Past but loser

11 2 0
                                    

Sebelum matahari bersinar, pukul 5 dini hari Rei sudah terlihat bangun. Usai dengan sesi membersihkan diri dan tubuh, Rei nampak bersiap dengan kaus putih oblong serta celana kain katun hitam panjangnya.

Berusaha tersenyum, Rei terus berharap dalam hati agar harinya dapat berjalan dengan baik. Rei tidak dapat lagi berharap agar tak bertemu Jinan. At least, tidak ada hal buruk yang akan terjadi.

Berbekal rencana yang sudah disiapkan seorang diri, Rei melangkah menuju jalanan yang akan menghubungkan desa dan dermaga di atas laut. Si gadis Senju tersenyum senang, berbahagia menyambut desiran pantai yang terdengar merdu.

"Rei!"

Ia menoleh, menemukan Nenek Wang dan Paman Noh yang sedang duduk, yang sepertinya sedang membuat sayuran fermentasi. Rei semakin riang, melangkah gembira menghampiri semua orangtua.

Para warga yang mengenal anak dari Tuan Senju tersebut tentunya terkejut melihat Rei yang kini menjelma sebagai seorang gadis cantik dan riang. Seperti Nenek Wang tempo hari, para warga bertanya mengenai keluarga Senju yang lain, hingga mempertanyakan satu hal yang sudah diprediksi oleh Rei.

"Kamu sudah bertemu Jinan, belum?"

Rei mengukir senyuman, tidak begitu manis. "Iya. Kemarin Jinan banyak membantu mengatur barang-barang di rumah sewa."

"Tentu! Dulu kamu dan Jinan selalu bersama." Sahut Paman Noh bak bernostalgia. "Jin selalu membanggakanmu, bahkan mencari dirimu. Tapi kami tak heran, beranjak dewasa kalian tampak asing satu sama lain."

"Ah, bukannya malam kemarin Jin membelikan pangsit untuk Rei?" Tanya Bibi Noh, istri si paman. Mereka semua menjadi senang, entah apa tujuannya.

Rei dibuat kikuk, berusaha mengandalkan kemampuannya agar mampu beradaptasi dengan baik.

Sadar Rei dibuat tak nyaman, Nenek Wang lantas meminta gadis itu untuk melakukan sesuatu. "Rei, sepertinya saus merah sudah habis. Apa kamu bisa mengambilnya di bilik itu?"

Gold chance! Rei menegapkan tubuhnya lalu mengangguk. "Siap, nek."

Langkahan kaki Rei akhirnya kembali mengukir jejak menuju bilik kecil yang dimaksud nenek. Warna yang mulai pudar mengelilingi bangunan tua itu, bahkan menimbulkan suara derit cukup besar ketika Rei membuka pintunya.

"Ah, aku kira siapa."

Rei menemukan Jinan tengah menatapnya karena terkejut. Lelaki Sung itu sepertinya sedang merapikan letak karung beras ketan, tampak dari tangannya yang baru saja melepas benda itu.

Tiba-tiba manik mata Rei memincing, mendapati kulit-kulit di pergelangan tangan Jinan yang aneh. Itu—itu seperti bekas jahitan.

Sadar Rei menatap tangannya, Jinan reflek menutupinya dengan memanjangkan lengan kemeja flanel yang ia kenakan.

"Ji—tanganmu. Kamu kenapa?"

"Gak, itu hanya luka yang gak sengaja. Waktu itu aku menutup pagar dan—"

"Don't tell lies. Please, biarkan bohong itu berhenti di masa lalu."

Jinan tertegun, diikuti raut wajahnya yang menjadi kelabu. Jinan menatap Rei tidak seteduh hari kemarin, tampak ingin mengungkapkan segalanya tapi hatinya tak begitu menginginkan dirinya dianggap lemah.

"Bagaimana dengan kamu yang semalam berbohong karena gak mau bertemu aku?"

Well, Rei menjadi pilu.

"Re, aku hampir menyerah karena kita yang dulu. Cerita diriku tentang hari itu terlalu pelik. Yang perlu kamu tahu itu hanya satu."

"..."

"Aku gak sekejam yang kamu pikir. Aku—"

"..."

"Aku pernah mengorbankan diriku karena aku malah menjadi pengecut."

Getaran suara berat Jinan mengungkap bagaimana lelaki itu tak berbohong sedikit pun. Hazel mata gadis Senju yang masih diam tak berkutik di depannya kian meluapkan tetesan air. Tetesan yang ingin mencair kapan saja bahkan tanpa seizin Rei.

Ya, gadis itu dapat melihat Jinan dan wajahnya yang terpuruk. Namun Rei tak dapat melihat isi memori Jinan yang teringat akan dirinya yang sengaja menyayat pergelangan tangan yang kini membekas itu.

To be continue.

FORTNIGHTWhere stories live. Discover now