Aku sampai menengadah untuk memerhatikan sistem blower. Ventilasi udaranya memang berbentuk luang dan cukup besar untuk dilalui seekor ayam betina.

Aku mendecak tidak senang segera setelah mengingat peristiwa kemarin. Sesudah menelan cukup banyak rasa bersalah oleh sebab kebutaaan Arumugam, dan kemudian aku diguncangkan oleh kabar lain. Dia, bapaknya Alodia, sesungguhnya seseorang yang aku cacimaki selama ini sebagai nenek moyang TAPOPS. Aku betul-betul takut untuk bertemu siapapun, bahkan Papi, karena mereka lantas akan mempertanyakan kenapa kebodohanku kentara sekali sehingga aku tak bisa mengenali leluhur itu.

Ah, lagian, mana aku tahu! Aku nggak notis kalau Halilintar itu tahap dua dari Voltra. Aku cuma kenal Voltra, Beliung, Crystal, Nova, Blizzard, Rimba dan Gamma. Nama-nama itulah yang tercatat di database komputer TAPOPS. Aku nggak kenal Halilintar, Gempa, Taufan, Blaze, Ice, Duri, dan Solar. Nggak kenal! Pokoknya enggak kenal! Jangan salahin aku, kalau aku enggak sadar mereka itu siapa.

Aku tidak bisa mengadukan kenakalan ayam ini ke bapaknya, sebab bicara dengan bapaknya hanya akan mempermalukan aku lebih dalam.

Kupikir aku menarasikan betapa malunya aku dengan baik. Namun, sungguh, aku tidak bohong, pergolakan batin yang mahahebat tengah menerpa kelenjar kewarasanku. Aku lebih malu dari deskripsi barusan. Aku keramas, mandi, dan tidur dengan rasa malu di kedua pundak.

Aku meletakkan Alodia di siku, mengapitnya dengan tubuh lemasku.

Tidak punya pilihan, aku membawa ayam ini untuk diamankan. Pesawat luar angkasaku akan diservis. Aku tidak akan membiarkan orang bengkel tahu aku memelihara ayam albino dari planet Rimbara.

Aku turun dari pesawat itu setelah menelpon asisten wardrobeku—aku memintanya mengangkut baju-baju di kardus barusan dan menyimpannya di kamarku. Aku juga menyuruhnya untuk bekerja dengan cantik, karena koleksi baju-bajuku ialah separuh belahan jiwaku.

Di lorong, aku melihat peristiwa supernova dari radius pengelihatan ratusan mil tahun cahaya. Dari sini, ledakan bintang itu terlihat sebagai semburan cahaya warna kuning yang bentuknya spiral, dan sesudahnya, akan menghasilkan bintang-bintang lain dalam gradiasi warna lebih beragam.

Aku jadi ingat, aku perlu merampungkan proyek kriogenik itu. Galaksi tidak bisa berpegangan pada siapapun kecuali gamma buatan dari Mechabot ... atau orang itu, yang berhasil mencapai tahap tiganya.

Brak!

"Iya. Namanya juga barang jadul. Kalau enggak diperbaiki segera, aku takut benda itu akan rusak saat dipakai." Kokoci baru saja keluar dengan membanting pintu di depanku. Ia mengobrol dengan Laksamana Tarung. "Hitung-hitung, sekalian upgrade."

"Ya. Mau bagaimana lagi." Laksamana Tarung mengangguk-angguk.

Aku cepat-cepat menyembunyikan Alodia di belakang punggungku. Untungnya, ayam pesial ini tidak berisik seperti ketika ia makan.

"Eh." Komander Kokoci melepas kacamata hitamnya, ketika ia memergoki aku berada berlawanan arah dengannya. "Laksamana. Hendak kemana?"

"Jangan tanya." Aku membuang muka.

"Sebaiknya, istirahat." Laksamana Tarung melandaskan tangannya di pundakku.

"Aku paham." Aku masih tidak ingin menatap mereka berdua. Aku berharap mereka tidak mengajakku bicara jauh lebih banyak dari ini, apalagi menyenggol apapun soal kejadian kemarin. Menurutku kemarin sama buruknya seperti hari dimana aku masuk ke sekolah pada hari libur nasional karena aku lupa melihat kalender dan Papi tak mengingatkan aku.

"Baik. Segeralah pergi ke kamar, kalau begitu." Kokoci menimpali. Lalu dua insan itu pergi begitu saja.

Aku kembali menggendong Alodia dengan menumpukannya ke siku tangan, sembari aku menoleh ke belakang.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now