Tunggu. Apa-apaan ini ada segelas bir besar disodorkan padaku? Aku, kan, tak terbiasa minum bir sebanyak itu. Entah kenapa rasanya minum alkohol sekaligus dalam jumlah besar itu terasa sangat... tidak berkelas dan bar-bar.

Cengiran lebar di wajah Valentino—orang yang menyodorkan gelas bir—membuatku semakin menyesali keputusanku untuk ikut pesta ini. "Segelas bir besar untuk pengantin pria!" seru Valentino ceria dan disambut sorakan yang lainnya. "Oh, mungkin untuk kasusmu, kau ini pengantin wanitanya!" Omongan menyebalkan yang lalu disambut tawa.

Mau marah juga percuma. Toh, pada kenyataannya memang aku yang kebagian jatah 'peran wanita'...

Sebelum aku meraih gagang gelas, bunyi dering telepon selular dan getar lembut terasa dari saku celanaku. Sambil melemparkan senyum lebar, aku batal mengambil bir dan merogoh saku celanaku sambil daam hati mengucap syukur kepada siapa pun yang meneleponku. Sekali lagi aku tersenyum dan mengucap maaf pada Valentino—sekaligus mendorong Yviar untuk menggantiku meminum bir itu—lalu berjalan menjauh untuk mengangkat telepon.

"Ya, Kris?"

Begitu mendengar nama tunanganku itu disebut, seluruh ruangan langsung dipenuhi dengan siulan nakal dan kalimat-kalimat penuh menggoda. Sulit sekali mendengar omongan Kris di tengah kebisingan dan siulan menyebalkan dari teman-temanku. Sambil menggeram kesal, aku berjalan cepat mencari tempat yang cukup sepi, jauh dari jangkauan pendengaran teman-temanku dan dentum musik sang DJ.

Sialnya, tempat yang cukup sepi untuk bicara hanya ada satu. Tempat yang sebenarnya kurang mengenakkan untuk bicara karena... ini toilet.

"Bicara yang cepat, Kris. Aku mau segera keluar dari toilet ini." ucapku dengan sangat cepat. Mataku melirik ke arah pintu masuk toilet, gelisah.

Banyak hal yang membuatku merasa tak nyaman bicara di toilet. Pertama, jelas karena fungsinya sebagai toilet membuatku membayangkan hal-hal mengerikan yang berhubungan dengan sistem pencernaan manusia. Kedua, bicara di toilet itu selalu menimbulkan gema yang aneh. Mungkin karena material berbahan licin dan kaku yang banyak terdapat di sini. Yang jelas, toilet bukan tempat dengan akustik terbaik untuk bicara.

Heran, kenapa perempuan suka sekali mengurung diri di toilet untuk menangis, bergosip, dan berdandan berlama-lama di toilet...

'Aku hanya ingin bertanya bagaimana keadaanmu di sana, Willis.' balas Kris. Dari suaranya, aku bisa membayangkan si pria tampan ini tersenyum dan... itu suara mobil? 'Jadi, bagaimana bachelor party–nya? Menyenangkan? Menyebalkan?'

"Percampuran antara keduanya." gumamku sambil memutar bola mata. Tanganku sibuk merapikan rambutku yang berantakan dan mematut diri di depan kaca. "Aku mulai bosan di sini. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan selamat dan menggodaku tentang pernikahan ini..."

Aku mendengar Kris terkekeh pelan dari seberang sana. 'Mereka bersyukur kau akhirnya memutuskan untuk mengakhiri petualangan menegangkanmu bersama laki-laki, Sehun. Kau yang takut berkomitmen akhirnya memutuskan untuk menikah itu sesuatu yang besar, lho.'

Argh. Percakapan ini lagi...

"Apa kau mencoba untuk menyombongkan diri, hm? Merasa paling hebat karena berhasil 'menaklukkan'-ku, sementara laki-laki lain gagal?" kataku, setengah menggeram kesal.

'Untuk apa aku menyombongkan diri?'
balas Kris. 'Meskipun aku tak bisa menutupi kebahagiaanku karena berhasil mendapatkanmu, Sehun.'

Oh, aku bisa membayangkan si brengsek ini mengedip ganjen ke arahku, meskipun kita hanya berbincang-bincang melalui telepon. Beruntung dia bicara denganku via telepon. Kalau tidak, sudah kutonjok dia dari tadi.

A CommitmentМесто, где живут истории. Откройте их для себя