Part 2 - The Ride

19 0 0
                                    

Sejak insiden kunci loker waktu itu, aku jadi lebih menyadari kehadiran Jessica, dan tanpa sadar memperhatikan kebiasaannya.

Dia akan selalu mengambil tempat yang sama saat kelas weightlifting, sedikit bergeser jika ada orang lain, tapi tetap di sebelah kanan podium. Dia juga selalu mengikat semua rambut sebahunya ke belakang dan menjepit poninya, hingga menampilkan seluruh wajahnya yang bersih. Dia juga selalu memakai kaus berwarna hitam, kontras dengan kulitnya yang putih.

Berhubung aku sering mengambil tempat di dekat podium dengan posisi menyamping, aku jadi mudah untuk melihatnya dari tempatku berdiri. Setiap kali aku menoleh ke arahnya, ia langsung salah tingkah dan gerakannya jadi tertinggal dari yang lain. Tak jarang aku dibuat tertawa di tengah berlangsungnya kelas. Lima puluh menit menjadi tidak terasa, karena dia membuat kelas terasa menyenangkan.

Aku tersenyum sambil merapikan plates. Ingin cepat-cepat mandi lalu pulang. Pekerjaan di kantor yang cukup menguras pikiran dan energi, ditambah gym.. kurasa sudah cukup untuk hari ini. Saatnya beristirahat.

Aku masuk ke dalam ruang ganti untuk mengecek handphone-ku. Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

From: 081x-xxxx-xxxx
Hi Andreas. Kuharap kamu tidak memblokir nomorku lagi kali ini. Aku ingin berbicara berdua saja denganmu malam ini. Kuharap kamu mau bertemu denganku, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Kutunggu di kafe biasa, seusai gym.

Love,
C.

Aku membaca ulang isi pesan tersebut. Masih tidak percaya bahwa wanita ini belum menyerah untuk menghubungiku. Dan 'kafe biasa, seusai gym' katanya. Aku mengusap wajahku frustrasi. Inilah akibatnya jika terlalu membuka diri pada orang yang salah, sampai-sampai ia mengingat jadwal gym dan kafe langgananku.

Aku menimbang-nimbang sejenak, haruskah aku pergi menemuinya? Sejujurnya aku malas sekali untuk bertemu dengannya, rasanya seperti dipaksa untuk mengingat kembali luka yang sudah mulai pulih. Aku menarik nafas dalam-dalam. Tadi dia menyebutkan 'untuk yang terakhir kalinya'. Jika setelah ini ia tidak menggangguku lagi, maka aku tidak keberatan untuk menemuinya hari ini. Asalkan ini benar-benar menjadi yang terakhir. Baiklah.

Aku bergegas mandi dan merapikan penampilanku. Aku sudah memutuskan untuk menemuinya, meluruskan semua miskomunikasi yang ada, dan menegaskan kembali keputusanku jika perlu. Sedikit menyesal karena jam istirahatku harus dikorbankan sebagian, tapi ini demi masa depanku yang lebih tenang.

***

Tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk sampai di kafe langgananku, karena masih berada di dalam mall yang sama dengan gym ku.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe, dan melihat dia duduk di dekat jendela, sedang melamun dan mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Langkahku mendekat ke arah mejanya.

"Caroline."

Caroline tampak terkejut dengan kedatanganku. Ia berdiri dan mempersilahkan aku untuk duduk.

"Andreas.. kau datang." suaranya lirih dan matanya tampak berkaca-kaca.

Setelah aku berhadapan dengannya, aku baru menyadari bahwa matanya sembab dan jejak maskaranya luntur hingga ke bawah mata, menciptakan lingkaran hitam besar di sekitar matanya. Apakah dia baru saja menangis? Pakaiannya rapi tetapi wajahnya terlihat sangat kacau.

"Apa yang mau kau bicarakan?" tanyaku langsung.

"Andreas.. Aku hmm.. Jadi aku akan pergi ke Perth untuk melanjutkan bisnis ayahku."

"Hm, lalu?"

"Ia tidak akan memintaku pergi jika aku mempunyai alasan yang kuat untuk tetap berada di Indonesia.." Caroline mengaitkan jari-jarinya di atas meja, dan membetulkan posisi duduknya dengan gelisah.

Through The Eyes of The PrinceDove le storie prendono vita. Scoprilo ora