar. Sebenarnya mama menyuruh pulang. Namun, aku menolaknya, ingin selalu menemani Mas Evin. Tidak ingin melewatkan perkembangan Mas Evin. Akhirnya aku pun tertidur di kursi tunggu.
Aku menggeliat dan mengerjapkan mata, ternyata hari sudah pagi. Mama datang membawakan minuman untukku.

“Sudah bangun? Ini minum dulu.” Mama menyerahkan sebotol minuman.

Saat sudah tiba waktu jam besuk ICU, aku pun segera masuk. Ingin segera melihat kondisi Mas Evin. Berharap dia sadar hari ini. Aku duduk di samping Mas Evin. Memegang erat tangannya. Sambil membisikkan kata-kata motivasi.

“Mas Evin yang kuat, ini aku Citya. Cepat sembuh ya, Mas. Citya kangen candaan dan jahilan Mas Evin.” Aku menangis tergugu, mencium tangannya.

Tiba-tiba merasakan tangannya bergerak. Segera aku hapus air mata yang menetes. Alhamdulillah Mas Evin sudah bisa membuka matanya. Aku tersenyum. Terlihat Mas Evin mengerjapkan matanya. Tanda dia merespon senyumanku.

Aku segera memberi tahu mama dan dokter. Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksa keadaannya. Dokter bilang kalau kondisinya semakin membaik besok sudah bisa dipindah ke ruang perawatan.

Alhamdulillah, lega mendengarnya.
Aku pun mengajak berkomunikasi. Walau hanya dijawab dengan isyarat mata, namun tetap bersyukur karena masih bisa merespon. Berarti tidak terjadi hal yang serius.

Saat-saat berkomunikasi tanpa tersadar air mata jatuh. Sudah berusaha agar tidak menangis di depan Mas Evin, namun apa daya tak bisa mencegahnya. Saat seperti inilah aku langsung keluar ruang ICU, tak sanggup berada terus di dalam.

“Mas Evin istirahat aja supaya cepat sembuh, agar bisa cepat pulang dan beraktivitas seperti biasa. Citya ada di luar kok, nggak ke mana-mana. Sekarang waktu besuk sudah habis. Mas Evin baik-baik, ya.” Aku berkata sambil mencium tangannya lalu beranjak meninggalkan Mas Evin.
Alhamdulillah dia mengerti dan segera mengerjapkan matanya.

Esok paginya Mas Evin dipindahkan ke ruang perawatan karena kondisinya sudah stabil dan semakin baik. Alhamdulillah ya Allah, Engkau kabulkan doa-doa panjangku.
Aku menyuruh mama untuk pulang dan istirahat, kasihan mama pasti sangat capek. Aku tetap di sini menjaga Mas Evin.

Alhamdulillah kondisi Mas Evin semakin hari semakin baik dan perlahan segala peralatan yang ada di kepalanya dilepas satu persatu. Tepat satu minggu selang infus yang menancap di tangannya sudah dilepas. Alhamdulillah jadi bisa bergerak dengan bebas.

Kami melalui hari dengan santai, di warnai canda tawa walau terkadang Mas Evin masih suka berteriak pusing atau sakit. Namun, menurut dokter itu hal yang wajar pasca operasi. Apalagi operasi di kepala yang merupakan daerah yang vital.

“Citya ….” Mas Evin memanggil dengan pelan.

“Iya Mas, ada apa? Butuh sesuatu?” tanyaku.

Mas Evin tersenyum menatapku.

“Terima kasih, ya, kamu sudah merawat dan menjagaku selama di sini.”

“Udah kewajiban aku merawat Mas. Jangan banyak bicara dulu. Istirahat yang cukup, biar cepat sembuh dan segera pulang. Kangen rumah, kan pastinya?” Aku mengajak bercanda Mas Evin.

Mas Evin mengangguk dan tersenyum. Tangannya menggenggam erat tanganku. Tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan memijat pelipis.

“Citya … kamu kenapa?” tanya Mas Evin khawatir.

Aku menggeleng lemah dan tersenyum. “Aku baik-baik aja, kok, Mas. Cuma sedikit pusing. Mungkin karena kurang tidur.”

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Aug 27, 2019 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

Takdir(Sudah Terbit)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant