ANTAGONIST

71 8 0
                                    

Seoul, Korea Selatan.
Kenangan pahit yang tidak pernah dibuka dari keluarga Song.

☆ Fully Presented ☆

17 tahun yang lalu, aku memang masih tinggal di sana. Di tempat yang tidak seorang pun tahu atas keberadaanku.

Menghilang tanpa kabar dengan membawa beberapa lembar won, itulah aksi nekat terkonyol yang pernah aku lakukan seumur hidupku.

Untuk pertama kali, aku tidak pernah memimpikan untuk tinggal secara terpisah dengan kedua orangtuaku.

Aku pasti sudah gila karena meninggalkan mereka bertahun-tahun lamanya tanpa memiliki keinginan untuk kembali ke neraka itu.

Neraka dimana aku selalu mengingat tangisan, rasa sakit, serta merasakan banyaknya luka yang pernah aku dapatkan.

Mereka tidak menginginkan kehadiranku.

Itu adalah kalimat terakhir dari sebuah kesimpulan yang aku ketahui, setelah Ayah berhasil melayangkan tamparan kerasnya pada pipi kananku sehingga meninggalkan jejak cantik di sana.

Sementara Ibu, dia hanya dapat memaki penuh rasa benci menatap sosokku.

Percayalah, aku juga tidak mengerti dengan sikap mereka hari ini. Mengapa begitu santainya, kedua orangtuaku berani berlaku demikian pada darah daging mereka sendiri.

Setiap malam aku bahkan selalu menangis dalam diam membayangkan segala perilaku keji yang pernah dilakukan orangtuaku sebelum berakhir tidur meringkuk seperti janin dengan mata memerah.

Mendapati seluruh tubuhku dipenuhi beberapa bercak darah serta luka-luka memar. Sebab, Ayah tidak akan mungkin membiarkanku begitu saja untuk turut menikmati harmonisasi kehangatan dari sebuah keluarga.

Ayahku itu memang merupakan pria yang kejam. Begitu pula dengan Ibuku.

Sama-sama licik dan tidak punya hati nurani. Jiwa kemanusiaan tidak bertengger lama dalam profile mereka.

Padahal, dulu sikap mereka tidak begitu. Lalu entah apa yang membuat keduanya seketika berubah dalam jentikan jari, yang pasti aku kecewa.

Mereka, -Ayah-Ibuku- selalu memiliki seribu cara mengerikan di otaknya masing-masing agar dapat menyingkirkan keberadaanku.

Tanpa perlu lagi susah payah terlibat bersama anggota kepolisian, lantaran melaporkan tuduhan kasus atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap anak berumur lima tahun.

Dan betapa bodohnya aku dulu, tidak mampu menyadari itu semua.

Semua ini bukan berawal dari kesalahanku saja.

Mereka salah paham sebenarnya, atau mungkin aku yang salah paham. Aku bahkan hanya seorang bocah yang tidak mengerti apapun, karena memang di kronologi awalnya aku baru saja menampakkan diri di lokasi kejadian.

Kesalahannya memang murni bukan aku yang menyebabkan, tapi mengapa orang tuaku justru benar-benar menganggap kesalahan ini sebagai kesalahan murni yang telah aku perbuat dan tidak dapat dimaafkan oleh mereka?

Tunggu, sepertinya ada peran provokator di sini.

Mengarang cerita seolah-olah aku memang pelaku utama yang sedang dicari-cari. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah aku sebagai korban.

Miris.

Hanya kata itu yang dapat menggambarkan bagaimana hancurnya perasaanku.

Saat tahu ternyata orang yang paling aku percayai, ikut menyeretku ke dalam masalah yang bahkan masih belum diketahui secara pasti akar permasalahannya. Dan mereka bilang kepadaku untuk akui saja kesalahanmu.

Gadis itu, Kakakku.

Dia, jelas pelaku utamanya.

Bukan bermaksud menuduh atau semacamnya, tapi aku tahu benar bagaimana perilaku kakak perempuanku yang satu itu.

Jika nyatanya memang dialah dalang dibalik masalah yang dia buat sendiri.

Menangis terisak lalu mengadu pada Ayah dan Ibu jika seseorang baru saja menyakitinya dan berkata jika aku juga turut andil dalam membuatnya terluka.

Sebab, saat itu hanya aku yang masih sadar mengenai situasi yang terjadi.

Seolah begitu matang merencanakannya, kakakku itu merancang sedemikian rupa dalam otak jeniusnya pasti jauh-jauh hari.

Dengan berbekalkan tatapan menyedihkan serta meyakinkan, ia mampu mengambil hati seluruh atensi Ayah dan Ibu bahwa mereka jangan sampai mau dibodohi olehku, karena dia bersikukuh pada mereka bahwa aku bisa saja sedang berpura-pura.

Berakting seolah ekspresi wajahku yang memang terlihat paling lugu diantara semuanya, sedang berusaha keras menutupi kebenaran agar semakin sulit terungkap di meja pengadilan.

Aku tidak menangis kala itu, sungguh.

Bahkan disaat Ayah mulai menarik paksa rambutku, kemudian disusul oleh suara bentakkan Ibu yang memekakkan gendang telinga, aku masih belum mengeluarkan air mata.

Sempat aku menoleh sebentar ke arah belakang, memperhatikan kakak perempuanku yang sedang berbangga diri sembari menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Yang justru membuatnya berkahir seperti se-sosok iblis sungguhan.

Disertai lambaian tangan itu, adalah adegan terakhir yang aku perhatikan, setelah sadar jika Ayah dan Ibu semakin kasar menyeret tubuhku tanpa belas kasih untuk segera memasuki rumah.

Song Nami,
bukankah kakak perempuanku itu sungguh licik? []

☆ Fully Presented ☆

ANTAGONIST [Non-Baku]Where stories live. Discover now