Dia, seorang Tara Arsjad adalah penganut gaya hidup khas wanita timur. Uhm well, maksudnya tidak sebebas pergaulan ‘barat’. Dan, lihat? Kalau benar sudah terjadi sesuatu semalam berarti rekornya menjadi wanita baik-baik hancur karena musuhnya itu!

Pintu kamarnya di ketuk, Tara yang sudah siap dengan kaus dan celana pendeknya menoleh dan menatap Bi Asih yang tersenyum ragu menatap Tara. “Non, di tunggu ibu di ruang kerja bapak,” sahut Bi Asih yang di sambut dengan anggukan dan tatapan takut Tara.

Oh... apapun yang akan terjadi... TERJADILAH!

*****

Dan suasana ruang kerja papa berubah seperti ruang pengadilan. Mama melipat tangannya di dada dengan tatapan super tegas yang baru kali ini Tara lihat. Sedangkan papa, mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kerjanya sambil menatap Reza tajam. Dan dia sendiri, sekarang sudah duduk sambil menunduk dalam di samping Reza yang masih menggunakan kemeja dan celananya semalam.

“Jadi, bagaimana?” suara papa memecah keheningan.

Reza yang dari tadi sudah duduk tegap, menoleh sekali ke Tara. Tara yang hanya menunduk sambil memainkan jari dan gelang ditangannya tidak berani angkat bicara. Karena bagaimanapun juga, walaupun mungkin –yah dia sendiri tidak tau apakah ada ‘apa-apa’ antara dia dan musuhnya ini semalam-  dia masih menjadi Tara yang kemarin, seorang Tara yang hanya cium kening dengan pacarnya, dengan ditemukan berada satu tempat tidur dan tanpa pakaian dengan seorang laki-laki sudah merupakan suatu kesalahan terbesar. Dan dia akui kalau dia bersalah, sehingga sekarang, dia tidak berani menatap kedua orangtuanya itu.

“Sebenarnya, semalam saya memang mau melamar Tara.” Ujar Reza yang membuat Tara mendongakkan kepalanya untuk pertamakalinya setelah dari awal masuk kedalam ruangan ini hanya menunduk dan kemudian membelalakan matanya.

Tara melemparkan tatapan ‘apa maksud lo?’ ke Reza yang dibalas dengan senyuman gentleman of the yearnya.

“Ini, cincin punya nenek saya yang dikasih ke mama saya, dan sekarang saya mau kasih ke calon istri saya, calon ibu dari anak-anak saya,” ujar Reza sambil mengeluarkan kotak cincin berwarna hitam dari saku celananya.

Papa yang terkejut dengan adegang di hadapannya, melirik menatap mama yang sekarang sudah kembali ke wajah biasanya.

“Semalam, kebetulan saya dan Tara mabuk. Kita, lebih tepatnya saya, tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam. Saya akui, saya salah karena hal seperti ini sampai terjadi. Tapi, memang sebelum semua ini, saya sudah berniat untuk melamar Tara.”

Tara mengangkat tangannya menutup mulutnya dan menatap Reza dengan tatapan horor.

Mama menatap Reza. “Ya. Apapun itu, kalian memang salah. Benar-benar salah.” Sahut Mama. “Jadi, pernikahan kalian harus di percepat.”

“Tapi Ma!” rujuk Tara.

Mama menatap Tara tajam. “Reza harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, dan kamu Tara, kamu harus tanggung jawab sama mama dan papa.” Sahut mama tajam, tegas dan tidak terbantahkan.

Simple PastWhere stories live. Discover now