"Aku bisa... memegang obor," jawab Raka sedikit ragu. Melihat Indhi yang menggelengkan kepala sementara Abu mengerling, ia mencoba membela dirinya sendiri, "Enggak salah 'kan? Kalau tidak ada yang memegang obor, nanti kalian yang repot. Yah, kecuali aku tidak diikutsertakan sih, enggak apa-apa."

"Kamu beneran mau ikut turun?" tanya Indhi sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam ransel, "Enggak ada yang melarang kalau kamu enggak mau kok, Ka. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku khawatir, Dhi. Ngerti enggak sih? Aku yang enggak mau kau kenapa-kenapa."

Mengerutkan alis, perempuan itu hanya tersenyum sebagai tanggapan. Tak lama, seorang pria datang dengan membawa dua buah tongkat dengan buntalan kain yang diikat di ujungnya. Pria itu memberikan kedua obor tersebut pada Raka sekaligus satu jeriken bensin untuk bahan bakar. Memastikan ada sekotak Pommel dan juga korek di saku celananya, Raka merasa beruntung ia tidak perlu kembali lagi ke pendopo untuk mengambil kedua benda krusial itu.

Shen di kejauhan, memasang senyum yang mulai tergoyahkan. Sulitnya jadi seorang pemimpin adalah ketika mempertahankan orang-orang di bawah pengawasannya tetap tenang dalam tekanan apapun. Shen menghela napas dan berjalan mendekati kelompok penyelamat yang memasuki lubang. Hampir seluruh orang mengangguk pada Shen dan pria itu membalas salam mereka dengan singkat. Udara dingin di pagi hari tak lagi terasa dingin dengan kecelakaan yang tak terduga ini. Sedikit sapaan ringan dari Raka ternyata tidak memperlunak sikap dingin Shen yang telah melewati banyak hal di pagi itu.

"Kalian tahu apa yang akan kalian lakukan 'kan?" Raka mengangguk, begitu pula dengan Indhi dan Abu. Ia menambahkan, "Pastikan sebisa mungkin mereka berdua hidup. Yang lain akan ikut turun untuk mencari, tetapi untuk menjelajahi lebih lanjut, aku mempercayakan ini pada kalian. Jangan paksakan kalian melawan King, aku tidak mau ada orang lagi yang meninggal karena hal-hal bodoh. Kuharap kau mengerti, Abu."

Dagu Abu mengeras, berusaha menyembunyikan perasaannya. Perlahan Raka menuruni lubang, melangkah melewati reruntuhan batu yang licin. Beberapa kali ia nyaris tergelincir karena butiran pasir dan juga tanah. Samar, terdengar Hertz berterima kasih karena Indhira mau membuat Raka ikut membantu, tetapi perempuan itu menyanggahnya.

"Aku melakukan ini bukan untukmu. Aku bukan dokter, tetapi aku mempunyai amanat untuk mengobati mereka yang membutuhkan. Kalau tidak, kedua orang itu bisa saja mebunuhku, kalau aku mau."

Hertz mengangguk, "Berhati-hatilah di bawah sana."

Sementara Raka menyalakan obor, Abu membantu Indhi menuruni dan menapaki bebatuan. Udara lembab dan bau tanah, mengingatkan Raka akan pengalamannya di Huva Atma. Cahaya mentari pagi tidak begitu membantu. Pun, Api yang berkobar hanya memberikan sumber cahaya yang terbatas. Reruntuhan batu besar terlihat di sekelilingnya, membuat Raka sedikit khawatir apakah mereka bisa menemukan Mato atau Fiz yang tertimbun.

"Mereka enggak akan terlalu jauh 'kan?" tanya Raka.

"Seharusnya begitu, tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi," jawab Abu mengambil salah satu obor yang masih belum disulut, "Kau tahu sendiri sebesar apa lubang di atas tadi. Mereka bisa saja tertimbun, atau bisa saja berhasil keluar dan lari. Kita tidak tahu."

"Oke, jadi sekarang kita harus membongkar reruntuhan ini 'kan?"

"Kurang lebih."

Mendengus, Raka menggunakan sarung tangan yang diberikan Hertz sebelum turun. Di celah-celah bebatuan ia menyimpan obornya kemudian kembali bekerja. Beberapa orang yang dari atas tak lama masuk ke dalam lubang; dengan susah payah memindahkan reruntuhan rumah. Mereka tidak berbicara satu sama lain dan pekerjaan ini benar-benar menghabiskan sangat banyak waktu. Aliran udara yang bergerak di lorong itu seolah-olah menciptkan suara lolongan kesunyian.

Down There Is What You Called Floor [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें