Twintail

16 2 0
                                    

Gemerisik dedaunan yang berada tepat diatas kepalaku sukses membuyarkan lamunanku. Pandangan kosong yang sedari tadi kuarahkan pada air mancur mini yang berjarak beberapa belas meter didepanku, kini teralihkan pada daun-daun yang berguguran—menari mengikuti arah hembusan angin sebelum akhirnya menyentuh tanah.

Rambut panjangku yang diikat dengan model twintail rendah—sejajar dengan leher—sedikit berantakan terkena hembusan angin yang saat ini bertiup cukup kencang. Kutaruh buku yang sejak tadi kupegang, dan mulai merapikan kembali rambutku. Helaan napas lemah lolos dari mulutku.

Bosan, kumainkan kedua kunciranku sambil berusaha untuk tidak membuatnya lebih kusut. Memelintir nya pada jari telunjukku hingga menjadi sedikit bergelombang, mengangkat sebagian kecil rambut dan menjatuhkannya kembali.

"Sudah kubilang 'kan," Suara dari orang di sampingku membuat fokusku beralih padanya. Tanpa menolehkan pandangannya padaku ia melanjutkan kalimatnya, "model rambut seperti itu membuatmu terlihat seperti anak kecil."

Aku mendengus perlahan. Sudah ketiga kalinya ia mengatakan kalimat yang sama sejak kami bertemu hari ini. Pertama, ketika ia menjemputku—ia mengatakannya sambil tertawa. Kedua, ketika kami sedang berada di dalam bus, dan tadi adalah yang ketiga. Entah hitungan itu akan terus bertambah atau akan berakhir di hitungan ketiga ini.

"Padahal kau sendiri yang memintaku untuk memakai model seperti ini."

"Ralat. Aku tidak meminta, itu karena kau kalah kertas gunting batu." Matanya masih terfokus pada notesnya. Tangannya masih bergerak lincah menulis untaian kalimat—sesekali membuat coretan, dan menulis kalimat baru. Bibirnya mengulas sebuah senyum. Senyum menyebalkan—dalam konteks ia tengah menertawaiku, namun tetap terlihat manis.

"Jadi menurutmu aku tidak cocok dengan model rambut seperti ini?" Tanyaku.

"Yup." Ia menjawab tanpa ragu, tanpa jeda. Aku mencibir kesal.

"Terlihat seperti anak kecil."

"Yup."

Lagi-lagi tak ada jeda.

"Tapi kau suka 'kan."

"Yup--"

Senyumku mengembang ketika ia menghentikan aktivitasnya, dan menatapku kesal. "Kau-----"

"Ya, Yoongi oppa?" ujarku memotong kalimatnya dan menekankan nada bicaraku pada kata terakhir. Ia membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu tapi menutupnya kembali. Maafkan aku Min Yoongi, tapi aku akan menang kali ini.

Yoongi menipiskan bibirnya. Entah menahan supaya ia tidak kelepasan bicara, entah panik, atau kesal. Atau mungkin keseluruhannya.

Mata kami bertemu, dan sekali lagi aku mengagumi matanya yang sipit namun pandangannya selalu terlihat tegas. Jika ia mengharapkanku malu karna terus menatap--- dan ditatap olehnya, percuma. Aku tidak akan malu hanya karena hal seperti ini. Aku tidak akan kalah lagi hari ini.

Perlahan Yoongi melepas topi yang kupakai, dan mataku secara refleks mengikuti gerakan tangannya. dan secara tiba-tiba Yoongi menyentil dahiku menggunakan tangannya yang lain. Tidak terlalu kencang tapi tetap saja sakit. Aku merutuk kesal, siap membalas perbuatannya namun laki-laki itu lebih sigap—ia menahan kedua tanganku.

"Kau berisik sekali." Yoongi memakaikan kembali topiku dengan sedikit kasar, dan menariknya kebawah hingga pandanganku tertutupi.

"Ya—Min Yoongi !" seruku dan berusaha menepis tangannya yang masih memegang ujung topi dan menahannya. "Hei, lepaskan! kau ini kenapa sih---" aku menarik tangannya dan kali ini berhasil.

TwintailKde žijí příběhy. Začni objevovat