Taehyung mendesah. “Mama, bukan itu masalahnya. Aku tahu Jiyeon gadis yang baik, tapi—tidakkah dia harus menyelesaikan kuliahnya dulu? Kami berdua masih terlalu muda untuk menikah.”

“Kami sudah membicarakan ini dengan keluarga Park. Jiyeon masih bisa melanjutkan kuliah setelah menikah,” wanita itu berujar.

Tak ketinggalan sang ayah juga menambahkan, “Kalau kau menunggu dirimu siap, itu akan memakan waktu sampai Mama dan Papamu ini tua. Kau terlalu banyak bermain.”

Penuturan ayahnya membuat Taehyung kian diam. Masih ada argumen di kepalanya, tapi tak sanggup diutarakannya sebab berdebat memang tak pernah jadi keahliannya. Raut resah pun masih berada di wajah rupawan itu. Taehyung tak bisa menyembunyikannya dan memang tak berniat pula. Ini adalah beban baginya.

Sang ibu kembali menyampaikan kata-kata pada putra semata wayangnya, “Tae, kami hanya ingin kau mendapatkan hidup yang layak. Ini untuk kebaikanmu.”

Selalu kata-kata itu. Keteguhan Taehyung untuk melawan pun makin surut hingga akhirnya padam.

Di malam hari Taehyung bertelepon dengan sahabatnya dan menumpahkan segala keluhan yang tak bisa disampaikannya sewaktu di meja makan. Sembari membanting tubuh ke tempat tidur dia berbicara ke telepon. “Aku belum ingin menikah, Jim. Tidak sekarang atau dua tiga tahun lagi. Aku masih ingin hidup bebas.”

Terdengar tawa seorang laki-laki dari seberang. “Iya, iya, kenapa kau tidak mengatakan itu pada ayah dan ibumu?”

“Bagaimana mungkin aku mengatakannya?”

“Kalau begitu sekarang berhentilah merengek, Mama Boy. Aku sudah cukup jenuh mendengar Jiyeon menangis sejak siang tadi.”

“Itu dia!” kata Taehyung seketika. “Adikmu dijodohkan dengan temanmu. Apa kau tidak akan menentangnya? Kau oke dengan ini?”

Pemuda bernama lengkap Park Jimin itu membalas, “Kenapa?” Nada bicaranya terdengar serius sekalipun masih diselingi dengan tawa.

Taehyung memutar mata selagi didengarnya Jimin mengatakan, “Aku tahu kau bukan pria berengsek. Aku lebih rela menyerahkan adikku pada sahabatku sendiri daripada membiarkannya mencari sendiri. Kau tidak tahu anak itu tidak ahli menilai laki-laki. Kalau kau jadi suaminya, aku bisa dengan mudah menghajarmu saat kau membuatnya menangis.”

Lalu, Jimin tertawa lagi sehingga menyulut emosi Taehyung. “Sialan kau,” umpat Taehyung, tapi Jimin malah makin keras tertawa.

“Terima saja,” kata Jimin. “Kita akan tinggal serumah setelah ini—oh, tunggu, kapan pernikahannya? Bulan depan, kan?”

Sekali lagi Jimin menertawakan Taehyung.

Taehyung yang geram sekaligus bingung lantas menggerutu, “Sialan, Jim, aku tidak mau jadi adik iparmu.”

Tentu saja Jimin tak menggubris. Dia merasa kasihan—sungguh, dia sebetulnya peduli—tapi memang tak berencana melakukan sesuatu untuk membantu. Dia cuma berharap semoga obrolan mereka malam itu cukup menghibur sahabatnya tersebut.

. . .

Ada yang bilang, hidup menjadi selebriti itu artinya kau siap menyerahkan kebebasanmu. Banyak orang mengatakan bahwa hidupmu tak akan berada di tanganmu lagi. Sekali kau masuk ke dunia hiburan, maka tak ada jalan kembali.

Di mata Jeon Jungkook, itu semua salah. Tidak demikian yang selalu ini diyakininya.

Bagi Jungkook, hidup yang dijalaninya adalah miliknya. Tak ada seorang pun yang berhak menentukan jalannya dan dia sudah pasti tak akan membiarkan siapa pun mengambil kebebasannya. Menjadi idol, seberapa papan atas, singer song-writer, Jungkook menjalani semuanya dengan caranya sendiri.

An Empty Glass | KookV [COMPLETE]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt